delapan

51 0 0
                                    

Solo, 2018

Sejak saat kejadian di UKS Fatih terlihat menjaga jarak denganku. Bahkan sudah satu pekan ini ia datang ketika bel pelajaran sudah berbunyi. Jangankan menggangguku, melihatku saja ia enggan.

Pagi ini turun hujan, tak seperti biasanya hujan ini tak kunjung reda. Aku khawatir jika nanti pulang ke rumah, hujan ini akan bertambah lebat. Aku melihat ke langit, gumpalan awan hitam terlihat berkumpul menjadi satu. Laksana mentari saja tertutup sinarnya, juga dengan keadaan hatiku. Entahlah, aku merasa tidak nyaman ketika Fatih bersikap seperti itu.

Aku melihat Fatih dari lorong perpustakaan, membawa sebuah buku bersampul coklat dan berjalan ke arahku. Entah kenapa aku menjadi gelisah, 'ku rangkai kata-kata untuk menanyakan hal ini kepadanya. Namun ketika ia sudah dekat, jangankan berbicara ia sama sekali tak melihatku yang baru saja ia lalui. Seperti tersiram air es, tubuhku membeku. Merasakan hawa dingin yang ada pada dirinya.

Baiklah! Aku tak bisa lagi menunggu. Kuarahkan pandanganku pada Fatih yang masih berjalan di lorong menuju gedung barat—ku yakini ia akan menuju ruang musik—dimana akhir-akhir ini ia sangat sering mengunjungi ruangan itu.

Tak ku hiraukan gemuruh angin yang bergumpal saling bertabrakan di langit dan menciptakan semburat petir yang saling menyambar. Fokusku hanya satu tujuan, Aku harus mendapatkan jawaban dari Fatih. Entah tentang Juna atau dirinya.

"Fatih!" Seruku terdengar menggema di ruangan musik. Aku termangu di ambang pintu, ternyata bukan hanya Fatih tetapi juga Anggin—kakak kelas yang Fatih tolong waktu itu.

Bagai tersambar petir, perkataan yang keluar dari mulut Fatih justru membuatku sakit, "untuk apa kau disini?"

"Tentu saja menemuimu, apalagi?"
Anggin yang sebelumnya hanya terdiam kini tersenyum sinis,"kau tak tau malu memang ya... Fatih tak ingin bertemu denganmu!"

"Fatih aku ingin bicara," lirihku sambil melihat Fatih yang mengalihkan perhatiannya.

"Oke baiklah Fatih..." Gumamku yang masih berdiri di ambang pintu ruang musik. Ku langkahkan kakiku menuju Fatih yang terdiam menatapku, dadaku bergemuruh, amarahku meluap melihat Fatih hanya berdua dengan wanita itu. Entahlah, aku sangat tidak suka jika Fatih sering bersama wanita itu.

Langkah kakiku terhenti ketika aku sudah berdiri dihadapan Fatih, ku raih tangannya dengan kasar mengajaknya pergi dari ruangan pengap ini. Fatih tak membantah, ia terlihat terkejut dengan gerakan ku. Dan aku tak peduli.

Hujan telah reda, meninggalkan setitik air yang menetes kecil-kecil. Mentari pun sudah bersinar seperti hari sebelumnya, kakiku juga Fatih berjalan menuju taman sekolah yang tak jauh dari gedung barat. Ku hempaskan tangan Fatih yang sejak awal berada di genggamanku.

"Ngomong..." Ujarku.

Fatih masih terdiam,"Ayo ngomong Fatih! Kenapa kamu diam aja sih?"

Fatih masih terdiam menatapku, "Apa yang mau kamu dengar Alana?"

"Kamu pikir ini menyenangkan? Ditinggalkan seseorang dengan ribuan pertanyaan, bahkan aku aja nggak tau kenapa dia pergi. Kamu pikir nyaman hidup kayak gini Fatih? Kamu pikir aku masih mau nunggu dia yang bahkan ga ada kepastian akan kembali atau tidak.

"Dan kamu pikir aku baik-baik saja Fatih? Berada dalam suasana perasaan yang entah kini sudah milikmu atau masih miliknya?" Ucapku sambil menahan air mata yang memaksa keluar.

"Dan itu sama sekali nggak nyaman Fatih..."

Aku menarik nafas dan mengusap wajahku kasar melihat Fatih yang masih diam, "Baiklah jika ini yang kamu inginkan... Baik...."

Aku melangkahkan kakiku kebelakang, sambil melihat air wajahnya yang menyiratkan banyak pertanyaan. "Aku nggak bakal nuntut jawaban lagi dari kamu Fatih."

Aku berbalik dan berjalan meninggalkan Fatih. Aku sudah mantapkan diriku untuk terbiasa tanpa hadirnya—seperti Juna yang tak lagi hadir—hingga untaian kata yang diucapkan Fatih membuatku berhenti.

"Sun flower melambangkan keceriaan, aku hanya ingin kau seperti itu..."

Air mataku luruh mendengar kata demi kata yang terucap dari mulut Fatih, "sedang aku hanyalah awan hitam, menyimpan suasana kelam dan gelap di sepanjang sisinya. Aku menutupimu, menutup mimpimu yang ingin berjuang...."

Aku berbalik melihat Fatih yang ternyata membaca buku yang ia genggam erat dengan mulut bergetar, "dirimu adalah satu dari jutaan bintang yang selalu ingin ku raih. Dan aku sangat beruntung bisa bersanding denganmu, meski hanya sebentar..."

"Fatih berhenti!" Ucapku yang tak bisa lagi menahan tangis. Tentu saja aku tau siapa penulis rangkaian bait tersebut. Entah kenapa lantunan bait tersebut membuat hatiku semakin tersayat.

"Sinar itu hanya untukmu, meski sinar itu datang dariku yang bahkan sama sekali tak berhak untuk sekedar menyapa,"hai apa kabar?" Dalam untaian setiap prosa yang ku kirim, Alana."

Aku merebut buku bersampul coklat yang Fatih genggam, ku ambil paksa dan ku masukkan juga dengan paksa kedalam tas ransel yang bertengger di punggungnya. Aku kesal mendengarkan kata-kata itu, bukan karena Fatih yang membacanya tidak bagus. Tetapi pertanyaan itu kembali muncul, tentang Juna yang pergi tanpa meninggalkan jawaban seperti teka-teki yang ia berikan sebelum kepergiannya.

Juna, inikah hukuman darimu karena aku pulang tanpa meninggalkan senyum kala itu?

***

Aku masih diam membiarkan tetes-tetes gerimis membentuk irama. Fatih pun sama, duduk terdiam di sampingku melemparkan pandangan jauh menerawang. Aku mendengus kesal, masih menunggu Fatih berbicara.

Sekilas aku merasa Fatih melihatku kemudian terkekeh ringan, "kamu bisa nekat juga ya Lana?"

Aku memutar bola mataku jengah mendengar lelucon yang ia lontarkan, "aku kira kamu tak akan berani untuk sekedar menatap mataku...."

"Tapi ternyata kamu bisa menyeret ku hingga ke taman bahkan ketika masih gerimis. Harusnya kan aku yang kayak gitu ke kamu..." lanjutnya sambil terkekeh pelan.

"Kok ketawa sih, aku capek-capek nangis kamu malah ketawa!" Tuturku kesal.

"Alana..." Lirih Fatih sambil tersenyum melihatku. "Belum saatnya kamu tau tentang dia saat ini, karena kamu belum mampu untuk memahami semua...."

Aku menatapnya dengan tatapan bingung, "pokoknya belum... Aku janji deh, nanti kalau udah waktunya aku kasih tau secepatnya."

"Tapi Fatih..."
"Ya?"
"Kenapa kamu menjauhi ku?"
Fatih tersenyum simpul dan menatap rinai hujan yang sudah mulai reda, "aku bingung dengan perasaanku, Lana..." Fatih menarik nafas panjang dan menatapku lagi.

"Aku bingung, apakah aku pantas untuk menaruh harapan terhadapmu? Sedangkan aku, bukanlah orang yang tepat," lirihnya dengan senyum yang sangat teduh.

Sebenarnya aku pun tak tau Fatih, apakah aku juga orang yang pantas menerima sebuah perasaan darimu sedang aku masih menunggu seseorang. Tapi disisi lain aku tak ingin kau berada jauh seperti sebelumnya, aku tak ingin aura dingin milikmu memancar untukku. Aku hanya ingin kau seperti ini Fatih.

Katakan aku pengecut, karena menentukan sebuah Rasa Saja aku tak mampu. Setiap kali aku membaca puisi yang sering Juna berikan dulu, dadaku semakin sesak mengingat betapa banyaknya pertanyaan yang masih belum ada jawabannya.

Semesta, kau menurunkan hujan dari awan yang gelap. Kumohon, jangan biarkan awan gelap itu hilang. Jadikan saja awan itu kembali putih, meski bukan untukku.

Aku hanya ingin melihatnya, meski hanya sekali dalam sumur hidupku.


TBC. :)
Thank you so much °-°

Aku [ H I A T U S ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang