Jika kalian berfikir, Milaya akan menyambut lamaran Jimin dengan hati senang, lalu hidup bahagia dan beranak-pinak dengan bibit-bibit menggemaskan nan lucu, kalian salah besar!
Milaya jelas menolak mentah-mentah pinangan pria semisterius Jimin yang masih tak diketahui bibit bobotnya. Wanita bersurai madu sebahu itu masih tak habis fikir tentang lamaran Jimin kemarin, itu lebih terlihat seperti lelucon konyol yang mungkin akan menjurang penyesalan nantinya. yah tentu saja, mana ada pria yang melamar seorang wanita hanya karena menyelamatkan dari mahluk Tuhan tak berdaya seperti seekor kecoa itu. Harus selucu itukah hidup Milaya ini?
Hubungan mereka masih gamang, tak tentu arah, hanya sebatas menjalin hubungan simbiosis-mutualisme, dan entah siapa pula yang berada diurutan pertama pemangsa dalam rantai sosial itu, karena keduanyapun kini saling butuh dan menjaga, yah entah menjaga semacam apa pula, karena Jimin masih enggan melepaskan wanita itu dan selalu berdalih jika kehidupan luar belum terlalu aman.
"Jim, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?"
Mereka menyudutkan tubuh ditanah kering, bernaung terang bulan, menikmati sesapan hangat dari api unggun yang Jimin nyalakan. Sepertinya pemandangan malam ditemani kobaran api yang nyalang menjadi rutinitas dan keharusan sendiri untuk dua anak manusia itu, selain karena penghangat di rumah tua itu memang tak berfungsi dengan baik.
"Entahlah Mil, aku hanya menikmati hidup ini atas kehendak tangan Tuhan, aku tidak ingin memiliki keinginan apapun, karena saat kita memiliki harapan, dan berakhir dengan ketidaksesuaian, itu hanya akan meninggalkan luka dalam"
Sepasang mata teduh milik Jimin menguar sedih, kilat pekat itu kosong seperti ia hilang arah yang entah Milaya sendiri tak pernah tahu apa penyebabnya. Selama ini mereka menghabiskan waktu hanya untuk bercerita tentang masalah sepele dan tak penting saja, pun Milaya enggan mengorek lebih dalam luka yang pria itu sembunyikan. Ia hanya memberi waktu, agar Jimin menceritakan kisahnya sendiri.
"Sebenarnya kemana tujuan kita Jim, aku punya keluarga yang menungguku pulang"
Segaris senyum hangat terutas indah di wajah tegas seorang Park Jimin, menatapi wajah wanita yang menyudutkan tubuh disampingnya, sembari menyesap teh hangat, jentik wanita itu memainkan pucuk bibir gelas bening itu, sedang manik bulatnya hanya tertuju pada nyalang api.
"Bertahanlah sebentar lagi Mil, semuanya akan baik-baik saja"
Jimin mengelus punggung tangan wanita itu, mengawinkan sepuluh jemarinya erat pada tapak halus milik Milaya. Entah sejak kapan, persatuan guratan tapak mereka menjadi kebahagiaan tersendiri bagi pria Park itu, tapak Milaya begitu hangat menghantar damai yang tak pernah Jimin jumpai pada gadis-gadis lain.
"Sebenarnya kita bersembunyi dari siapa Jim, apa ada seseorang yang akan membunuhmu? karena itu kita pergi sejauh ini? Kenapa kau tak pernah menceritakan apapun"
Manik cokelat Milaya menatap penuh pertanyaan, menyunggingkan senyum canggung saat mendapati tangannya telah tersemat erat-erat di tangan kekar seorang Jimin. Jantungnya kembali berdegup kencang, maniknya menatap penuh kagum pada pribadi Jimin yang hanya memakai kaos putih polos__ seragam hari-harinya, dan surai yang mulai tumbuh memanjang yang terkadang membuat Milaya gemas untuk menguncir rambut Jimin agar tak mengganggu penglihatannya. Yah, mereka sudah seakrab itu.
"Aku akan menceritakannya nanti jika waktunya sudah membaik"
Pria itu menatap penuh gelora, entah apa yang ia rasai, kenapa ia amat suka memandangi wajah Milaya yang kadang terlalu lugu, sepasang manik wanita itu laksana Oase ditengah kehausannya, begitu bening dan menyegarkan, dan entah Jimin begitu membutuhkan kedamaian yang ia rasai dari setiap tutur Milaya, meskipun kadang penuh ketus, dan manja, namun Jimin begitu menyukai aksen angkuh dari bibir ranum itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
METANOIA🌺
RomantizmMilaya hanyalah wanita yang mabuk dengan keduniawiannya, hingga seorang pria Park Jimin memperkenalkan dunianya yang penuh teka-teki. Haruskah Milaya ikut menjelajahi dunia yang Park Jimin tawarkan?