Digo? Ali?

13.5K 690 28
                                    

ALI

"SISIII!!!", aku berteriak sekuat tenaga, aku terduduk tiba-tiba.

Aku merasakan peluh membasahi sekujur tubuhku. Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Aku berada di dalam kamarku sendiri. Aku memijat pelipisku, mengingat-ingat mimpi buruk yang mengganggu tidurku tadi. Mengingat-ingat kata apa yang kuteriakkan tadi. Aku menundukkan kepalaku, memandang kalung batu dengan bandul sayap perak diujungnya yang bergelantung lemah di leherku. Lagi-lagi aku tak bisa mengingat mimpi burukku, aku mengumpat dalam hati.

"BRAKKK!!!", aku tersentak mendengar suara pintu yang membuka lebar tiba-tiba.

"ALI?! Kenapa 'Li?", tanya kak Riri yang muncul dibalik pintu kamarku.

"Ya ampun, Kak. Ngagetin gue aja lo.", aku mengomel pada Kak Riri, saudara sekaligus manajerku.

"Lo yang ngagetin gue. Pagi-pagi teriak kayak orang kesurupan. Buruan mandi. Ada shooting iklan.", katanya padaku, lalu menghilang dibalik pintu yang menutup keras karena dibantingnya.

Aku menghela napas berat. Lantas bangkit dari ranjangku dan menyambar handukku sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar mandi. Begini hidup seorang aktor atau entertainer. Terkadang menjadi seorang aktor dan entertainer bukan hanya berarti gelimang harta dan blitz kamera. Aku merasakan hidupku kosong dan hampa. Ada yang hilang dalam diriku. Namun aku tak tahu apa itu.

------------------------------------------------------

Aku menghenyakkan tubuhku di kursi malasku di salah satu sudut lokasi syuting. Entah ini iklan keberapa yang kubintangi. Aku sudah tak pernah menghitungnya lagi. Rasa lelah dan jenuh menghampiriku akhir-akhir ini. Seringkali aku tidak bisa menikmati pekerjaan yang awalnya kupilih sendiri karena minatku menjadi seorang entertainer.

Aku mendengar teriakan-teriakan heboh dari belakangku. Itu fansku yang setia mengikutiku kemanapun aku pergi. Merekalah yang menjadi semangatku ketika aku sedang jenuh atau bosan seperti ini. Aku mendapat sebuah ide. Aku bangkit, mengenakan topi baseball yang kudapatkan dari fansku, kuambil gitarku dan aku melangkah menuju pintu gerbang lokasi syuting hari ini.

"Mau kemana 'Bang?", tanya Mama yang sedang duduk sambil membalas komentar di instagramnya.

"Ke sana bentar 'Ma. Belom take kan?", jawabku, lantas mengangkat sebelah alisku pada Kak Riri manajerku.

"Belom 'Li.", jawab Kak Riri tanpa memalingkan wajahnya dari ipad di pangkuannya.

Aku lantas melangkah ringan diiringi teriakan fansku yang semakin lama terdengar semakin kencang dan bising di telinga. Namun suara itu menyenangkan bagiku, menghilangkan rasa sepi yang aku sendiri tak tahu apa yang bisa mengisinya. Aku melempar senyumku ke arah mereka yang berdiri di balik pagar lokasi syuting.

Aku menyapa mereka. Menjabat tangan mereka, meski terkadang aku harus menghadapi resiko tercakar atau ditarik dengan kasar. Aku tetap senang melakukannya. Ada rasa yang menyenangkan dalam hatiku melihat ekspresi bahagia mereka hanya karena hal kecil yang aku lakukan.

Aku menyempatkan diri juga menyanyikan beberapa lagu untuk mereka dengan gitarku. Membiarkan mereka memfoto diriku atau merekam videoku dengan gadget mereka masing-masing. Aku berusaha menunjukkan senyum terbaikku. Aku terlarut dalam keasyikanku dengan mereka. Aku juga sempat menerima beberapa kado dari mereka. Ah, seandainya mereka tahu betapa berharga mereka bagiku. Aku juga sempat kewalahan mengucapkan terimakasih kepada mereka sampai akhirnya sebuah suara memanggilku.

"Ali! Take yuk!", Kak Riri, manajerku datang menghampiri.

"Makasih ya semuanya udah dateng. Ali harus take bagian pertama iklannya dulu. Ali masuk dulu ya.", kata Kak Riri ramah kepada semua fansku.

Aku mendengar dengungan rendah. Ada nada kecewa di suara mereka. Namun mereka tak marah, justru meneriaki kata-kata semangat untukku. Aku melempar senyum kepada mereka sambil melambaikan tanganku pada mereka. Aku melangkah menuju setting iklan satu merk clothing terkenal yang mengontrakku.

Sekitar dua puluh kali berganti pakaian, aku selesai. Aku melihat dari jauh resume take iklan tadi. Aku mengevaluasi setiap kata yang kuucapkan, ekspresi yang kutunjukkan, serta gerakan atau pose yang ku lakukan dalam beberapa video yang mereka ambil tadi.

"Bagus 'Li. Makasih ya. Seneng kerja sama lo.", kata Mas Fino, perwakilan dari brand clothing yang datang untuk melihat proses syutingnya.

"Sama-sama Mas. Mudah-mudahan hasilnya memuaskan.", jawabku sambil tersenyum.

"Oh, pasti. Gue yakin lo bakal jadi ikon terbaik Shooters Clothing.", katanya lagi sambil menepuk pundakku.

"Makasih Mas. Saya duluan ya.", kataku berpamitan untuk berganti pakaian.

Mas Fino mengangguk dan mempersilahkan aku meninggalkan lokasi. Aku menoleh pada Kak Riri yang terlihat amat sangat santai bersandar pada Mama di sebelah kursi malasku.

"Abis ini apa lagi Kak?", tanyaku pada Kak Riri.

Kak Riri menatapku tak bersemangat, lalu menoleh pada Rachel salah satu asistenku.

"Ngga ada 'Li. Kosong sampe malem ini.", kata Rachel kepadaku.

Aku sampai membelalak mendengarnya. Aku jarang sekali mendapat waktu kosong selama ini. Aku menatap jam tanganku yang menunjukkan pukul 16.30. Aku punya waktu hingga tengah malam. Aku berpikir keras. Apa yang akan aku lakukan dengan sisa waktu yang lumayan ini?, pikirku.

"Kenapa 'Bang? Kok diem?", tanya Mama yang masih sibuk dengan gadgetnya.

"Ali boleh pergi bentar ngga?", tanyaku pada Kak Riri dan Mama.

"Kemana?", tanya Kak Riri singkat.

"Jalan-jalan aja. Bosen banget gue 'Kak.", kataku padanya.

"Tapi harus ditemenin ya.", kata Kak Riri padaku.

"Ngga usah deh 'Kak. Gue bisa kok sendiri.", kataku memohon.

"Lo ngga takut apa diuber-uber?", Kak Riri memperingatkanku.

"Gue bakalan hati-hati. Gue janji.", aku menatap mata Kak Riri lekat-lekat.

"Yaudah biarin aja 'Ri.", kata Mama, kali ini menatapku iba.

Hatiku melompat-lompat kegirangan lantas memeluk Mama dan Kak Riri bergantian. Mereka tampak terkejut namun hanya terkekeh melihat tingkahku.

"Yaudah sana jalan. Jangan pulang kemaleman. Besok ada syuting pagi.", kata Kak Riri padaku.

Aku mengangguk penuh semangat. Memakai topi baseball dan jaketku, lalu menyambar kunci mobil di tangan Rachel.

Aku mencium tangan Mama singkat, tak lama kemudian aku sudah mengendarai Honda Jazz hitam menembus malam tanpa arah dan tujuan. Gelap malam membuatku leluasa karena tak perlu menggunakan kacamata hitamku. Aku sibuk melempar pandangan ke kiri dan kekanan. Memikirkan hal apa yang akan aku lakukan.

Tak berapa lama aku melihat bulir-bulir air hujan jatuh membasahi kaca depan mobilku. Aku sempat berdecak kesal. Namun ada sesuatu tentang hujan. Ada rasa hangat ketika aku membayangkan hujan turun disusul dengan cahaya matahari yang indah. Kemudian lengkung berwarna-warni akan muncul, memanjakan setiap mata. Aku tak mengerti, tapi ada rasa rindu menelusup ketika aku membayangkannya. Membayangkan pelangi yang berwarna-warni menghangatkan daun dan rumput yang basah oleh tetes hujan.

------------------------------------------------------

wings of alter egoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang