7. Dia Sabian dan topengnya

792 100 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

...

"Halo, nama saya Madhava Sabian Altair, dipanggil Ian. Makasih.."

Sejak TK 0 kecil sampe abu abu putih, Sabian gak pernah mengganti gaya perkenalannya. Sabian anak tunggal, tidak pernah meminta adik ataupun menyesal karena tidak memiliki saudara kandung. Tidak pernah memiliki terlalu banyak permintaan untuk dibelikan mainan sejak kecil, ia menerima apapun yang dibelikan orangtuanya. Bahkan sampai beranjak menjadi pemuda 16 tahun pun, ia tetap diam dan menerima apapun yang diberikan padanya tanpa banyak protes.

Bukan karena dia tidak ingin meminta namun karena ia lelah, lelah karena permintaannya yang sangat sederhana selalu diganti dengan hal lain. Karena permintaan sederhananya hanyalah waktu, kesediaan kedua orangtuanya untuk duduk tenang bersama, mama, papa dan Sabian. Sarapan bersama atau makan malam bersama cukup baginya, tapi karena permintaan itu tidak pernah berakhir baik maka Sabian memilih diam. Ia terlalu lelah meminta berulang ulang.

Meskipun rumahnya besar, nyaman dan memiliki berbagai macam perabotan mahal dan fasilitas yang lengkap. Namun rumah itu terasa dingin, Sabian terlalu membenci kondisi rumahnya yang selalu sepi, didalam rumah setidaknya ada lima orang setiap harinya, Sabian, dua orang pembantu rumah tangga satu tukang kebun dan seorang penjaga, jika termasuk mama dan papa beserta sopir masing-masing yang jarang dirumah seharusnya lebih ramai lagi.

Tapi nyatanya setiap malam hanya sepi yang menemaninya..

Diruang makan, ia hanya menunduk menatap piring berisi makanan enak, makanan mahal yang tidak setiap hari dapat dinikmati teman-temannya. Tapi seorang Sabian hanya mengaduk aduk tanpa berminat memasukkannya kedalam mulut.

Sejak kecil kedua orangtuanya sibuk, Sabian bahkan tidak ingat lebih tepatnya kapan mereka mulai sesibuk itu. Tapi dulu saat masih SD, ia ingat masih sering diantar jemput oleh papa atau mama (salah satunya), setelahnya tidak lagi. Ia bahkan sengaja dimasukkan kedalam sekolah yang sama dengan sepupunya, Radhitya agar orangtua Radhi bisa menjemputnya sekalian dan diajak pulang kerumah mereka sementara mama dan papa Ian belum bisa menjemput. Masuk SMP ia mulai kehilangan momen berangkat dan pulang sekolah bersama orangtuanya, karena sejak itu ia mulai memiliki sopir pribadi yang sekarang sudah beralih tugas menjadi sopir mamanya karena ia lebih memilih naik sepeda motor kemanapun.

"Halo ma.." Sapanya menempelkan ponsel ke telinga.

"Sudah makan?"

"Ini makan.."

"Makan yang banyak, maaf mama belum bisa pulang ini masih di Surabaya. Jangan lupa istirahat ya.."

"Hmm. Papa?"

"Mama gak tau, coba kamu tanya sendiri.."

Sabian menghela napas kasar kemudian memilih bergumam saja menjawab semua kata kata mama. Malas toh setiap kali menelpon untuk pamit isinya sama, nasehat, janji janji palsu dan permintaan maaf.

{✔️Complete} Boy With LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang