Awan-awan masih bermandikan hitam kala Jimin membuka mata. Jendela di samping tempat tidurnya tertutup rapat, padahal seingat Jimin, ia membiarkan kacanya terbuka agar udara dapat mengembus dalam kamarnya. Pemuda itu mengalihkan pandangan ke seberang kasurnya, mendapati Seokjin terlelap. Jimin baru teringat kalau beberapa jam yang lalu ia meninggalkan ruang latihan dengan perasaan campur aduk. Kata-kata Yoongi kembali memenuhi kepalanya yang sudah pening, membuat hatinya kembali merasakan perih.
Tidak pantas dicintai, bahkan bibirnya sendiri bisa menertawakan Jimin, menyadari betapa benarnya perkataan Yoongi. Langkahnya selama ini hanya ditemani bayangan, bukan manusia-manusia nyata yang dapat memberinya keteduhan. Lagipula, siapa yang mau menyayangi Jimin dengan tulus? Ketika kedua orang tua lebih memperhatikan adiknya, Jihyun, yang ada di Busan dan mendukung cita-citanya menjadi seorang dokter, Jimin sendiri bersikeras pergi untuk mengejar keinginannya menjadi seorang penyanyi, idol. Tidak mudah, Jimin harus mendapat penolakan berkali-kali atas kemauannya. Orang tuanya lebih menginginkan Jimin untuk membantu bisnis kakek di Jepang. Persetujuan yang didapatkannya juga bukanlah keputusan tulus, orang tuanya terpaksa melepaskan dengan syarat Jimin harus benar-benar debut, kalau tidak, orang tuanya akan memaksa Jimin untuk pulang dan dikirim ke rumah kakek di Jepang.
Jimin menghela napasnya, terdengar berat dan penuh beban. Dadanya seolah terganjal oleh batu besar, meskipun ia coba tidak pedulikan, Jimin sadar bahwa dirinya hanyalah manusia biasa. Siapa yang bilang semua ini mudah bagi Jimin? Bahkan ketika ia mulai mendapati kasih sayang Syaira, gadis itu datang padanya kemarin dengan keadaan yang membuatnya kecewa. Jimin merasa dikhianati. Emosinya sudah lebih dulu menyesaki hatinya, kenyataan yang Syaira tuturkan bukanlah suatu hal yang bisa dimaafkan dengan mudah oleh Jimin.
Bagaimana bisa Jimin bertanggungjawab atas kesalahan yang tidak diperbuatnya? Seberapa pun besarnya rasa cinta dan terima kasihnya, Syaira tetaplah salah, dan Jimin dibuat terluka. Tetapi, tak sekali pun Jimin berpikir bahwa Syaira akan melemparkan dirinya begitu mudah setelah pertengkaran hebat mereka di atas Jembatan Mapo malam kemarin. Amarahnya memuncak, untuk pertama kalinya Jimin tidak ingin melihat wajah Syaira dan hanya ingin menjauh dari gadis itu sebelum Jimin benar-benar meledakkan murkanya. Jimin tidak mengira bahwa semuanya akan berakhir seperti ini. Pemuda itu terjebak kebingungan dalam keterdiamannya.
Sekarang Jimin rasanya benar-benar jatuh pada titik paling rendah dalam kehidupannya. Gairah untuk meraih cita-citanya bermanuver menjadi perasaan-perasaan kecewa. Ia tidak boleh berhenti. Kalau pulang ke Busan, bukankah itu berarti Jimin menyerah? Keadaan juga tidak akan membaik, ia sudah terlanjur melangkah sejauh ini. Hubungannya dengan orang tua yang telah lama membeku tidak akan mencair hanya dengan kepulangannya. Tapi, Jimin harus bagaimana? Kepalanya serasa akan pecah memikirkan keadaan Syaira dan debut yang tak kunjung mendapat kepastian, ditambah Yoongi yang jelas-jelas membenci Jimin sekarang. Membela diri pun tidak ada gunanya, Yoongi akan tetap menilainya salah. Jimin dan segala tingkah kurang ajarnya, pemuda itu mengerti mengapa Yoongi tidak bisa percaya padanya.
Ambisi Jimin adalah sesuatu yang dia sendiri anggap bagian mengerikan dari dirinya. Kegagalan dan tuntutan orang tuanya membuat Jimin merasa hidupnya dikejar-kejar. Setiap waktu itu berharga, Jimin tidak bisa menyia-nyiakannya bahkan hanya untuk mendengar maki-makian guru tari atau guru vokal terhadapnya. Sebab itu, Jimin memperkerjakan tubuhnya seolah hari esok tidak akan datang lagi. Jimin akan melakukan apa pun untuk membuat dirinya bersinar dan meraih kesempatan lebih awal untuk mewujudkan mimpinya, untuk membuktikan pada orang tuanya bahwa cita-cita Jimin juga patut diapresiasi.
"Apa yang salah? Bukankah usahaku sudah teramat keras? Apalagi yang membuatku harus menunggu?" Rambut legamnya ia acak, Jimin merasa frustasi.
Jimin memang mengira ia akan debut seorang diri. Ia tidak pernah menyangka Bang PD memasukkannya dalam susunan boy group yang terdiri dari tujuh orang. Tentu Jimin tidak bisa melontarkan ketidaksetujuannya. Maka, ia pasrah menerima trainee-trainee baru yang menjadi orang-orang yang kini berada satu dorm dengannya. Seorang lagi seharusnya datang kemarin, tetapi Bang PD bilang kehadirannya harus tertunda karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan. Jimin berdecih, bagaimana bisa anak itu sakit di hari pertamanya?! Percikan api Jimin dimulai detik itu, ia tidak tahu kalau kobarannya akan berlanjut sampai saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last
FanficKetika waktu menyulitkanmu, benarkah menyerah adalah satu-satunya pilihan terbaik? Copyright 2019 by Aksara- Fanfiction BTS semi AU.