Sudah bulan ketiga dan suasana hatiku masih sama seperti saat dihantam kenyataan bahwa cintaku harus pupus. Kata orang-orang wajahku terlihat lesu seperti tak ada semangat untuk berangkat sekolah. Terkadang patah hati mampu membuat orang benar-benar berubah—menjadi lebih baik atau sebaliknya. Pagi ini suasana kelas seperti biasanya, hanya saja aku belum melihat Bela ada di kelas. Tak lama dia muncul di hadapanku sembari tersenyum ceria.
Aku heran, "Kenapa kamu, Bel? Kayaknya lagi seneng banget."
"Tuh kan, galau mulu jadi lupa ini hari apa." sahut Bela kesal.
Aku mencoba mengingat-ingat sesuatu, "Ya ini hari kamis kan?"
Bela terdiam sambil menatapku. Aku berusaha mengingat sesuatu lagi, "Selamat ulang tahun, Bela!" Aku sungguh tidak ingat hari penting itu.
"Huh, dasar pikun! Nanti pulang sekolah ikut aku ya. Kita makan-makan di rumahku." ucap Bela.
Aku mengangguk, "Cuma aku yang dateng?"
"Enggak dong, ada temen rumah, temen SD, temen SMP yang emang akrab sama aku."
"Oke siap. Oh ya, semalem aku nggak balesin chat kamu ya. Udah tidur."
"Iya deh, mending tidur daripada nangisin Mas Rama."
Aku menghelakan nafas, "Iya deh."
-----------------------------------------------0----------------------------------------------
Rasanya aku semangat sekali akan merayakan ulang tahun Bela, namun aku merasa tidak enak hati karena belum mempersiapkan apa-apa untuk hari penting ini. Bela memaklumi diriku yang sedang dilanda kegalauan ini. Memang sepertinya tidak ada kejutan apapun, teman-teman Bela sudah ada di dalam rumah menunggu tuan puteri hari ini. Kami memang sedikit terlambat karena mampir dulu untuk membeli beberapa cemilan. Ibu Bela sudah menyiapkan beberapa gelas berisikan air berwarna merah beraroma manis. Mereka menyambut Bela dengan sangat riang seakan benar-benar sudah tidak pernah berjumpa selama bertahun-tahun. Aku hanya senyum-senyum saja sembari menyalami dan menyebutkan nama walaupun sudah Bela sebutkan. Aku merasa sedikit canggung karena hanya Bela yang aku kenal. Ruang tamu minimalis ini cukup untuk menampung kami semua yang rasanya tidak sedikit, mungkin sekitar limabelas orang. Aku rasa ibu Bela sedang berada di dapur dan sibuk memasak makanan untuk kami lahap. Bela mulai membuka acara tidak resmi ini dengan raut wajah yang sangat gembira. Ia mengucapkan rasa syukur dan terimakasih lalu menyebutkan nama kami satu per satu. Disela-sela waktu Bela sedang sibuk mengoceh bernostalgia tentang teman-temannya, tanpa sengaja mataku bertemu dengan tatapan seseorang yang duduk di bagian ujung sebelah kiri. Aku langsung memalingkan wajah dan mematung, tak ingin salah sangka dan tak mau terlihat sedang salah tingkah. Aku berpura-pura meregangkan tubuhku dan menghadap ke sebelah kanan, ternyata ada laki-laki yang duduknya tidak jauh denganku. Mata kami bertemu dan dia tersenyum padaku. Mampus ternyata dari tadi aku diliatin cowok ini, udah kepergok malah dia senyum lagi. Ku balas senyum manisnya itu dan ku lihat teman di sampingnya menyiku lengannya.
"Eh itu ngapain kalian senggol-senggolan?" tanya Bela tiba-tiba.
Mereka hanya tertawa. Mataku langsung tertuju ke arah perempuan yang tadi menatapku aku kira dia cemburu ternyata tidak, dia justru ikut tertawa.
Bela telah merampungkan pidatonya. Kami dipersilahkan untuk berbincang maupun makan-makan hidangan yang ada.
Aku merasa gugup dengan suasana seperti ini. Akhirnya kulangkahkan kaki untuk menghirup udara di teras rumah Bela.
Huft...
Aku menghelakan napas, rasanya sedikit lega. Aku duduk di teras sembari meminum sedikit demi sedikit es sirup ini. Perutku terasa lapar, tapi aku enggan untuk masuk ke dalam sekarang. Aku mendengar suara langkah kaki seseorang menuju ke arahku. Aku rasa itu Bela.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua
Teen FictionAnnisa Amalia, seorang remaja yang masih duduk di bangku SMA. Jantungnya kembali berdegup cepat setiap mendengar nama laki-laki itu. Dia adalah sosok yang membuat perjalanan rasa kagum menuju rasa cinta bagaikan jalan yang penuh liku. Ini akan men...