Prologue

338 11 6
                                    

       Hiruk pikuk senapan, dentuman bom di kejauhan, teriakan kesakitan memenuhi kepalaku. Dan yang dapat kudengar hanyalah

"Aku menyayangimu."

--------------

21 November 1925
Bavaria,
The Federal Republic of Germany


       Aku dapat merasakan air menyentuh jemari kakiku. 'Aah alangkah sejuknya!' pikirku. Disini begitu hening karena tempat ini termasuk jauh dari pemukiman kami. Itulah mengapa aku suka kesini jika suasana hatiku sedang gundah.

       Aku ingat pertama kali aku ke tempat ini. Hari itu merupakan hari pertama aku bersekolah. Aku mengenakan gaun kebanggaanku yang berwarna coklat tua dengan lengan kemerahan dan kerah dengan warna serupa. Dahulu aku merupakan gadis yang sangat pendiam dan penyendiri, tak heran jika tidak ada satu anakpun yang ingin duduk di sampingku pada hari itu.

       Aku tidak bisa membaca dan menulis. Bukan karena aku tak mau, justru aku sangat tertarik terhadap buku-buku tua di toko buku Mr. Wilpert yang selalu kulihat saat hendak ke sekolah, tetapi karena kedua orangtuaku yang juga buta huruf sehingga mereka tidak dapat mengajariku.

       Keluargaku memang tidak kaya, bahkan bisa dibilang kami miskin, sangat miskin. Tetapi itu tak menghalangiku untuk bersekolah, mom selalu berkata "Émilie, kita memang miskin, kita memang kurang berkecukupan dibandingkan orang lain, tapi kamu tidak boleh lupa bahwa semua warga Jerman memiliki hak yang sama dan tidak dibatasi oleh hal apapun. Kamu tidak boleh membiarkan orang lain meremehkanmu, kamu akan menjadi orang besar. Dan mom percaya akan hal itu"

       Aku ingat bagaimana teman-temanku menertawaiku disaat Mrs. Lisette menyuruhku untuk membaca sumpah Nazi yang tertera di papan tulis. Tentu saja aku hafal sumpah tersebut, tetapi Mrs. Lisette menyuruhku hanya membaca kata yang ditunjuk olehnya. Dan begitulah bagaimana mereka tahu bahwa aku buta huruf.

       Aku benar benar ingin menangis, sungguh tidak enak rasanya dikucilkan di dalam sebuah kelas dan bahkan gurumu tidak peduli. Salah satu anak lelaki bahkan melempariku dengan serbuk bekas rautan alat tulis. Aku ingat mukanya, rambut pirang dengan mata warna hazelnut dan bekas luka kecil tampak di dagunya.

       Saat pulang sekolah, beberapa anak lelaki menghampiriku dan memanggilku dengan sebutan "ungebildet". Awalnya hanya beberapa anak, lalu anak-anak lain mulai mengikuti. Kini, aku berada di tengah lingkaran anak yang terus terus meneriakiku sembari tertawa dengan sebutan itu. Aku dapat melihat Mrs. Lisette lewat ujung mataku, ia hanya melihat kearahku sekilas lalu berlalu begitu saja.

       Aku berlari tanpa henti. Berlari dari kerumunan orang-orang yang menertawakanku. Kakiku tersandung batu yang tak dapat kulihat karena mataku mulai digenangi air. Aku segera bangkit dan aku masih terus berlari ke arah tak menentu. Seorang anak perempuan berteriak "lihat anak aneh itu! Dia bahkan tak mengikat tali sepatunya"

       Aku berhenti saat kudapati didepanku ada teluk kecil yang mengalir cukup pelan. Aku duduk bersimpuh di pinggir teluk tersebut sembari menatap sekeliling. Aku tak pernah tahu bahwa ada teluk yang mengalir disini. Aku bahkan tak tahu dimana aku berada sekarang ini.

       Kudapati wajahku sudah basah oleh air mata. Tak kupedulikan kakiku yang berdarah, kurasa akibat tergesek duri semak belukar yang tak kuperhatikan saat berlari tadi. Aku menangis kencang. Tak peduli jika ada mendengar. Aku terus mengeluarkan sumpah serapah yang bahkan aku tak tahu artinya. Aku hanya sering mendengar dad meneriakan hal itu saat sedang marah terhadap mom, aku, atau bahkan marah kepada serangga yang terus menerus hinggap di badannya.

       Aku marah. Marah terhadap keluargaku, temanku, dan tuhan. Yah meskipun aku bukanlah orang yang terlalu religius tapi aku masih percaya adanya tuhan. Aku melempari air di depanku dengan batu-batu disekitarku. Dapat kurasakan kuku jemariku yang mulai terasa perih akibat mengambil tanah berbatu dengan paksa. Ku nikmati perasaanku yang berkecamuk ini. Lalu setelah itu, aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku tak akan pernah menangis lagi.

Saat itulah aku bertemu dengannya.


TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang