18. Tekad

72 5 2
                                    

18.

Hari memang begitu cepat berganti. Kadang, tiba-tiba saja sudah melangkah sejauh ini—dimana secara tidak tahu ingin mendekati ujian sekolah. Terbilang sangat cepat, bahkan tidak bisa dihitung dengan hentikan jari saja. Seluruh murid SMA Atlantis banyak diserbu tugas. Harian maupun kelompok, mereka susah payah menyelesaikan semuanya.

Kali ini, seusai praktek yang begitu banyak, murid SMA Atlantis menjalankannya begitu sangat santai. Sangking santainya, ada beberapa siswa yang menjadi pusat perhatian guru-guru 'ketika mereka belum juga mengumpulkan tugas yang diberikan oleh sekolah.

Contohnya yang tak lain dan tak salah orang, Marsel. Satu siswa yang suka semena-mena dengan tugas yang diberikan oleh setiap guru. Banyak pihak sekolah yang memberikan surat peringatan melalui surat ber-amplop putih, seperti di tangannya saat ini.

"Yaelah, ini guru. Mau ujian sekolah aja, masih kirim orangtua gue sp. Gila!" gerutunya sambil berjalan memasuki lorong koridor. Di depan setelah perapatan jalan, Marsel melihat Caca yang sedang mengobrol dengan seorang laki-laki. Marsel tidak pernah mengenalinya, apalagi tahu satu ciri yang berada di hadapan Caca itu.

"Siapa ya, kok gue rada nggak kenal banget sama tu cowok," bergumam kecil, seraya melipat kedua tangannya. "Apa jangan-jangan, gebetan barunya Caca?"

Marsel memang suka menebak dengan spesifikasi seseorang. Bahkan, Marsel juga pandai sekali berbicara ngawur—tanpa mendengarkan penjelasan detail terlebih dahulu. Suka mengambil kesimpulan sendiri juga.

"Gue samperin aja kali ya?—Ah tapi nggak enak deh gue, nanti gue ganggu lagi," katanya yang langsung melenggang pergi. Marsel menuju ruang kelasnya dan menghampiri Reno yang tengah asik bermain gadget.

Tepat di samping Reno, Marsel melihat gadis yang membuat jantungnya suka berdegup kencang. Tahu-tahu seperti ingin lepas dari tempat asalnya. Marsel memegang dada kirinya—dimana jantungnya benar-benar berdegup kencang. Seperti lari marathon.

"Len, pulang sekolah ada acara nggak? Ikut gue yuk."

Leni yang merasa dirinya diajak bicara, lantas mendongak dan menatap wajah Marsel. "Eh, kemana?" tanyanya yang merautkan wajah bingungnya.

"Jalan-jalan aja, atau nongkrong di kedai kopi biasa. Mau?" tawar Marsel dengan menyebutkan tempat favorit seseorang.

Leni nampak bingung dengan perkataan Marsel barusan. Pasalnya baru kali ini Marsel terang-terangan mengajaknya jalan, yang dilihat langsung oleh teman-temannya dan juga temannya Marsel. "Berdua aja? Nggak ajak yang lain?"

Marsel melihat teman-temannya yang sebagian memainkan gadget dan sebagiannya bertekuk pada tugas. "Mau diajak juga? Kalau nggak keberatan, yaudah, mereka gue ajak. Sekalian deh itu, Puma, Nindi sama Caca ajak juga. Biar nambah seru."

Leni nampak menelan saliva. Gugup dengan kata terakhir yang disebutkan oleh Marsel tadi. Bukannya Leni egois dengan Caca yang harus ia ajak juga, tetapi ia bingung nantinya. Dengan bagaimana cara Leni menyikapi Caca, ketika Marsel memintanya untuk ikut bersamanya juga.

Sungguh, dalam hati, Leni merutuki ini semua. Tahu gitu, lebih baik ia tidak mengatakan apa-apa yang murni tidak akan ada balasannya juga. Tapi sekarang? Mau bagaimanapun juga, jawabannya tadi sudah membalas 'bahwa Leni menyetujui untuk ikut jalan bersama Marsel.

"Gue tunggu ya, nanti pulang sekolah," katanya yang mendadak mengusap puncak kepala Leni. Serius, Leni benar-benar malu bukan main. Takut Caca lihat perlakuan Marsel barusan, matanya langsung gencar melihat sekitar. Marsel membuat jantungnya seakan copot begitu saja. Menyebalkan.

🎬


"Kalau gitu, nanti pulang sekolah ya Ca. Gue tau, kalau begini caranya 'lo pasti mau bantuin gue. Kan?" laki-laki yang sedikit lagi ingin menyudahi obrolannya, terus meminta jawaban kepada Caca dengan persoalan "setelah pulang sekolah" juga.

THEORY OF LOVE [END] #Wattys2021Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang