Senyum dan tawanya kini hanya sebuah kerinduan yang tak mungkin lagi terjawab.
Jamahan kelembutan cintanya tak lagi kurasakan dari guratan tangan itu.
Aku termenung di sudut kamarku menatap wajah tuanya tertata di atas meja kerjaku dalam frame kotak yang didesain dengan cantik.
Ibu, inilah saat dimana aku merasakan bahwa ibu sungguh-sungguh mencintaiku.
Aku rindu padamu ibu.
Aku meraih sehelai kertas dan ingin rasanya kutuliskan semua kebaikan ibu yang kualami dalam hidupku. Namun aku akhirnya sadar bahwa, ini bukanlah sebuah balasan yang tepat dariku untuk ibu dengan memamerkan semua kebaikannya yang tulus itu dalam sehelai kertas yang tak bernilai ini.
Tuhan, jagalah ibuku. Arloji putih pemberian ibu kini melingkar pada pergelangan tangan kananku. Aku ingat saat itu, ibu menghadiahkan arloji sebagai buah ulang tahunku yang ke 21 dan kini dua tahun sudah usia arloji itu. Kumaknai pemberian ibu, bahwa cintanya selalu mengalir untukku dan takkan pernah berhenti ibarat jalannya jarum-jarum waktu dalam arloji ini. Dan tiap kali aku memakainya, aku membawa serta perhatianya untukku.
Terimakasih ibu...
“Janganlah cepat kau terbenam mentari senjaku, tetap pancarlah pesona tulus keindahan cintamu. Ibu yang selalu kubanggakan dan tumpuan buat kakiku tuk terus berlangkah menapaki jalan hidup ini.....
Kuberlangkah ke luar meninggalkan kamarku ingin menanggalkan kepenatan hati yang sesak, berkecamuk tak karuan.
Gambaran bekas-bekas tangan ibu, kini seakan kembali menjamah sekujur tubuhku. Kehangatan kasih yang kurasakan dalam dekapan ibu kini terekam jelas dan mengurung naluriku hingga tak mampu melaksanakan tugas-tugasku dengan baik. Ibu, meski kini tak banyak waktuku untuk ibu, namun aku tetap selalu merindukan ibu. Dulu ibu sibuk merawat dan memberikan seluruh waktu ibu untukku, tapi kini aku lebih sibuk mengurus diriku sendiri.
Maafkan aku ibu...
Sebuah surat yang pernah kubuat untuk ibu dua tahun yang lalu kini kubuka lagi. Surat itu terpaksa kubatalkan memberikannya kepada ibu karena saat itu dia dalam kondisi sakit, dan aku tak kuasa melihat penderitaannya. Lagi air mataku menetes masuk merasuk dahaga jiwa yang telah sekian lama tak berjumpa ibu.
Ayah telah meninggalkan ibu dan aku sejak berusia dua bulan dalam dekapan ladang kehidupan ibu. Ladang subur yang menghidupkan aku dan kedua kakakku. Sejak kepergian ayah, ibulah satu-satunya yang aku harapkan. Ibu yang sekaligus menjadi ayah buat aku.
Aku bangga padamu ibu..
Ibu pernah bilang, Ibu takkan pernah menutup mata sampai kapan pun sebelum ibu melihat kesuksesan kami anak-anakmu. Dan janji ibu untuk membiayai pendidikan kami kini telah semuanya berhasil. Anak-anak ibu telah mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri.
Tapi itu tidak cukup ibu. Aku masih selalu membutuhkan ibu. Meski tangan ibu mungkin tak lagi mengatur seragam sekolahku. Tangan ibu tetap selalu terkatup mendoakan aku dalam ziarah hidupku.
Surat itu kurapikan dan kembali kumasukan ke saku dompetku.
Tempat tinggalku tidak begitu jauh dari rumahku dimana ibu ada di sana bersama kedua sudariku menemani masa senja ibuku. Bukannya aku tak bisa pulang tapi untuk saat ini, sejak usai wisuda aku bekerja di tempat ini. Beban pekerjaan seakan merengguk semua waktuku. Kesempatanku untuk menelpon ibu pun hampir jarang aku mendapatnya. Pemimpin kami membutuhkan laporan hasil pekerjaan hampir setiap saat. Dan oleh karena beban utang yang harus di tanggung perusahaan kami. Maka aku juga dituntut untuk bekerja secara maksimal. Waktu pribadi lebih banyak dipakai untuk kepentingan perusahaan. Kadang aku tak mengerti dengan semua rekan-rekan kerjaku, meskipun dililiti tagihan utang tetap saja mereka selalu tidak jujur dan ikhlas dalam pekerjaan, selalu saja ada yang menuntut agar hak mereka terpenuhi dengan embel-embel lainnya. Mereka jarang memperhitungkan kepentingan perusahaan, tetapi sibuk untuk mencari keuntungan diri. Aku tak tahu, apakah mereka seperti tumbuhan inang yang hanya menempel dan menyerap makanan dari perusahaan ini? Mereka tidak pernah melihat perusahaan ini sebagai jiwa mereka sendiri atau layaknya rumah mereka sendiri. Betapa peliknya hati manusia dewasa ini, betapa mahalnya hati yang harus memikirkan orang lain.
Untung saja aku mencintai dan menikmmati pekerjaan ini sebagai bagian pelayananku maka aku selalu menjalankan semuanya dengan senang hati. Dan inilah yang kupelajari dari ibuku. Pasang surutnya kehidupan keluarga kami, ibu selalu memberikan senyumannya yang menenangkan. Seakan semua masalah itu adalah pekerjaan indah untuk ibu selesaikan.
Ibu bertahanlah di ufuk senjamu. Aku tak mau hari itu berlalu. Aku belum siap menerima fajar baru tanpa hadirmu ibu.
Masih terekam jelas dalam naluriku peristiwa dua tahun silam, saat ibu datang mengunjungiku tepat sehari sebelum hari bahagiaku. Raga rapuh itu menebarkan senyuman yang bagiku bagaikan mawar mekar yang terpampang trik mentari, layu dan kusam.
Selamat ulang tahun putraku..
Ibu merangkaul aku sembari mengecup keningku dan mencium kedua pipiku. Aku balas memeluk raga rapuh itu. Kehangatan tubuhnya kian padam. Suaranya semakin berat dan terbatah-batah.
Janganlah cepat kau terbenam mentari senjaku...aku masih membutuhkan pelukan hangatmu untuk istriku dan cucu-cucumu nanti. Aku bergumam dalam hati, dalam irama detakan jantung ibu yang kini cenderung berkejaran. Ibu mngeluarkan sebuah bingkisan kado berwarna biru dengan motif garis-garis spiral dari dalam tasnya dan mengulurkannya kepadaku.
Terimakasih ibu... kataku kemudian setelah kuterima bingkisan dari ibu.
Aku menatap wajah ibu dari samping arah dudukku. Kulitnya yang dulu cerah kini sudah menjadi kusam. Terlukis jelas pula garis-garis halus pada lekukan kulit wajahnya yang menggambarkan ketegaran dan kerja kerasnya melewati berbagai situasi dalam hidup ini.
Ibuku seorang yang tegas dan pemberani. Dia adalah salah satu tokoh penting pembela keadilan dan kebenaran di wilayah kami. Ibu tak pernah takut untuk katakan tidak pada sesuatu yang tidak benar, tetapi ibu selalu rendah hati menerima pengakuan atau permohonan maaf dari rekan-rekan kerjanya, dan bahkan terkadang ibuku selalu terlebih dahulu meminta maaf atas tindakannya yang memang lahir dari hakikat jiwanya yang bersih untuk menjunjung tinggi nilai kebenaran.
Ibu seharusnya tidak perlu repot-repot dengan menyediakan hadiah khusus untukku, dengan kehadiran ibu bersamaku saat itu sudah cukup untuk membuatku bahagia.
Aku merebahkan tubuhku pada sandaran sofa, menahan air mata haru dari sudut mataku.
Aku mencoba meninggalkan semua ingatan itu dengan kembali mengobrak abrik lembaran buku-buku majalah milik rumah sakit yang diletakan pada ruang tunggu. Sudah hampir seminggu aku menemani ibu dalam ruangan itu, dan sudah seminggu pula ibuku tidak sadarkan diri. Senyuman manis tidak ada lagi terlukis dari bibir itu. Dan cahaya kedamaian telah padam dari mata cantiknya. Semuanya tidak akan pernah kembali lagi . . tidak pernah.
Ibu, ini hampir malam... aku takut lewati ini semua sendiri.
Aku mencintai ibu... Aku masih membutuhkan ibu.
Ibu... adakah rembulan pada malam itu, saat senjaku pergi nanti.
Sungguh berat semua yang kurasakan dan kulalui selepas kepergian ibu. Aku seakan terlahir kembali sebagai seorang bayi yang sungguh merasa asing dengan duniaku sendiri.
Ibu, terimakasih untuk potret senjamu yang mengagumkan. Aku akan melaksanakan semua nasihat ibu sebagai sebuah wasiat untukku.
Dua tahun sudah kini aku menjalani hidup tanpa ibu. Dan hari ini aku mengunjungi makam ibu, kunyalakan lilin-lilin kebahagiaan di atas makamnya sebagai ungkapan rasa syukur dan terimaksihku atas semua kebaikan dan keberhasilan yang kuterima kini. Istri dan putri sematawayangku ikut khusut berdoa di sampingku.
Sekian
Ende , 20 Juni 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Senja Ibuku
Short Story"Janganlah cepat kau terbenam mentari senjaku, tetap pancarlah pesona tulus keindahan cintamu. Ibu yang selalu kubanggakan dan tumpuan buat kakiku tuk terus berlangkah menapaki jalan hidup ini....."