Bab 2

16 2 0
                                    

Sudah dua minggu Kiya tinggal di ruang VIP RS Sumber Sehat. Rasa bosan menghinggap Kiya. Sesekali suster mengajak Kiya untuk berjalan-jalan di sekitar gedung rawat VIP. Sesekali teman-teman dekatnya, Pampam, Dame, Dee, datang menjenguk slih bergantian. Kedua orangtuanya masih setia menemaninya. Sang ayah sengaja mengambil cuti tahunan untuk menemani Kiya selama di rumah sakit sejak seminggu yang lalu sedangkan ibunya tetap bekerja. Namun beliau sering berada di ruangan rawat Kiya dibandingkan di ruang poliklinik tempat beliau bertugas ataupun di ruang dokter di rumah sakit tersebut.

Ibu Kiya merupakan dokter salah satu senior di RS Sumber Sehat. Beliau merupakan salah satu ahli penyakit dalam terkenal di RS tersebut. Tak hanya terkenal karena diagnosisnya yang akurat, beliau juga termasuk ramah terhadap pasien dan karyawan di rumah sakit tersebut. Kejadian percobaan bunuh diri Kiya, menjadi bahan perbincangan tersendiri antar karyawan di rumah sakit tersebut. Banyak yang mempertanyakan penyebab Kiya nekat melakukan hal tersebut? Bagaimana kondisi rumah tangga dokter spesialis penyakit dalam yang terkenal ramah itu? dan hal-hal lainnya. Tak jarang ibunya datang ke ruangan rawat Kiya dalam kondisi mendumel karena beliau menjadi bahan gosip di lingkungan rumah sakit.

Ayah Kiya hanya diam, beliau tidak ingin membuat kondisi Kiya semakin memburuk dengan menanggapi keluh kesah istrinya. Sedangkan Kiya hanya tersenyum kecut seolah berkata 'Ibu, maafkan aku karena menimbulkan masalah'.

Siang itu, salah satu momen langka terjadi. Di ruangan rawat, Kiya berkumpul dengan kedua orangtuanya. Momen kebersamaan tersebut diinterupsi karena Dokter Helmi, salah satu rekan sejawat ibunya Kiya masuk. Beliau ingin berbicara secara pribadi dengan kedua orangtua Kiya. Setelah menjenguk Kiya, Dokter Helmi meminta kedua orangtua Kiya untuk menemuinya di ruangan prakteknya di bagaian psikiatri

"Dokter Ayu dan Pak Arya, ada hal yang mendesak yang harus saya bicarakan dengan Anda. Ini terkait Kiya" ujar Dokter Helmi setelah sepasang orangtua ini duduk di kursi yang biasanya diduduki oleh pasien dan pendamping pasien.

"Ada apa, Dok?"Dokter Ayu, ibu Kiya, bertanya langsung pada inti yang ingin disampaikan oleh Dokter Helmi.

Dokter Helmi menatap sepasang orangtua yang duduk di depannya dengan pandangan yang sulit diartikan. Beliau menghela nafas sebelum menyampaikan fakta yang harus dia sampaikan "Dokter Ayu dan Pak Arya, dengan berat hati saya harus mengatakan sepertinya Kiya terindikasi mengalami depresi"

Sontak fakta yang disampaikan Dokter Helmi tersebut mengejutkan kedua orangtua Kiya, terutama Dokter Ayu. Mereka tidak menyangka anak mereka mengalami depresi.

"Tidak mungkin, Dokter Helmi. Saya ibunya, saya mengenal Kiya sejak dalam kandungan. Kiya tidak mungkin mengalami depresi," sanggah Dokter Ayu dengan nada emosi. Orangtua mana yang terima anaknya didiagnosa mengalami depresi. Padahal sepengamatannya, anaknya baik-baik saja.

"Tapi dari hasil pemeriksaan dan observasi selama 2 minggu, ini menunjukkan indikasi Kiya mengalami depresi,"Dokter Helmi mejabarkan rekap status pasien milik Kiya kepada Dokter Ayu. Dengan segera, Dokter Ayu membaca itu dengan seksama. Tangis Dokter Ayu pecah seketika setelah membaca status pasien milik Kiya. Hatinya hancur sehancur-hancurnya. Pertama kali dia merasa gagal baik sebagai dokter maupun sebagai ibu. Sebagai dokter, Dokter Ayu merasa gagal karena tidak dapat melihat gejala klinis depresi yang terjadi pada di depan matanya. Sedangkan sebagai ibu, Dokter Ayu merasa kurang memperhatikan kondisi kejiwaan anaknya sehingga mengalami depresi hingga nekat untuk bunuh diri. Bahkan dia tidak tau kejadian-kejadian apa saja yang dialami Kiya sehingga depresi muncul. Dia selalu melihat Kiya baik-baik saja.

"Tidak mungkin Kiya-ku, Kiya-ku mengalami depresi. Tidak mungkin." Dokter Ayu histeris, belum dapat menerima kenyataan yang terjadi pada anak semata wayangnya tersebut. Dengan segera Arya memeluk Dokter Ayu dengan maksud menenangkan. Sebagai ayah, tidak menyangka putrinya akan mengalami depresi. Namun tak bisa dia pungkiri, pekerjaan yang sangat menyita waktu, membuatnya jarang memperhatikan tumbuh kembang Kiya dari kecil hingga saat ini.

Suasana hening yang diwarnai isak tangis Dokter Ayu melingkupi ruang praktik Dokter Helmi. Tidak ada sepatah katapun yang terucap. Dokter Helmi memberi waktu sepasang orangtua itu untuk menerima keadaan mengenai kondisi putrinya. "Apa yang bisa kami lakukan untuk menyelamatkan kejiwaan Kiya?" tanya Arya memecah keheningan. Di antara rasa sedih dan tidak percaya atas kondisi putrinya, Arya mencoba mencari solusi untuk menangani permasalahan. Dia tidak mau kondisi Kiya semakin memburuk jika tidak segera ditangani.

"Menurut diagnosis saya, depresi yang dialami Kiya belum mencapai tahap depresi berat. Saya rasa Kiya tidak perlu untuk mengkonsumsi obat penenang. Ada baiknya, Dokter Ayu dan Bapak Arya membawa Kiya ke psikolog untuk berkonsultasi" Dokter Helmi memberikan penjelasan mengenai masalah psikologis yang dialami oleh Kiya. Arya mendengarkan secara seksama penjelasan dari Dokter Helmi. Sementara Dokter Ayu masih terisak dalam pelukan suaminya. Perlahan dia mulai bisa mengendalikan diri dan mencoba menerima kenyataan yang terjadi pada keluarganya.

"Saya memberi saran sebaiknya Kiya ditangani oleh psikolog ini" Dokter Helmi menyodorkan seberkas kartu nama psikolog yang dia rekomendasikan. Dokter Ayu menerima kartu nama yang disodorkan. Sekilas dia membaca informasi yang tertera di kartu nama tersebut.

"Dok, bukankah lebih baik dengan psikolog yang udah memiliki jam terbang yang tinggi untuk menangani kasus Kiya?"Dokter Ayu keberatan dengan psikolog yang direkomendasikan oleh Dokter Helmi. Menurut Dokter Ayu, psikolog ini masih sangat muda. Umurnya sekitar lima atau enam tahun lebih tua dibandingkan Kiya. Dokter Ayu merasa psikolog ini tidak mungkin sanggup untuk mengatasi kasus yang dialami anaknya. "Psikolog ini masih terlalu muda."

"Dokter Ayu, saya rasa psikolog ini yang terbaik untuk Kiya. Saya rasa Kiya lebih membutuhkan teman curhat yang usianya relatif tidak beda jauh. Saya harap Kiya bisa terbuka dengan beliau. Yang saya takutkan jika saya memberi saran Kiya ditangani oleh psikolog yang lebih senior, Kiya tidak mau menceritakan apa sebenarnya yang dia alami sehingga mengambil tindakan tersebut." Ada benarnya penjelasan yang diutarakan oleh Dokter Helmi. Dengan berat hati, Dokter Ayu menerima saran dari teman sejawat yang berbeda keahlian dengannya.

"Dokter Ayu, maaf bukan saya bermaksud menggurui Anda. Ada baiknya Dokter Ayu dan Bapak Arya meluangkan waktu untuk Kiya. Entah itu berbagi cerita atau mendengarkan cerita yang ingin diceritakan oleh Kiya." Nasehat Dokter Helmi pada orangtua Kiya.

"Saya sangat menyadari tanggung jawab kita sebagai dokter sangat berat. Nyawa pasien berada pada prioritas utama setelah prioritas terhadap Tuhan. Bahkan saat-saat tertentu kita tidak punya pilihan untuk memilih antara nyawa pasien dan keluarga. Namun, saya pinta di sela-sela kesibukan Anda sebagai seorang dokter spesialis penyakit dalam, luangkan waktu untuk mendengarkan Kiya bercerita. Entah cerita apapun itu dari hal yang penting hingga hal yang remeh-temeh. Kunci semua ini adalah komunikasi dua arah. Saya menyadari Kiya selalu berada di dekat Anda dari dia lahir hingga saat ini. Saya ingat bagaimana Anda selalu menolak untuk ikut seminar ke luar kota dengan alasan tidak bisa meninggalkan Kiya? Bagaimana Anda menolak promosi jabatan menjadi kepala rumah sakit karena Kiya? Anda selalu menjaga Kiya agar tetap di sini Anda. Namun dari kejadian kemaren saya menyadari Anda selalu berada di dekat Kiya namun tidak pernah 'benar-benar hadir'. Saya harap dengan kejadian ini hubungan Anda dan Kiya dapat lebih baik lagi." Nasehat yang disampaikan Dokter Helmi kali ini lebih tepat ditujukan pada Dokter Ayu selaku ibu kandung Kiya.

"Maafjika saya lancang." Ujar Dokter Helmi dengan nada penyesalan yang khususditujukan pada Dokter Ayu, rekan sejawatnya, seniornya sewaktu kuliah sertaatasannya di bagian layanan medis karena merasa telah menggurui. Arya danDokter Ayu tersenyum memaklum. Kejadian yang menimpa Kiya, membuka mata mereka tentang kekurangan mereka sebagai orangtua.

Healing Kiya's SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang