BAB 2

4.7K 401 156
                                    

Jika ada yang paling diinginkannya di dunia ini, maka hidup damai bersama keluarga adalah satu-satunya harapan terbesar. Dia cukup sadar terhadap batas yang dimiliki dan Naru bukanlah lelaki penuntut kesenangan, terkecuali upaya diri.

"Kau terlambat sepuluh menit. Tadi Tuan Nakamura kemari, dia menanyakanmu dan aku tidak tahu mau bilang apa. Kenapa bisa terlambat?" sesama rekan seperjuangan, pria bernama Jugo itu kelihatan mengkhawatirkan nasib Naru. Pasalnya ada aturan ketat di perusahaan tempat mereka bekerja, keterlambatan merupakan pelanggaran yang sulit ditoleransi. Sedangkan Naru tetap menunjukkan ekspresi tenang. Apalagi tak guna beralasan, melainkan dia memahami kesalahan yang diperbuat.

"Harus bagaimana? Memang risiko yang pantas kuterima kalau dia mengamuk. Semoga suasana hatinya sedang baik hari ini." Naru tersenyum tipis sembari mengambil barang-barang yang akan dikirim ke konsumen.

Niat awal mengajak Hinata berjalan-jalan sebentar, memanfaatkan sisa waktu. Namun yang terjadi adalah dia mengambil sebagian jam kerja tanpa disengaja. Perempuan itu minta ditemani untuk membeli beberapa suvenir cantik di pasar tradisional yang mereka kunjungi. Alih-alih sekejap, Nata justru keasyikan hingga berlama-lama di tempat itu. Alhasil begitu usai, Naru tak bisa berkata apa-apa selain melebarkan senyuman saat melihat kegembiraan kekasihnya.

"Tuan Nakamura mungkin tidak akan mengamuk seperti yang kau harap. Tapi..."

"Aku tidak mengharapkan itu. Kau ini aneh sekali." Naru tertawa sumbang dan Jugo mulai kesal akibat sikapnya yang terlampau santai.

"Dia mungkin sedang berpikir untuk memecatmu." ketus lelaki bertubuh keras itu, sampai Naru dibuat terdiam. "Minggu lalu dia melakukannya kepada Takeshi. Cuma gara-gara tiga menit dia menyingkirkan salah satu kurir terbaik di sini." Naru mengamatinya sangat serius. Dalam hati dia telah mempersiapkan diri, bila saja pernyataan rekannya tersebut benar terjadi.

-----

Sekarang dia tak bisa setenang saat memperbincangkannya bersama Jugo. Berhadapan langsung dengan pimpinan perusahaan tersebut menyebabkan mulut Naru terkunci. Masalahnya roman Tuan Nakamura bukanlah keramahan. Ekspresi datarnya itu membuat siapa saja enggan walau hanya sekadar berbasa-basi.

"Padahal aku suka cara kerjamu. Meski anak baru kau cepat menyesuaikan diri. Konsumen juga tidak pernah menulis daftar keluhan untukmu. Tapi terlambat tidak bisa kumaafkan. Ini upahmu di bulan ini." Dengan perasaan menyesal Naru mengambil amplop berwarna cokelat itu dan penuh harap dia memperhatikan Tuan Nakamura.

"Maafkan kelalaianku, jika diberi kesempatan aku janji..."

"Besok kau tidak perlu datang lagi." penegasan Tuan Nakamura menghancurkan asa sebelum sempat dipertahankan. Dia merunduk pasrah, lalu hitungan detik Naru menengadah dan tersenyum.

"Terima kasih." sedikit membungkuk, Naru beranjak membawa pulang kekecewaan terhadap dirinya sendiri.

-----


Bermenung seraya menunggu Kare Katsunya mengembang. Sejenis makanan kemasan yang praktis, hanya perlu direndam dengan air panas selama sepuluh menit dan makanan tersebut sudah bisa dinikmati. Selera makannya mendadak hilang. Orang-orang selalu gembira saat menerima gaji, berbeda jika upah itu adalah terakhir kalinya bisa didapat.

Amplop cokelat tadi menjadi tontonan asing bagi Naru. Mestinya dua minggu lagi dia bisa menerima gaji penuh, lalu tak perlu pusing-pusing untuk memikirkan biaya kuliah yang harus segera dibayar. Tapi sekarang isi amplop itu bagai sebuah ancaman baginya, ragu bila jumlahnya akan cukup.

Tengkuknya seketika tegang tatkala memastikan upah terakhir yang diperoleh. Perkiraan tepat, sampai kepala pun pening mencari cara memenuhi kekurangan dana yang dibutuhkan. Sementara dari hasil bekerja di Bar, minggu lalu telah habis guna membayar sewa apato. Uang ditangan juga pas-pasan untuk makan. Seenggaknya dua kali dalam sehari perut terisi makanan, apa pun yang penting mengenyangkan.

"Naruto, boleh aku masuk?" dari luar Choji memanggilnya. Suara lelaki tambun itu membuat Naru sedikit tersentak.

"Masuk saja!" dan begitu berada di dalam, wajah Choji langsung berkerut.

"Kau cuma makan ramen?"

"Ini Kare Katsu," kata Naru berterus terang, lalu napasnya berembus. "Kau mau? Kita bisa bagi dua. Aku punya nasi, biar kuambil."

"Tidak. Aku barusan makan daging panggang. Dua porsi kubawa pulang untuk besok pagi, kalau begitu satu porsi untukmu saja." Choji mendudukkan bokongnya di flooring, lalu menyerahkan sekotak daging panggang. Tapi Naru malah terlihat sungkan, meski sebenarnya daging panggang terdengar menggiurkan di lidahnya. "Masih ada sekotak lagi untukku, terimalah." anggukan lambat dari Naru, dia meraih kotak itu dan membawanya ke dapur. "Omong-omong, tadi waktu aku masuk mukamu murung. Kau ada masalah?"

"Hanya ini yang kupunya." Naru menghidangkan sekaleng soda dingin. Kemudian kembali ke dapur dan menaruh daging panggang pemberian Choji ke atas piring, lengkap dengan semangkuk nasi. Berkat Choji ia bisa makan menu sempurna malam ini.

"Bukan bermaksud ikut campur, kira-kira apa yang mengganggu pikiran?" Bibir Naru tersungging tipis setelah dia duduk bersila, siap menikmati makan malam.

"Aku dipecat dari pekerjaanku." sambil mengobrol, Naru mulai makan dengan tenang. Dia menjepit banyak irisan daging ke mulutnya.

"Jadi nanti malam kau tidak bekerja lagi?" berita tersebut cepat sekali memancing pergerakan otak Choji. "Kebetulan kami kekurangan orang di gudang, angkut-angkut barang. Tapi tidak usahlah, pekerjaan ini tidak cocok untukmu. Kau bisa dapat yang lebih baik. Harusnya kau itu di perusahaan besar, sebagai Direktur atau minimal Manajer."

"Mustahil, aku masih kuliah." Naru tertawa ringan menanggapinya, "Siapa yang mau menjadikan mahasiswa sebagai Direktur kecuali perusahaan itu milik keluarga. Bahkan sebelum bisa merangkak, sudah dicalonkan sebagai pewaris tahta." penjelasan Naru semata-mata adalah salah satu fakta yang banyak terjadi dan tak heran Choji pun  memahami. " Nanti malam aku masih bekerja, di Bar tidak terjadi apa-apa dan untuk saat ini hanya itu satu-satunya harapanku. Yang kumaksud perusahaan ekspedisi, mereka memecatku karena terlambat masuk. Kebutuhanku tidak akan tercukupi kalau hanya bekerja di satu perusahaan."

"Kau bisa ikut kerja bersamaku. Besok aku coba bicara dengan pimpinan. Memang pekerjaannya agak kasar dan seperti yang kubilang, kurang cocok untukmu." sekali lagi Choji menawarkan pekerjaan tersebut kepada Naru. Sementara lelaki itu, dia menyingkirkan terlebih dahulu gambaran yang dapat terbayang, karena kuliah merupakan aksentuasinya saat ini. Daripada memikirkan beratnya pekerjaan tersebut, lebih baik mengambil semua peluang di tempat yang benar.

"Terima kasih, ya. Kau banyak sekali membantuku." bibir Naru tersungging lebar, rautnya menampakkan kelegaan. Obrolan santai pun terusik, tatkala dering ponsel Naru mencuri perhatian keduanya. Naru beranjak seketika dan menjawab panggilan tersebut, dia kini berdiri di samping ranjang single. "Aku sedang makan." Naru lantas menjawab cepat ketika Nata di sana mencecarnya dengan buru-buru.

"Belum pergi kerja 'kan? Bisa jemput aku tidak? Aku takut pulang sendirian."

"Lagi di mana? Mobilmu?"

"Nanti kutinggal saja di rumah Shizuka. Aku tunggu, ya. Jangan lama-lama."

Nata mengakhiri pembicaraan mereka sebelum Naru dapat menjawab, hingga karena bingung dia mendengkus di sana.

"Besok aku kemari lagi, sodanya sudah habis." Choji tergesa-gesa berpamitan. Samar-samar mendengar pembicaraan Naru di telepon barusan. Berujung dia pun mengangguk pelan sambil mengangkat sebelah tangannya. Tak lama piring-piring bekas makan diangkut ke wastafel.






Bersambung...

To be Lovesick ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang