Prolog

4.6K 227 5
                                    

"Ayo pulang, Bu. Aku enggak mau naik permainan ini." Gadis kecil berusia 10 tahun itu terus merengek, menarik lengan sang ibu yang tengah menggendong anak laki-laki berusia 4 tahun.

Petugas bianglala yang berdiri di dekatnya, terlihat kesal. Permainan masih belum dijalankan hanya karena menunggu mereka masuk. Sedangkan pengunjung yang lain mulai mencecar dan meminta petugas untuk mengganti mereka dengan yang lain saja.

"Maaf. Sebentar, Pak. Tolong beri saya waktu 5 menit," ucap wanita yang masih terlihat muda dan cantik di usia tiga puluhan itu kepada sang petugas.

"Wulan, dengarkan ibu. Apa pun yang kamu ceritakan tentang mimpi itu, tidak akan pernah terjadi. Mimpi adalah bunga tidur, hanya orang kurang kerjaan yang percaya dengan itu."

Wulan, gadis kecil yang diajak bicara, mulai menangis sambil menatap sang ibu lekat.

"Sekarang, ibu dan Bayu akan naik permainan ini. Kalau kamu tidak mau ikut, tunggu di sini dan jangan ke mana-mana sampai ibu menghampirimu," kata wanita itu dengan menggandeng tangan Wulan, lalu mendudukkannya di bangku kecil di dekat loket.

Wulan mengangguk pasrah, dengan tangan masih menggenggam ujung baju ibunya.

"Semua akan baik-baik saja. Tenang saja, kita punya Tuhan, kan?" Wanita itu mengelus kepala Wulan sembari perlahan mengendurkan genggaman tangannya.

Gadis kecil itu menatap punggung sang ibu sampai masuk ke wahana di hadapannya. Bianglala raksasa itu mulai beroperasi, berputar dengan perlahan mengikuti alunan lagu. Wulan memainkan jemari yang terasa dingin, menatap benda yang ada di depan dengan perasaan tak karuan.

Sepuluh menit berlalu, salah satu petugas beranjak untuk menarik tuas mesin agar permainan itu terhenti. Wulan menghela napas lega, mimpi buruk yang datang padanya kemarin, tidak pernah terjadi. Lantas Wulan berdiri, dengan membawa kantong plastik berisi makanan yang dibelinya tadi.

Ia berjalan mendekat pada bianglala dengan senyum mengembang, tetapi seketika langkah itu terhenti saat mendengar kegaduhan dari arah petugas.

"Tidak bisa berhenti!" teriak salah satu petugas dengan panik. Dalam sekejap, beberapa petugas lainnya berkumpul dan berusaha untuk menghentikan permainan itu. Sia-sia, tuas dan semua tombol yang ada, tak berfungsi. Bahkan permainan raksasa itu justru semakin cepat berputar.

Jerit ketakutan, tangisan, dan raungan minta tolong terdengar memilukan dari tiap gerbong yang menyerupai sangkar burung itu.

Badan Wulan menegang. Tubuh kecil itu tenggelam oleh beberapa pengunjung yang berlarian dan berusaha menghentikan secara manual, tetapi gagal. Bianglala semakin cepat berputar, percikan api mulai terlihat dari aliran listrik dan lampu yang mengelilingi tiap sangkar. Sedangkan pada poros utama bianglala serta kotak mesin yang berada di bawah, tampak mengepulkan asap.

"Ibu ...," ucap Wulan lirih, lalu tangisnya mulai pecah. "Ibu! Bayu!" Sedetik kemudian ia berteriak histeris sambil mencari di mana kotak besi yang dimasuki ibunya. Sia-sia, permainan itu berputar terlalu cepat dan mulai mengeluarkan bau hangus, menandakan bahwa ada bagian yang terbakar. Benar saja, di bagian kotak mesin dan poros bianglala, tampak api yang berkobar hebat.

"Mundur! Mundur! Permainan ini akan meledak!" teriak salah satu petugas, yang disusul oleh petugas lain yang berlari menjauh.

Pengunjung pasar malam berhamburan, lari terpontang-panting. Dalam sekejap, area di sekitar bianglala sepi, tak ada lagi yang berani mendekat karena bau hangus semakin tercium tajam.

"Ibu dan adikku ada di dalam! Aku harus menolongnya!" Wulan berlari mendekat, tetapi dengan cepat salah satu pengunjung berhasil meraih tubuhnya dan membawa menjauh.

Sejurus kemudian, suara ledakan terdengar keras diikuti oleh teriakan minta tolong dan jerit kesakitan, menyayat hati siapa pun yang mendengarnya.
Ledakan kedua kembali terdengar, bahkan lebih keras. Wulan menyembunyikan wajahnya di pelukan pengunjung yang menyelamatkannya. Gadis kecil itu tak sanggup melihat kengerian di depan matanya.

Hingga akhirnya ledakan ketiga terdengar, sangat memekakkan telinga. Permainan raksasa itu hancur, berikut dengan orang yang ada di dalamnya. Potongan tubuh berceceran, membuat semua pengunjung berteriak histeris, termasuk Wulan.

Gadis kecil itu terduduk lemas, memandang permainan kesukaannya itu hancur berkeping-keping. Terlebih lagi, ada dua orang yang sangat dicintainya berada dalam permainan itu.

"Mimpi itu ... benar-benar terjadi," ucapnya lirih.

Dialah Wulan. Gadis kecil yang bisa membaca kematian lewat mimpi-mimpinya. Termasuk kematian sang ayah yang terjadi 2 tahun silam, hanya saja dia terlalu kecil untuk memahami semua itu.

Gadis Pembaca Kematian (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang