A Perfect Kiss

3.5K 159 22
                                    

Tubuh Alana terhuyung ke belakang ketika ia berpapasan dengan seorang gadis muda yang sepertinya secara sengaja bermaksud menabraknya. Gadis itu menyenggol bahu Alana dengan keras hingga membuat gadis itu sedikit limbung. Beruntungnya, ia tidak sampai harus terjatuh. Gadis yang menyenggolnya itu sempat berbalik, lalu menatapnya sinis dan kembali melenggang pergi.

Alana menatap kepergian gadis itu dengan perasaan bingung. Ia merasa tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Ia bahkan tidak mengenal gadis itu, tapi mengapa gadis itu terlihat sangat tidak menyukainya? Alana mengangkat bahu, memilih untuk mengabaikan hal yang menurutnya tidak layak untuk mengganggunya. Gadis itu kembali melenggang menuju ruang kerjanya di lantai dua seperti biasanya. Namun kali ini tatapan sinis dan meremehkan nampak jelas-jelas ditujukan ke arahnya. Ada banyak pasang mata yang menatapnya seolah-olah ia adalah pekerja seks komersial yang tengah berjalan-jalan di lingkungan terhormat.

Gadis itu menggigit bibir. Ia nampak mulai tidak nyaman dengan bisik-bisik yang sialnya tidak bisa ia dengar. Namun entah mengapa ia sangat yakin bahwa orang-orang yang seolah memiliki banyak sekali waktu luang untuk bergosip itu sepertinya tengah membicarakan dirinya. Dan hal itu pasti tidak lepas dari gosip miring tentang dirinya.

"Astaga! Ada apa dengan orang-orang di luar? Kenapa mereka serempak memusuhiku?" gerutu Alana saat bokongnya sukses mendarat dengan nyaman di kursi kerja yang telah ia tempati selama satu bulan belakangan. Gadis itu sengaja bicara keras-keras, bermaksud meminta pendapat pria yang kemarin bersikap 'sedikit' lebih baik padanya. Siapa tahu saja kali ini pria itu berniat mendengar keluh kesahnya setelah kemarin ia sempat menawarkan diri mengantar Alana membeli kopi.

Alana tersenyum kecil saat melihat pria itu melirik ke arahnya. Menghentikan bunyi 'klik' yang senantiasa terdengar dari mouse yang entah mengapa membuatnya sedikit muak. Perhatian pria itu teralihkan. Matanya berhenti menatap layar komputer dan kemudian beralih padanya, menatapnya. Azarya melipat kedua tangannya, merebahkan punggungnya agar bersandar dengan nyaman pada sandaran kursi empuk itu. Tapi tatapan pria itu sekarang tertuju pada Alana, fokus seolah ia sangat suka melakukan hal itu dan tidak ingin melewatkan satu detikpun untuk menyia-nyiakannya.

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Alana gugup. Meskipun ia suka, sangat suka saat pria itu menatapnya saat mereka berbicara, namun gadis mana yang tidak gugup jika ditatap dengan cara pria itu menatapnya. Intens, fokus, tak berkedip dan seolah ingin menelannya hidup-hidup. Seperti srigala yang sudah mengunci buruannya dan siap menyerang kapan saja.

"Bukankah kau pernah bilang, jika sedang berbicara, maka kita harus menatap mata lawan bicara kita, bukan? Aku sedang melakukannya." jawab Azarya asal.

"Iya, tapi tatapanmu aneh. Aku tidak suka! Aku kan bukan daging mentah." cibir Alana.

"Aku tidak suka daging mentah." balas pria itu cepat. "Tapi aku suka menatap bola matamu yang besar itu." goda Azarya dan membuat pemiliknya berkedip, dua kali, lalu kemudian muncul rona kemerahan di pipinya.

"Sejak kapan kau berani merayuku?" Alana cepat-cepat menepis keinginan untuk tersenyum dan memilih untuk menundukkan wajahnya. Kali ini dirinyalah yang berusaha untuk terlihat sibuk.

Azarya tersenyum kecil. Ia memahami reaksi gadis itu terhadapnya. Bagaimana cara gadis itu menahan senyum yang sebenarnya ingin sekali ia tunjukkan. Bagaimana rona di kedua pipi gadis itu berangsur-angsur memerah. Bagaimana gerakan tubuh gadis itu yang jelas-jelas terlihat tidak nyaman, gelisah. Dan Azarya tertarik untuk menggoda gadis itu lebih jauh lagi. Pria itu beranjak dari posisinya, dan berjalan perlahan mendekati meja Alana. Ia tahu gadis itu menyadari kedatangannya, tapi ia juga tahu bahwa gadis itu berpura-pura tidak mengetahuinya. Azarya melangkah semakin dekat dan ia tahu Alana semakin gugup. Pria itu memilih untuk duduk di meja kerja gadis itu dan hal itu membuat Alana mendongak. "Sejak aku tahu bahwa kau berbeda." jawabnya lembut.

Don't Look Into My EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang