BAB 1

29 2 0
                                    

Kiya menghitung berapa lama waktu yang dia habiskan di ruangan ini, Tak banyak yang berbeda dengan pertemuan sebelumnya. Dua jam, waktu yang ia habiskan di ruangan konsultasi ini, hanya diisi dengan diam sembari memberi jawaban singkat dari pertanyaan yang diajuka oleh Naura, psikolog yang sedang menangani permasalahan kejiwaanya.

"Terus, apa yang membuatmu datang ke sini?"

Sejenak Kiya terdiam, memikirkan jawaban pertanyaan yang diajukan oleh Naura. Apakah dia harus memberikan jawab yang jujur atau sedikit berkelit. Akhirnya, Kiya memilih untuk menjawab pertanyaan Naura secara jujur. "Saya datang ke sini karena disuruh oleh ibu saya"

Kiya menatap wajah Naura untuk melihat reaksi apa yang akan terpancar dari wajahnya. Di sana dia menemukan ekspresi Naura yang tersenyum maklum sambil menahan tawanya agar keluar. Mungkin takut dianggap tidak sopan. Beberapa kali Naura berdeham untuk meredakan tawa yang terkumpul di bibirnya sambil berujar, "Sepertinya ibumu tipikal orang yang pemaksa ya."

Kiya mengangguk membenarkan ucapan Naura. "Beliau memang tipikal orang yang pemaksa dan tidak sabaran." Perkataan Kiya terhenti sejenak. Kiya. Dia beberapa kali menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya.

"Jika saya tidak ke sini, beliau pasti menyeret saya untuk datang ke sini, seperti kejadian minggu lalu." lanjutnya. Seketika Kiya teringat kejadian minggu lalu saat ibunya memaksanya untuk bertemu Naura. Tidak hanya memaksa, ibunya juga menemaninya di ruang konsultasi Naura. Gara-gara hal ini, Kiya menutup mulutnya rapat-rapat selama sesi konsultasi minggu lalu. Beberapa kali ibunya setengah memaksanya untuk menjawab pertanyaan standar yang dilontarkan Naura, namun berujung ibunya sendiri yang memberikan jawaban.

"Kiya sesi konsultasi hari ini, kita cukupkan sampai di sini ya. Sampai ketemu minggu depan." Naura akhirnya memutuskan untuk mengakhiri sesi konsultasi hari ini harus diakhiri. Tidak seperti sesi konsultasi minggu lalu, sesi konsultasi hari ini, Kiya mulai mau menjawab secara singkat beberapa pertanyaan yang diajukan Naura. Dari pertanyaan itu, Naura menemukan fakta bahwa minggu lalu Kiya dipaksa oleh ibunya untuk bertemunya dan obsesi Kiya terhadap kematian.

Entah apa yang mendasari obesesi Kiya terhadap kematian. Naura belum bisa mengorek perihal hal itu

Pertemuan Naura dan Kiya baru terjadi sebanyak dua kali. Mungkin itu bukan wkatu yang cukup untuk menumbukan kepercayaan di dalam diri Kiya untuk mau membagikan masalah yang ia alami dengan Naura.

Minggu lalu, pertama kali Kiya bertemu dengan seorang psikolog muda, Naura. Selama ini hal yang terbayang baginya ketika mendengar kata 'psikolog' adalah orang yang mengobati orang-orang gila.

Kiya tidak gila, setidaknya dia merasa begitu. Dia masih merespon dengan baik setiap perkataan yang dilontarkan padanya. Dia masih ingat siapa dirinya, siapa namanya, dan siapa orang-orang di sekitarnya. Selain itu, dia juga tidak tertawa sendiri tanpa sebab alasan yang jelas, tidak seperti orang gila yang dia temukan di pinggir jalan setiap kali dia berangkat ke kampus. Kiya juga tidak memukuli orang dengan alasan tidak jelas. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukan bahwa dia gila. Namun, kenapa orang tuanya memaksanya untuk bertemu dengan seorang psikolog?

Kiya benar-benar tidak mengerti.

Kedua orangtua Kiya memaksanya untuk ke psikolog bukan tanpa alasan yang tidak jelas. Sebulan yang lalu kedua orangtua Kiya menemukan anak mereka dengan kondisi tidak sadarkan diri dan mulut penuh busa. Tak jauh dari tubuh Kiya, terdapat sebotol kecil obat penenang dengan dosis tinggi dalam keadaan terbuka, beberapa butir pil obat penenang berceceran di sekitarnya.

Dengan segera, kedua orangtua Kiya membawanya ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama. Nyawa Kiya tertolong. Kiya siuman setelah terbaring tak sadarkan diri selama tiga hari di ICU.

Tak sepatah katapun yang keluar dari mulut Kiya saat kedua orangtua ataupun sahabatnya menanyakan apa yang terjadi ataupun apa yang menyebabkan dia nekat untuk memeguk 5 butir obat penenang sekaligus. Hanya sebuah senyuman tipis yang mampu dia tunjukkan. "Maaf, aku membuat kalian khawatir" atau "Aku baik-baik saja" yang mampun keluar dari mulut gadis itu.

Walaupun sering mendengar 'Aku baik-baik saja' semua orang tau Kiya dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Jika dia dalam kondisi baik-baik saja, tidak mungkin Kiya akan meneguk obat penenang dalam dosis tinggi dalam jumlah banyak dalam sekali waktu.

Beragam cara orang-orang terdekat menunjukkan kekhawatiran mereka terhadap Kiya. Jika teman-teman dekat menunjukkan dengan kontak fisik seperti pelukan, ayahnya memilih untuk dia memperhatikan Kiya dari kejauhan. Sedangkan ibunya menceramahinya dengan dokrin agama secara habis-habisan.

"Bunuh diri itu, dosa besar. Masuk neraka, ganjarannya. Kamu mau?'omel ibunya setelah seminggu Kiya sadarkan diri, namun masih harus tinggal di rumah sakit dalam rangka observasi. "Kayak kamu lahir dari orangtua yang ga ngajarin kamu agama aja. Bikin pusing orang tua aja"

Mendengarkan omelan ibunya, Kiya hanya bisa tersenyum lemah.

'Emang surga dan kebahagiaan tidak pernah diperuntukan bagi Kiya'

***

Healing Kiya's SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang