-

2K 193 55
                                    


Jadi ceritanya, kami nggak sengaja ketemu di restoran salmon yang baru buka. Maklum, lagi ada grand opening. Waktunya gratisan. Ditambah tanggal tua, gue nggak punya alasan untuk nggak datang.

Dia ngelirik gue, sekali. Gue ikutan ngelirik dia, takut-takut. Dasar gue takut diculik. Sumpah, gue goblok banget untuk ukuran bocah laki 23 tahun. 

Selagi gue asyik dengan pikiran goblok gue, dia ngelirik lagi. Gue putuskan untuk berhenti ngelirik dia. Ntar dikirain gue ngajakin dia kencan lagi, kan bahaya.

Bukannya berhenti mengganggu gue, eh dia makin gencar ngeliriknya. Seolah gue pantas diculik. Tambahin, tai anget yang pantas diculik pakai sekop sampah.

"Salmon?!" panggilnya. 

Nama gue bukan "salmon", asli! Gue nggak pernah ke Catatan Sipil buat ganti nama memesona gue jadi nama ikan. Sarap tuh orang.

"He! Jawab dong," katanya lagi.

Sampai disini orang-orang yang lagi antri mulai kebingungan. Tuh orang asing yang barusan gue fitnah jelas mencondongkan tubuhnya ke arah gue, sedangkan salmon yang dia maksud lagi dimasak di dapur. Tebakan gue, orang-orang itu lagi nyari ikan salmon ajaib yang barusan dipanggil sama si orang asing.

"Salmon! Lu nggak inget gue?"

Dia mulai berani tepuk punggung gue.

Oke, gue akan berhenti berpura-pura sekarang. Bangsat.

"Mana mungkin gue lupa sama orang yang pernah bocorin kepala gue," gue menoleh dengan malas.

Yeah, cuma Alfian yang selalu manggil "Salmon" sekalipun nama akte gue jelas "SALMAN". Dasar buta huruf.

"Apa kabar lu?" dia tertawa lebar. Perhatian orang-orang mulai reda, mereka akhirnya menyadari kalau nggak ada salmon ajaib di dunia ini.

Gue yang berdiri paling jauh dari kasir, ingin sekali rasanya kabur. Gue ogah ketemu dia. Sekalipun itu cuma kebetulan. Nggak sudi.

"Baik tanpa lu," jawab gue sembari tersenyum manis. Padahal gue pengen banget nyakar wajahnya. Tingkah gue semakin mendekati tipikal kucing garong.

"Ah, lu. Masih lucu aja," lagi-lagi dia ketawa. Dikira gue lagi nyamar jadi Sule buat dia kale.

"Sehat lu?" tanya gue, mempertanyakan tawa nggak jelasnya. Eh, dia malah salah paham.

"Sehat kok, keluarga gue juga sehat. Lu gimana? Nyokap-bokap lu sehat?" dia mengulurkan tangannya, minta dijabat.

Gue balas menepis tangannya, menghindari jabat tangan dan segala macem tetek-bengek nggak penting.

"Gak usah sok akrab. Kita bukan best friend forever. Cih," maki gue, cuek. Males gue berurusan sama dia. Ntar bocor lagi kepala gue.

"Masih dendam lu sama gue?" dia mulai berani merangkul bahu gue. Njer, kami jadi mirip sodara kan jadinya.

"Iye, tau aja lu," kata gue lagi. Jujur lebih baik kan daripada munafik. Bilangnya 'nggak benci' eh malemnya nyantet.

"Gue kan udah minta maaf, maafin deh," katanya maksa.

Mau nggak mau gue keinget jaman SD. Saat usia kami baru tujuh tahun dan ingus masih jadi cemilan favorit kala terpaksa.

.

.

Layangan putus itu melayang bebas, semakin turun setiap detiknya.

"Woi, curang lu Man!"

Lima anak berlari saling mendahului. Tanpa ragu mereka manjat pagar tetangga, ngambil bambu perontok mangga, sampai nekat manjat pohon apapun. Mau itu pohon mangga atau pohon pisang, benar atau kagak. Pokoknya, sikat semuanya. Tahu fungsinya? Yak, ngambil layangan bekas yang udah dibuang angin saking jeleknya. Sekalian belajar jadi Kera Sakti. Meskipun kelihatan sepele, tapi ada peraturan nggak tertulis di kalangan anak kompleks yang bunyinya kira-kira begini: "siapapun yang berhasil ngerebut layangan yang putus, dia patut diakui sebagai cowok sejati". 

SalmonWhere stories live. Discover now