"O Gott, Daisy, schleich dich nicht an!" (Ya Tuhan, Daisy, jangan mengendap-endap di belakang seperti itu!) Theo refleks menjerit nyaring, terkejut melihat Daisy yang tiba-tiba berada di belakangnya ketika dia berbalik. Padahal Theo yakin sekali dia tidak mendengar bunyi langkah kaki mendekatinya ketika dia sibuk mengunci pintu rumah. " Wo warst du denn?!" (Kau darimana?!)
Daisy tidak menjawab, malah mengambil kunci di tangan Theo lalu membuka pintu rumahnya dengan lemah.
"Daize, answer me!"
"Ich bin durch die gelaufen, Theo." (Aku hanya berjalan-jalan di sekitar sini, Theo)
"Ich mache mir Sorgen um dich, Daize!" (Kau membuatku khawatir, Daize!) Theo membalik tubuh gadis di hadapannya dengan paksa. Jangan tanya betapa paniknya dia tadi ketika mendapati rumah kosong. Theo bahkan sampai mencari Daisy ke loteng rumah mereka yang berdebu, tetapi hasilnya tetap saja Daisy tidak tampak batang hidungnya. "Tell me, where have you been?"
"Something unexpected happened last night, okay? I ... I'm exhausted, Theo."
"Dai--"
"I know you have a lot of questions, but," Daisy berujar lirih, "I don't want to talk about it now. Lasst mich bestehen, lasst mich ruhen." (Biarkan aku beristirahat)
"Alright. But you know I'm all ears for you whenever you're ready."
Daisy hanya mengangguk pelan sebagai respon. Tanpa mengatakan apapun lagi, Theo lantas menuntun Daisy ke kamarnya. Jujur saja, Theo ada banyak sekali pertanyaan untuk perempuan itu, tetapi melihat kondisi Daisy yang seperti ini, Theo yang paling mengerti bahwa Daisy butuh waktu. Saat menarik selimut sampai ke bahu perempuan itu, Theo baru sadar jika Daisy bukan mengenakan baju miliknya sendiri, entah punya siapa.
"Daize."
Daisy yang baru saja menutup matanya kontan menatap Theo. "Hmm?"
"Don't hold it for too long," jawab Theo, mengusap kening Daisy dengan lembut. "The nagging feeling that's bothering you, I mean. I'm your best friend and it breaks my heart to see you like this, again. I miss your stupid smile and ugly laugh."
"Ja."
Theo tetap duduk di samping ranjang, menatap Daisy yang juga balas memandangnya.
"Alright, now you rest. I'll make cookies for you." Tampaknya Daisy tetap tidak mau bicara, jadi Theo tersenyum lebar, berdiri lalu berjalan menuju pintu, tetapi baru tiga langkah dia berjalan, suara Daisy menghentikannya.
"Theo, nein."
"Ja?" Pria itu berbalik. "Brauchst du etwas? Or do you miss me already?" (Ya? Kau butuh sesuatu?)
"Promise you won't hate me after this?" Suara Daisy sangat pelan dan rapuh, membuat senyum miring Theo memudar. Dia buru-buru berpindah tempat untuk berbaring di samping perempuan itu dan memeluknya erat.
"Oh, mein Gott, Kind, du bist so dumm! Daisy, listen, even though you're an annoying brat that likes to kick my ass, I will never hate you, Silly!" (Oh, ya Tuhan, kau bodoh sekali!)
Daisy terdiam sejenak, menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya kalut, tetapi dadanya sesak. Entah apa lagi yang harus dia lakukan dan katakan agar batu besar yang menghimpit dadanya akan menghilang. Daisy kira dengan berbicara pada Jongdae tentang apa yang terjadi di antara mereka dan menyadari kesalahannya sendiri, dia dapat bernapas lega. Tetapi, Daisy salah. Raut wajah Jongdae di percakapan terakhir mereka, kata-kata sarat penghakiman dari Krystal di toko es krim, dan dapur bersimbah darah yang mengalir dari nadi ibunya tampak tidak pernah lepas dari benak Daisy. Ya Tuhan, apa lagi yang harus Daisy lakukan agar rasa sakit di dadanya pergi?
"Hellooo! Earth to Daisy!"
"Theo," Daisy menoleh. Wajahnya hanya beberapa inci dari Theo hingga mereka dapat merasakan napas masing-masing. "I ... I think I've ruined my own life."
Kening Theo berkerut. "Was soll das heißen?" (Apa maksudmu?)
"The reason as to why I fled to Berne five years ago--" Daisy menahan napasnya, memperhatikan reaksi Theo yang anehnya tampak tenang, "--was not just because I ran away from my family. I was ... pretty much a stalker of a certain singer back then in Seoul and not minding other business."
Melihat Theo yang mengesturkan dagunya, tanda pria itu mendengarkan, Daisy menggigit bibir bawahnya sebentar sebelum kembali bersuara. "I think I was obsessed with him it hurt. I was so invested to the stalkery thing that I--" air mata Daisy tanpa sadar sudah mengalir deras, "--that I didn't care about my mom untill her death. And now that I met him again I feel so much worse. Theo, bitte hasse mich nicht. You're my best friend and I feel bad for keeping it from--"
Satu detik, otak Daisy masih memproses apa yang terjadi.
Dua detik, mata Daisy terbelalak.
Tiga detik, tangisnya berhenti.
Di detik keempat, keheningan sontak sepenuhnya menyelimuti ruangan, karena nyatanya, kata-kata Daisy selanjutnya dibungkam oleh bibir Theo yang entah sejak kapan berlabuh di bibirnya.
~to be continued~
April 23, 2020
Hai?
Ada yang kangen Jeyi?
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Abience ; Chasing Daisy || Kim Jongdae
Fanfic[SELESAI] ❝Tentang dia yang terus berlari tanpa henti.❞ Abience, a Kim Jongdae Fanfiction © Jeybenedict, 2018