2. The First Time We Meet

946 137 19
                                    

Dua puluh tiga Februari. Hari ini adalah hari keberangkatanku ke Jakarta. Sebenarnya, pesawatku berangkat siang, tapi aku akan pergi dari rumah ini sedari pagi.

Taksi online yang kupesan sudah sampai di depan rumah. Aku keluar dengan menggendong tas carrier yang besar dan berat banget.

Rumah sepi pagi ini, mama entah kemana. Pas aku sampai di halaman, mobil mama sudah nggak ada di garasi. Biar saja, siapa peduli. Aku bukan anak kecil lagi yang harus pamit dulu kalau mau pergi, 'kan?

Bapak sopir membukakan pintu bagasi belakang, lalu membantuku memasukan carrier-ku kedalam bagasi.

Tiba-tiba aku mendengar suara motor berhenti di belakangku.

"Fee, mau kemana?" tanya orang yang datang dengan motor itu.

Aku kenal suara itu, suara yang kuharap nggak pernah kudengar dalam hidupku.

"Fee!" Dia menangkap lenganku yang baru selesai menutup pintu bagasi. Astaga! Sepertinya aku harus mencuci pergenganku tujuh kali dan pakai sabun antiseptik kalau perlu. Jijik banget.

Aku menarik paksa pergenganku, berusaha melepas dari cengkramannya, tapi nggak berhasil. Dia menggenggamnya kencang banget. Semakin aku coba ngelepasin, semakin kuat dia mencengkram.

Sepertinya dia tau kalau aku berusaha lepasin pergelanganku dari genggamannya, lalu dia ngomong lagi, "Kasih tahu dulu kamu mau kemana? baru aku lepasin!"

Ngasih tahu dia? Yang benar saja! Sekalipun dia nodongin pisau ke leherku, aku nggak akan bicara apapun sama dia. Nggak akan!

Aku masih berusaha melepaskan pergelanganku darinya. "Mama kamu tahu kalau kamu mau pergi?" Dia mencoba untuk menatapku, tapi aku selalu membuang muka. Aku nggak mau melihatnya. Aku nggak mau juga wajahku dilihat oleh dia. Tuhan tolong segera lepaskan aku dari manusia sialan ini.

Ah ... iya Mama, Mama belum tahu tentang rencana pelarianku ini. Tidak mungkin juga kuberi tahu, bisa-bisa gagal semua rencanaku. Mana mungkin Mama mengizinkah anak perempuan satu-satunya pergi jauh dalam waktu yang lama, apa lagi kalau Mama tahu aku perginya sama cowok, pasti Mama bakalan menyekapku dalam kamar. Mama memang begitu, dia over protective banget sama anaknya, seolah tidak mau ada hal buruk yang menimpaku dan membuatku sedih. Tapi sayangnya malah Mama-lah yang membuatku sedih dan terluka seperti ini.

Bapak sopir taksi online yang sebelumnya sudah masuk ke mobil kini keluar. Beliau melihatku yang berusaha melepaskan diri dari genggaman si Brengsek sialan ini.

"Mas, tolong lepasin tangan Mbaknya."

"Anda siapa? Saya anda urusan sama cewek ini!" si Brengsek ini membentak Pak sopir taksi dengan kasar. Wajahnya garang banget, rahangnya mengeras, giginya bergemeletuk seperti menahan sesuatu, ada jejak urat yang timbul juga di bagian dahinya. Aku tambah ngeri melihatnya.

"Saya bukan siapa-siapa, tapi saya punya tanggung jawab buat anterin Mbak ini ketempat tujuannya dengan selamat. Mas kencang banget menggenggam pergelangan Mbaknya, sampai merah banget gitu," kata Bapak sopir taksi sambil menunjuk lenganku yang dicengkram si Brengsek ini. Benar merah banget.

"Kalau tangan Mbaknya sampai kenapa-napa, saya yang bakalan dapat penilaian buruk dan bakalan kena sanksi dari perusahaan saya. Jadi tolong lepasin Mbaknya," lanjut Bapak sopir itu lagi.

Aku pengin kasih seratus bintang buat bapak ini, tapi sayang bintang penilaian paling tinggi cuma lima.

Bagas--nama si Brengsek ini--akhirnya melepaskanku dengan terpaksa. Dia mendesis tajam padaku, "Aku bakalan bilang sama Mama kamu!"

Bilang saja sana, who care? Dasar cowok pengadu!

Setelah pergelanganku terlepas dari cengkraman Bagas, aku langsung cepat-cepat masuk kedalam mobil sebelum dia menarikku kembali.

A Month to RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang