1 : bertambah

5.8K 519 53
                                    

       DENGUNG suara nyamuk terbang berdansa-dansa mengelilingi telinga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

DENGUNG suara nyamuk terbang berdansa-dansa mengelilingi telinga. Beriringan dengan embusan angin kencang. Pohon besar nun rindang bergoyang seakan menari. Di bawah sinar bulan, merasakan tentram tak berkesudahan. Secercah binar oranye keluar dari pematik yang baru dinyalakan. Hangat. Meski sedikit dinginnya tetap tertinggal. Mata sipit itu tak berkedip. Jarinya bergerak pelan. Bibirnya mewanti-wanti menghitungi.

Satu menit lagi. Dua puluh detik lagi. Sampai kemudian, tubuhnya menegak lurus pada hitungan yang dinanti-nanti. "Selamat ulang tahun, Wonu," katanya pada diri sendiri kala waktu menunjuk tepat tengah malam. Api itu lenyap hanya dengan sekali tiup. Tak ada bau yang tersisa. Matinya begitu saja, tidak ada pengaruh apa-apa. Senyap. Tetap suara jangkrik dan nyamuk yang masih terdengar. Seakan turut menyambut pergantian umurnya.

         Tubuh yang duduk lurus itu perlahan meringkuk memeluk lutut.  "Selamat ulang tahun," ucapnya sekali lagi, sembari mendongak menatap langit yang gelap tanpa bintang. Benar-benar kosong melompong, entah sebenarnya ada namun tidak terlihat, atau memang bintang-bintang itu enggan menampakkan diri—mengucilkan Wonu yang semakin merasa sendiri.

Tidak ada keinginan untuk beranjak. Kalau bisa, ingin rasanya tidur di situ. Berselimut dingin, berkawan gelap. Lagi pula, di luar ataupun di dalam, dia telah terbiasa merasakan suasana itu. Andaipun nanti ada yang mengganggu—seperti penampakan kuntilanak ngejreng, pocong gonjreng, atau hantu-hantu yang lain— Wonu tidak akan takut.

        Sekali lagi, dia telah terbiasa. Sama sekali tidak ada ketakutan dalam dirinya karena setiap hari, dia sudah bertemu makhluk yang lebih menakutkan dari sekadar setan buruk rupa. Hanya saja, ketika tubuh kurusnya itu ingin berbaring, kegaduhan tiba-tiba terdengar. Memaksanya mengurungkan niat untuk rebahan. Memutar bola mata malas, dia beringsut menengok ke bawah. Mulutnya berdecak menemukan si yang lebih menakutkan dari setan itu ada di sana, di depan, tengah mengetuk-etuk pintu seperti kesurupan.

Dug! Dug! Dug!

"Samlekum, halo? Ada orang nggak?!"

Pintu diketuk dengan brutal dan tidak sabaran. Wonu turun melalui tangga yang ada di samping rumah. Cepat-cepat ke depan. Takut kalau saja pintu kayu yang sudah ringkih itu roboh mengingat kekuatan perempuan tersebut tidak ada bedanya dengan buldoser. Mirip seratus persen. Saking kuatnya, kemarin sapu bergagang jati yang usianya sudah lebih dari sepuluh tahun di rumah mereka patah setelah tak sengaja diinjak oleh perempuan itu. Itu pun masih belum seberapa kalau ditambah dengan banyaknya pot batu yang retak karena lagi-lagi tidak sengaja ditubruk saat perempuan tersebut terburu-buru berangkat kerja.

"HALO? LUNA MAYA NGGAK DIBUKAIN PINTU, NIH?"

Tepat saat tangan berhias arloji hitam itu hendak kembali mengetuk, Wonu segera menahan dan mengempaskannya. "Berisik," gerutu cowok itu, mengambil kunci dari saku celana pendeknya. Membuka pintu dengan mudah.

     "Dari tadi kek, Nuuuuuu!" sungut Weny. Menyelonong masuk, mengabaikan Wonu. "Lo tuh kalau dengar gue ngetuk pintu langsung bukain napa, sih. Demen amat bikin gue nunggu lama-lama. Nggak tahu apa kalau di luar dingin banget?" Weny berbalik tubuh menghadap Wonu yang baru masuk namun masih sibuk mengunci pintu lagi. "Lo abis main di genteng lagi, ya?" tanyanya, menyelidik.

"Iya, kenapa? Masalah?" Wonu menanggapi ketus, menggantungkan kunci ke tembok samping pintu. Sudah seperti satpam saja dia membawa kunci ke sana-kemari, padahal untuk keluar dari rumah tadi dirinya cuma butuh loncat dari jendela kamar.

