sembilan

40 0 0
                                    

Solo, 2015

Empat puluh lima menit berlalu aku dan Juna masih berdiri di gerbong kereta yang berjalan menembus pedesaan. Sebenarnya kami mendapatkan kursi penumpang, namun ketika melihat ada sepasang lansia yang berdiri, kami memberikan kursi kami kepada sepasang lansia tersebut.

Lihatlah cinta, meskipun usia sudah renta namun cinta seakan terus berkembang diantara mereka. Terlihat dari betapa bahagianya ketika kakek tersebut berbicara tentang gaun yang dipakai istrinya hari ini.

"Hei nak, lihatlah istriku ini. Dia menggunakan gaun yang indah bukan? Terlihat seperti umur 60 tahun," ujarnya yang membuat Nenek tersipu malu.

"Ah kamu ini bikin malu saja, lagian umurku sudah menginjak 63 tahun, kau hanya membuatku lebih muda 3 tahun saja..." Balas nenek yang dibalas kekehan oleh sang Kakek.

Juna yang masih tertawa dengan kelucuan sepasang lansia dan melirikku sekilas berbisik pelan, "mereka lucu ya?"

Aku mengangguk, setuju dengan Juna yang sedang berbincang ringan dengan pasangan lansia tersebut.

"Dan Kau anak muda, kau dengan pacarmu sangat serasi. Aku yakin, kalian sangat bahagia satu sama lain," ujar sang nenek yang membuat Juna tersenyum lebar melihatku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum ringan melihat keramahan sepasang lansia ini.

Tidak buruk juga berinteraksi dengan orang sekitar, aku lebih bisa belajar banyak hal yang membuatku mengerti jika sebuah cinta bukan dicari tetapi di bangun. Jika satu sama lain saling mengerti, memahami dan percaya maka cinta itu akan terus tumbuh meski salah satu diantaranya telah berpulang.

***

Kurasa semesta berpihak padaku, mentari hari ini sangatlah sejuk. Awan yang berkumpul berwarna putih—bukan hitam—menambah kesan hangat ketika pertama kali kakiku melangkah menuruni gerbong kereta. "Lana sebelah sini!"

Juna berjalan beriringan bersama kakek—aku bersama nenek—saling berbincang, membicarakan bagaimana mereka ketika muda dan kemana saja mereka menghabiskan waktu. "Andaikan kamu tau Alana... Dulu, dia sangat senang jika ku ajak berkeliling kota hanya dengan menggunakan sepeda. Selalu saja kata puitis milik Sapardi Djoko Damono yang terlontar dari mulutnya membuatku tersipu karenanya."

Aku tersenyum dan mengangguk setuju apa yang dikatakan nenek, sajak cinta Djoko Damono memang membuatku tersenyum meski hanya sebait sajaknya yang ku baca. Teringat sajak miliknya yang berjudul, "Pada Suatu Hari Nanti." Sajak itu pernah dibacakan oleh Juna ketika kami sedang bersantai menikmati senja di lapangan waktu itu.

"Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,
pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari."

Menyenangkan sekali berada dalam keajaiban waktu yang Juna berikan, bersama senja yang sekedar menyapa dan bulan yang segera 'kan singgah. Aku terus berharap, meskipun kami ini fana tapi kisah kami terus abadi menjadi kisah antara Lana dan Juna.

"Terimakasih ya nak, sudah membantu kami mencarikan kendaraan. Semoga kita bisa berjumpa lagi secepatnya," pamit nenek yang sudah berada di dalam mobil.

Aku [ H I A T U S ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang