Tanpa paksaan, Farhan mencium bibir Nadia. Janda berusia 39 tahun itu pun membalas. Tanpa diungkapkan pun, mereka sama-sama tahu perasaan masing-masing.
Farhan melepas tautan bibir mereka. "Maafkan aku," ucapnya.
Tidak menjawab, Nadia mengalungkan tangan ke leher pria di depannya. Mendorongnya hingga bibir mereka kembali bersentuhan. Bagai singa betina yang kelaparan, wanita itu makin memperdalam ciumannya. Napas mereka sama-sama memburu. Tidak ingin lebih kebabalasan lagi, Farhan melepaskan ciuman dan mengambil jarak.
"Maafkan aku," ucapnya lagi.
"Kenapa harus minta maaf?"
"Atas apa yang baru saja aku lakukan. Aku ... entah kenapa aku tidak suka dengan cara Indra memandangmu. Darahku seperti mendidih."
"Mas cemburu?"
"Aku tidak tahu."
"Apa Mas jatuh cinta padaku?"
"Aku juga tidak tahu."
Nadia mendekat lagi, menghapus jarak. Matanya menatap dalam pria beranak dua itu. "Mas ... aku pernah terluka, aku pernah trauma, dan kamu tahu itu. Aku enggan untuk berkomitmen dengan pria lain lagi. Pandanganku terhadap laki-laki, sama. Sama seperti mantan suamiku yang lebih memilih meninggalkanku." Nadia menjeda ucapannya. "Tapi bertemu denganmu, rasanya lain. Kamu berbeda. Ada getar aneh saat awal aku berkenalan denganmu."
"Kamu...?"
"Ya ... aku jatuh cinta pada suami orang, pada suami sahabatku sendiri."
Farhan diam.
"Aku rasa, kamu pasti merasakan. Ada cinta dalam perhatian yang aku berikan padamu."
"Tapi, Nad ...."
Nadia menutup mulut Farhan dengan telunjuknya. "Kalau kamu ragu, jangan pikirkan apa pun. Biarkan semua mengalir. Aku juga bukan wanita di sinetron yang akan menyuruhmu meninggalkan istrimu. Aku tidak akan menuntut apa pun. Selama kamu bahagia ketika di sampingku, itu sudah cukup. Setidaknya aku sudah merasa bahagia."
Nadia mengecup bibir Farhan. "Kecupan terakhir sebelum kamu pulang. Setelah ini, jangan memikirkanku. Saat di rumah, fokuskan dirimu hanya untuk anak dan istrimu."
Farhan terpaku di tempatnya. Bahkan ia tidak menyadari Nadia sudah keluar dari ruangannya.
***
Pria berusia 45 tahun itu sampai di rumah saat azan magrib berkumandang. Tadi, dia memang tidak langsung pulang. Ia memilih untuk menenangkan pikiran terlebih dahulu.
"Mas ... lembur?" tanya Niken begitu membuka pintu. Diambilnya tas yang Farhan bawa. Kemudian digandengnya lengan sang suami ke dalam rumah.
"Iya ... tadi mencocokkan tagihan-tagihan terlebih dulu. Di mana anak-anak?"
"Mereka juga baru pulang ekskul."
"Kamu yang jemput?"
"Siapa lagi ...."
Farhan menghentikan langkah, berdiri menghadap sang istri. Ditatapnya mata wanita yang sudah 19 tahun menemaninya. Ada rasa bersalah ketika mengingat apa yang telah dilakukannya bersama Nadia. 'Bagaimana kalau dia sampai tahu, aku telah mencium sahabatnya?' batinnya.
"Ada apa, Mas? Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?"
Farhan menggeleng. "Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih sudah menemaniku sampai sejauh ini."
Niken tersenyum. "Mas ... aku istri kamu. Sejak aku memutuskan untuk memilihmu, sejak itu juga aku berkomitmen untuk selalu menemani kamu. Bagaimanapun keadaan kamu."
Tanpa diminta, Farhan meneteskan air mata haru. Dipeluknya tubuh Niken. Dalam hati pria itu mengucapkan beribu maaf pada istrinya. Tidak hanya memeluk, pria itu juga mencium bibir wanitanya. Memperdalam, sampai mereka lupa di mana mereka sedang berada.
"Ayah ... Mama ... sana ke kamar aja. Naura mau ambil minum di dapur." Naura yang merasa haus berniat mengambil minum di dapur. Namun, saat dia keluar dari kamar, adegan orang dewasalah yang dilihatnya. Tadinya ia memilih untuk menahan rasa hausnya, tetapi ia kemudian berpikir akan lebih gawat lagi kalau Dira yang melihat.
Rumah Farhan dan Niken memang hanya berlantai satu. Rumahnya cukup luas. Masuk melalui pintu utama, akan langsung ke ruang tamu yang juga langsung tembus ke ruang keluarga. Hanya sekat dari rotan yang membatasi kedua ruangan itu. Dapur dan ruang makan berada di samping ruang keluarga, yang juga berseberangan dengan kamar Naura dan Dira. Farhan mencium Niken di ruang keluarga. Jadi, saat Naura keluar kamar, ia bisa melihat dengan jelas apa yang sedang orang tuanya lakukan.
Mendengar ucapan sang putri, Farhan dan Niken langsung saling melepaskan diri. Niken sungguh malu terpergok putrinya yang sedang menginjak masa remaja, masa segalanya ingin tahu.
Naura nyengir, memperlihatkan gigi-giginya. "Maaf, Yah ... Ma ... Naura haus."
Farhan dan Niken salah tingkah. "Iya, Sayang ... haus, ya? Mau Mama ambilkan atau ambil sendiri?" tanya Niken yang sedang menutupi rasa malunya. Sementara Farhan memilih masuk ke kamar tanpa mengucapkan apa pun.
"Ambil sendiri aja, Ma," jawab Naura sambil tersenyum melihat sikap sang bunda.
"Ya, udah ... kalau gitu, Mama ke kamar dulu, ya."
"Iya, Ma ...."
***
Masuk ke kamar, Niken melihat Farhan sedang duduk di ranjang.
"Lho, nggak mandi, Mas?"
"Kamu udah mandi belum? Mandi bareng, yuk!"
"Apa nanti masih kebagian waktu buat magrib? Karena aku tahu apa maksud Mas." Niken tersenyum.
"Main cepet. Nanti malem, baru kita main beneran. Udah terlanjur, nih...."
Niken tertawa terbahak melihat apa yang Farhan tunjukan. Tidak ingin menunggu lebih lama lagi, pria itu segera menggendong sang istri ke kamar mandi.
***
Malamnya, Farhan benar-benar melakukan apa yang dia katakan pada Niken. 'Main beneran' bersama sang istri. Kegiatan yang mereka mulai pukul sepuluh malam, berakhir pukul satu dini hari. Farhan mengusap pipi Niken yang sudah terlelap.
"Maafkan aku ... maafkan aku, Sayang. Tuhan, bimbing aku. Jangan biarkan aku merusak rumah tanggaku sendiri. Jangan biarkan aku menyakiti mutiara yang telah kau kirimkan padaku."
Tbc.
18.01.20
Repost, 22.01.24
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Hati (Lost)-Poligami Series 5
RomanceCerita ini udah tersedia di Google Play Book. Yang kutahu, cinta itu tidak melukai. Yang kutahu, cinta itu tidak mengkhianati. Yang kutahu, cinta itu selalu mengasihi. Saat aku tidak lagi menjadi alasanmu untuk membuka mata setiap pagi, untuk apa la...