    "Nggak ada takut-takutnya, heran. Belum pernah kena caplok kuntilanak kelaperan, ya?" Weny berdecak sembari menggelengkan kepala. Tidak habis pikir bisa-bisanya si adik hobi sekali menghabiskan waktu di genteng. Selain takut adiknya dibawa setan, Weny juga takut rumahnya roboh karena genteng keropos itu sering dinaiki beban berat seperti Wonu. Dasar, nggak tahu diri memang.

"Buat apa takut, bentuk lo aja lebih serem dari kuntilanak bunting," cibir Wonu terang-terangan, menilik penampilan Weny dari atas sampai bawah.

Weny menggunakan span hitam pendek sebatas lutut yang dipadupadankan dengan kemeja putih—bagian kerahnya terdapat noda kotoran. Tangan kirinya menjinjing sepatu hak sedang. Naik ke atas, Wonu tak dapat menyembunyikan helaan napas beratnya. Rambut perempuan itu seperti singa. Acak-acakan dengan bagian ujung kering. Cocok digunakan sebagai model iklan shampo versi belum mendapatkan perawatan.

       Masuk ke area wajah, Wonu tambah miris. Make up yang seharusnya memperindah itu malah jadi menyeramkan. Eyeliner tergores keluar dari garis semestinya, bedak tidak rata, celemongan. Gila, kakaknya baru kena musibah apa, sih? Kenapa kacau banget? Wonu hampir bertanya kalau saja tidak segera ingat—seharusnya dia tidak kaget, Weny selalu pulang dalam keadaan seperti itu.

"Emang iya?" Weny berlari kecil menuju kaca yang terdapat pada samping kiri televisi. Mematut dirinya sendiri. "Enggak, ah. Orang gue masih kelihatan sempurna dan menawan gini!" katanya, berkacak pinggang, memanyunkan bibir. Berpose seakan bintang model ternama.

Wonu mendengkus. Tidak ingin lama-lama meladeni, bisa ikut sinting dia nanti. "Kalau mau makan, ambil aja di tempat biasanya," kata cowok itu. Weny mengangguk. "Oh ya,"  Wonu sempat menahan diri untuk tidak pergi dulu. Semata-mata untuk kembali menengok Weny yang  tak mengindahkan pandangan dari pantulan dirinya di kaca. Sibuk bergaya aneh-aneh. Menyebabkan Wonu jadi diam mengamati.

"Kenapa?" Weny bertanya, pasalnya ucapan Wonu menggantung. Perempuan itu akhirnya menghadap Wonu saat tak kunjung jua ada jawaban. "Lo mau bilang apa?"

Wonu mengerjapkan mata. Terlalu sibuk menimang-nimang antara mengatakannya atau tidak. Menerka apakah Weny mengingat tentang hari ulang tahunnya. Namun, ketika wajah itu tidak memberikan ekspresi apa pun selain raut bingung, Wonu tahu jawaban yang akan dia dapat seandainya dia betul-betul bertanya; tidak, Weny tidak ingat. Dan bersamaan dengan mengetahui itu, terdapat setungkup kekecewaan yang menjalar di hatinya. Sebab dia tidak bisa memungkiri kalau perempuan itu satu-satunya yang dia harapkan usai Bapak yang sudah pasti tidak mengingat apa-apa.

"Jangan lupa mandi." Itu jawaban yang akhirnya keluar dari mulut Wonu. "Setan demen sama yang kotor-kotor."

"Lo nggak tahu ya kalau gue suci dalam debu?" Weny mendesah pelan, mengira ada sesuatu penting yang ingin adiknya bahas; semacam ada lowongan pekerjaan lain. Jujur, keberantakannya hari ini karena kegiatan di tempat kerja membuatnya uring-uringan. "Dah, tidur sana. Besok sekolah, 'kan?" usirnya seraya mengibaskan tangan. "Anak kecil kok tidurnya tengah malem mulu."

Weny mengomel panjang lebar mengenai kebiasaannya yang suka tidur terlalu larut. Mendengar itu, Wonu melengos. Akhirnya kembali pada tujuan awal untuk pergi ke kamar. Percuma diomeli, itu tidak membuatnya bisa tidur cepat karena sepertinya dia akan terjaga sampai pagi hari setelah mendapatkan sebuah pesan singkat dari nomor yang paling dinanti. Semburat senyum tercetak pada wajah kaku tersebut. Wonu tidak pernah menyesal dilahirkan di tanggal muda. Setidaknya besok dia mendapatkan uang sehingga bisa membeli hadiah untuk dirinya sendiri.

 Setidaknya besok dia mendapatkan uang sehingga bisa membeli hadiah untuk dirinya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Makasih ya dah bacaa. Sampai jumpa di chapter selanjutnya, Luvv💛


Best Regards,
Incainica.

Pendar [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang