❝Kenapa harus kamu, perempuan yang pernah berbagi rahim denganku❞
-Renjun.
Ini tentang si pelukis berdarah. Yang punya sejuta misteri mengerikan dan masa lalu kelam. Usia ke-21 tahun, di mana seharusnya ia mati, justru dia bertemu dengan perempuan y...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🌟🌟🌟
"Ekstasi?" Rania kemudian menyimpannya di saku celana. Dia menuruni anak tangga dan melihat Renjun masih menendangi sofa. Tubuhnya terlihat amat kesakitan.
"Raniaaaa!!! Manaaaaa?!!! Cepat bawa obatnya!"
Renjun merasa frustasi dengan sakitnya, ia merasa obat dari dokter tak pernah berpengaruh apa-apa. Dan hanya obat-obatan terlarang itu yang bisa membuatnya merasa lebih tenang.
"Aku nggak akan kasih! Kamu sakit karena diri kamu sendiri!"
Renjun mendekati Rania susah payah. Dia mencengkram kuat kedua bahunya. Tatapan Renjun penuh marah, ia tidak tahan lagi dengan rasa ditubuhnya yang amat sakit. Dia harus segera memakan obat itu lagi.
"Kamu udah kecanduan!"
"Nggak usah banyak bacot! Mana obatnya?!" Renjun menarik rambut Rania lagi.
"Ss—sakit. Aku nggak akan pernah biarin kamu makan obat itu lagi!" Rania mencoba melawan Renjun.
Tubuh Renjun jatuh ke lantai tak berdaya. Ia benar-benar merasa sudah tidak tahan lagi. Sakitnya menjalar ke seluruh tubuh. Ini adalah efek paling parah bagi para pecandu berat. Sakau. Melihat ini Rania bisa menyimpulkan Renjun sudah sering menggunakan obat itu.
"Kamu mau ini?" Rania berjalan ke kamar mandi. Renjun mengikutinya susah payah, bagaimanapun caranya ia harus dapatkan obat itu.
"RANIA!!!" bentak lelaki itu saat Rania membuang semua obat itu ke dalam kloset.
"Sialan! Bangsat!"
Plak!
Bukan, itu bukan suara dari tangan Renjun melainkan dari Rania. Perempuan itu menampar Renjun sangat keras, ia berharap Renjun sadar dan berhenti mengonsumsi obat itu. Berhenti bertingkah gila karena obat itu.
"Kamu tau nggak itu bahaya?! Gimana kamu nggak mau sakit? Kamu yang nyakitin diri kamu sendiri!" ia menekankan tiap katanya. "Obat yang sebelumnya obat resep Dokter kan? Kenapa kamu malah memilih konsumsi ekstaksi?"
Rania lalu mendorong Renjun ke sisi dinding. Ia menyalakan keran shower. Kemudian dia mendekap erat tubuh lelaki itu. Dia terus berontak, namun sekuat tenaga Rania memeluk tubuh Renjun. Ia berharap tamparan dan air ini setidaknya bisa menyadarkan sedikit keadaan Renjun yang sudah tidak terkendali ini.
"Kamu harus sadar... Sadar Renjun! Sadar!"
🌟🌟🌟
Renjun kecil berlari di taman. Ia berpikir sepertinya tidak buruk juga diadopsi. Kini ia tinggal di rumah yang sangat besar, lengkap dengan kolam renang dan taman. Bahkan ada ayunan juga disana.
"Mau samperin tante ah." Anak itu berlari pelan mendekati orang tua angkatnya yang tengah mengobrol dengan seseorang. Seperti tengah membicarakan sesuatu.