Dialah Tama. Seorang pemuda penuh obsesi. Namun sayang, kehidupan tak berpihak kepadanya.
Tama hanyalah anak yang berasal dari kampung yang merantau nasib di Ibukota bersama dengan Sri, ibundanya. Sang Ayah telah tiada sebelum Tama dilahirkan.
Pemuda itu tak memiliki sifat yang congkak, arogan dan tidak memiliki sikap hormat kepada ibunya.
Kesehariannya hanya mengutuk Tuhan, dia selalu putus asa atas kemiskinan yang dihadapinya.
***
Di ruang tamu, Sri mengayun kaki dan diiringi oleh suara mesin jahit tua yang berdecit. Sesekali wanita tua itu berhenti untuk mengganti benang.
"Buk, lapar ... makan!!"
Dengan wajah bantalnya, Tama anak semata wayangnya berteriak. Setiap perkataan Tama seolah perintah yang harus segera dilaksanakan oleh Sri.
Wanita itu meninggalkan mesin jahitnya dan bergegas menghidangkan makanan untuk anaknya.
"Lauk tempe lagi, Buk? Kerja siang-malam duitnya buat apa kalau masak tempe terus!!"
"Ya Allah, Nak. Bersyukurlah, kita masih bisa makan. Kita irit dulu, besok kan waktunya bayar kuliah kamu."
"Halah! Gimana Tama mau pinter, kalau lauknya tempe terus!!"
Prangggg!!
PyaaarrrhhTama membuang piring yang dibawa Sri, hingga semua isinya tercecer di lantai.
Sri tergugu. Wanita itu membereskan sisa-sisa pecahan yang berserakan di lantai. Sementara Tama berlalu pergi meninggalkan rumah.
"Kopi item satu sama nasi bungkus lauk ayam goreng satu, Lek," ucap Tama kepada penjaga warung di ujung gang rumahnya.
"Mau bayar atau ngutang, Tam?"
"Ngutang lagi lah, Lek. Mana ada duit aku."
"Kagak bisa! Utang kamu sudah numpuk, bayar dulu nanti baru boleh ngutang lagi." Lek Tarjo berkata sambil menyodorkan buku catatan hutang Tama.
"Pelit amat sih, Lek."
"Bah!! Bayar dulu baru boleh ngutang lagi!"
Tama pun pergi dengan perut yang masih keroncongan. Namun, Tama tak kehilangan cara agar bisa makan enak secara gratis. Dia pun pergi ke rumah Edwin sahabat karibnya.
"Eh, Tama ... ayo masuk. Kebetulan gue lagi sarapan bareng adikku, Jane."
Bagai gayung bersambut. Tama pun masuk ke rumah besar dengan arsitektur modern yang mentereng.
Bukan hanya sekedar untuk numpang makan. Tapi sedari dulu Tama memendam rasa dengan Jane. Semua tipikal yang ada pada Jane membuat Tama jatuh cinta.
Selain terlahir sebagai anak orang kaya, Jane juga memiliki paras jelita.
***
"Tam, minggu depan kita hiking ya. Liburan tipis-tipis brohh!! Bosen lah libur kuliah mager mulu di rumah," ajak Edwin.
"Boleh tuh. Ajak Jane juga yaa...."
"Gue akan ikut, jika Andara ikut," sahut Jane.
"Ngapain sih, harus ngajak cewek nyebelin itu?!" ucap Tama.
"Ya gila aja, kalau gue cewek sendirian. Gue juga mau ngajak Andara. Kalau Dara gak ikut, gue ogah. Titik," Jane berkata sambil meninggalkan meja makan dengan wajah yang cemberut.
"Gimana, Tam?" tanya Edwin.
"Yawes lah."
***
Setelah mereka sepakat mengenai kapan dan di mana akan mendaki gunung. Tama bergegas kembali pulang.
"Buk, minggu depan aku mau mendaki gunung. Tolong belikan tas dan sepatu baru."
"Tama ... uang untuk bayar semesteran kuliah kamu saja masih kurang, Nak. Sekarang kamu malah mau minta yang aneh-aneh."
"Heh, Buk!! Sudah kewajiban orang tua untuk mencukupi kebutuhan anak! Mangkanya cari kerja apa lagi sono! Biar cukup! Biar bisa makan enak! Dasar ibu tidak berguna!!"
Sri hanya bisa mengelus dada atas sikap anaknya. Ketika selesai dengan pekerjaan menjahitnya, Sri pergi ke rumah tetangga untuk mengambil pakaian-pakaian kotor.
Sri juga menyambi pekerjaan cuci gosok, untuk memenuhi segala keinginan putra sematawayangnya.
Bukannya Sri tak bisa bersikap tegas kepada Tama. Sebab, mendiang suaminya selalu berpesan agar dirinya tidak boleh kasar kepada putra mereka.
Tama adalah harta mereka satu-satunya.
Dulu, setelah pernikahan Sri bersama Yudi menginjak 10 tahun, wanita itu baru diberikan anugerah terindah.
Setelah sekian lama menanti. Akhirnya, Sri hamil. Namun sayang, di usia kehamilan yang menginjak 3 bulan, suaminya mengalami kecelakaan proyek kerja.
Namun, sebelum Yudi menghembuskan nafas terakhir, lelaki itu berpesan kepada Sri, "Tolong jaga anak kita, Dek. Jangan pernah marahi atau membentaknya. Ingatlah bahwa dia adalah harta kita satu-satunya."
Sri selalu ingat perkataan suaminya. Itu adalah permintaan terakhirnya.
"Mas Yudi, anak kita itu begitu tega kepadaku. Apakah aku masih harus memanjakannya? Sebaiknya bawa aku saja, Mas. Aku ingin menemanimu di alam baka sana," ucap Sri dengan air mata bercucuran.
Tangan wanita itu masih sibuk mencuci, sesekali tengah menyeka air mata yang sudah berbaur menjadi satu dengan pilu keringatnya.
Bagi Sri, Tama memanglah harta satu-satunya. Namun, apakah Tama menganggap bahwa kehadiran sama berharganya seperti dia menganggap putranya.
Entahlah. Sekarang ini, Sri masih bisa ikhlas dan tabah. Mungkin semua kesabaran itu ada batasnya.
Tapi jikalau Tama tak bisa berubah. Biarlah Tuhan yang menghardiknya. Sri pun rela. Sebab, Tama tak lebih dari titipan Tuhan, yang harus ia jaga sebaik-baiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Edelweiss Terakhir
AdventureCerita ini diambil dari kisah nyata, yakni tentang sebuah peristiwa taubatnya seorang hamba Allah dengan perjalanan hijrah yang penuh perjuangan dan penuh dengan lika-liku misteri