Pagi dingin di Bandung, sebagian yang datang terlihat memakai jaket mereka. Matahari masih enggan terbangun, terbukti awan gelap memdominasi.
Murid rajin mendominasi atau di antaranya hendak mengerjakan PR yang berganti nama menjadi PS (Pekerjaan Sekolah).
"Duduk!" Titahnya tatkala melihat Altan diambang pintu, hendak kabur. Dysis memutar tubuh. "Tumben pagi-pagi nongol, tugas lo belum selesai?"
"Hmm, Kael numpahin es jeruk. Tulisannya jadi enggak keliatan." Altan mengambil buku dari loker, "Lo ngapain di sini?"
Batin Altan menyerapah, dia belum mengumpati Kael. Ada yang mengganjal bila unek-uneknya tidak tersampaikan. Manahan itu kurang bagus untuk kesehatan.
"Gue?" Dysis menunjuk dirinya, menopang dagu. "Gangguin lo, lah! Pakek nanya, lo enggak perlu nanya sesuatu yang lo tau. Jawaban gue bakal nyebelin soalnya."
Dysis berbisik, "Sekalian liat cogan kelas lo." Altan memutar bola mata malas, sibuk menyatat.
Sebab Kael pula, Dysis mendapatkan nomor teleponnya. Sepertinya bocah itu perlu berhenti menjadi admin lambe SMAG. Meresahkan.
"Lo liat gue sebagai apa?" Dysis memiringkan kepala. "Aneh aja gitu, jangan-jangan..."
Altan menatap Dysis tajam, "Gue normal."
"JANGAN-JANGAN LO SUKA GUE, TAPI MALU?"
Altan membungkam bibir Dysis dengan telapak tangannya dan gadis itu menjilatnya. Altan meraih tisu di meja guru.
"Jorok," Dysis mengangkat bahu tidak acuh.
Tingkat rasa kepercayaan diri dan tidak tahu malu Dysis melebihi kadar manusia biasa. Berlebihan itu tidak baik. Sudah terbukti oleh Dysis.
Mencangkup wajah Altan, "Lo liat gue sebagai apa?" Dysis akan mengulang pertanyaan yang sama sampai terjawab, "Bidadari? Malaikat?"
"Predator," Altan menepis Dysis.
Awalnya, Altan tidak risi pada Dysis. Namun, gadis itu semakin berulah. Mengekori terus hingga dia jengah, kecuali toilet.
"Kasih gue alesan lo nolak gue!" Dysis menghentakkan kaki. "Lo bisa nyesel kalau gue nyerah, lho."
"Gue jamin enggak," suara Altan turun beberapa oktaf. "Percuma lo berusaha sekeras ini, Dys. Kemustahilan udah terpampang jelas, lo masih belum percaya?"
Dysis berjingjit, menjambak rambut Altan. Rautnya datar, tidak peduli ringisan Altan.
"Goblok! Lo masih di dunia dan minus kemustahilan, meskipun kecil kemungkinan."
Berdecak, "Rambut gue berantakkan." Altan menyisir menggunakan jemarinya.
Dysis menyenggol lengan Altan, tersenyum culas. "Gue jambak lo biar rambut lo berantakkan, tambah seksi soalnya."
Berdiri di atas kursi, menghempas tangan Altan. "Udah bagus, lo cocok nih jadi model majalah Playboy."
"Omongan lo," Altan menyentil bibir Dysis. "Atur emosi lo, sakit."
Dysis gemas bukan main, Altan terlihat lugu saat kesakitan. Ingin sekali dia memasukkan Altan ke dalam kantung, tetapi mengingat pria itu sangat besar. Dysis mengurungkan niatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Contradict Forever
Teen Fiction"Bukankah leyapku adalah bahagiamu?" Ini tentang Dysis Bianta yang tergila-gila pada Altan Kasifa. Mencoba bersikap egois demi mendapatkan cahaya yang dia tunggu-tunggu ketika malam beraksi. Tentang perjuangan yang entah berakhir bagaimana. Penolaka...