Januari

19 3 0
                                    

BULAN Januari, tanggal enam belas.
Tempurung gelap tak lagi mengungkungku lebih jauh.

Tuhan merayu kemudian merapalkan rentetan fantasi yang memantik rasa tidak sabar. Katanya di bawah layung semesta nanti, aku akan bercengkerama bersama banyak orang. Kesepianku lipur daripada sendirian dalam tempurung mama.

Ketika tombol kehidupan dipijit, puncak rasa serta juta emosi akan berbondong-bondong menyapa. Perlunya aku hati-hati. Sebab yang indah-indah takkan berlangsung lama selama aku dipenjara oleh ceroboh. Begitu pesan Tuhan.

Silau, Ma. Ternyata semesta sebenderang ini saat pagar itu kuseberangi.

Kira-kira jam lima pagi, azan shubuh berkumandang. Fajar masih menanti giliran untuk naik panggung. Di rentang itu aku masih hanyut dalam jerit tangis, kesilauan sama dunia baru.

Suaraku mungkin menggema di penjuru kamar rumah sakit. Maaf ya, Mama, aku buat gaduh dan merepotkan orang-orang berseragam putih di sana.

Dalam inkubator, semua pemandangan rasanya terbatasi. Sayup-sayup aku dengar dokter menyatakan simpatik besar-besar, karena berat badanku tidak normal. Beda dari bayi lain yang bebas terlelap dalam ranjang terbuka, aku divonis prematur.

Mama, bagaimana agar wajah itu tertata baik? Seakan yang terpenting di sini adalah kehadiranku, kau tersenyum pahit. Dimana hatimu mendambaku cepat-cepat bertualang di kediaman kita nanti, bernafas lega seperti anak tetangga, bermain dan tertawa lumrah karena muka konyol papa selayaknya seorang bayi pada umumnya.

Sementara ini inkubator adalah tempat terindah, Mama. Aku tidak mau menyesal. Bahkan menghakimi. Jadi, mama juga jangan sedih. Aku cuma sedang diberi sedikit kesabaran, menanti singgasana mewah yang kau siapkan jauh-jauh hari di sudut rumah.

Tuhan bilang, akan ada pelindung terbaik yang menjagaku dari kealpaan dan pelukan sisi gelap dunia. Mereka pasti orang yang kini menenangkanku dengan desutan lembutnya dan satu lagi sosok yang mencondongkan kepala ke lubang inkubator.

Vokal berat papa melingkupi rungu. Agak gemetar, papa mengumandangkan azan tepat di sisi telinga kananku. Perlahan silau dunia tampak berdamai dengan mata, bising ruangan seolah mulai berkawan dengan telinga. Aku terlampau nyaman sama lantunan azan dari papa, sampai tak sadar sudah dirundung mimpi.

Dalam mimpi, kurengkuh pundak renta mama. Aku merasa cukup raksasa dan nyaris setara dengannya. Ditambah gurat wajah mama kian jelas diiringi mata yang semakin tenggelam oleh pelupuk yang membengkak.

Ma, kenapa menangis?

Mimpi pudar sejalan netra mungilku membuka. Usai menyusuiku, mama membaringkan tubuhku kembali ke inkubator. Melalui lubang ia julurkan tangan dan buaian sarat kasih mengalir dari belaian jemarinya.

"Baby Mila, cepat besar ya. Mama mau lihat secantik apa nanti kamu waktu gadis," kata mama lirih. Penuh pretensi dan imajinasi mentereng. Terbukti dari binar dwimanik mama.

Bukan cuma mama, lho. Aku juga mau cepat-cepat besar dan memastikan bulir air mata tak pernah jatuh merusak sempurnanya kontur pipi itu, Ma.

🍼

Sampai ketemu baby Mila bulan depan...

To be continued.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Diary of a BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang