"Wulan!" teriak Nadin. "Wulan, Wulan, hei! Ada apa denganmu? Kenapa diam saja!" Nadin mengguncang kedua bahu gadis berambut panjang itu yang mendadak diam terpaku tanpa sebab
Wulan terkesiap. Segera tersadar dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia memeriksa anggota tubuhnya yang seingatnya tengah ditarik paksa oleh sosok di balik semak. Lantas, seketika terdiam saat melihat semak menjulang tinggi tak jauh darinya bergerak dan mengeluarkan suara, persis seperti keadaan beberapa saat lalu.
Wulan menelan saliva. "Tidak mungkin," gumamnya tak percaya.
"Ada apa? Apa yang tidak mungkin?" tanya Nadin yang ternyata mendengar gumaman itu. Mereka berpandangan sekilas lalu segera memalingkan wajah ke arah semak yang bergerak semakin keras.
"Apa itu?" Refleks, Nadin memegangi lengan Wulan erat. Gerakan dan ucapan Nadin membuat Wulan semakin terpaku.
'Aku mohon, jangan muncul lagi,' batin Wulan yang akhirnya menyadari kalau firasat itu datang lagi padanya.
Semak-semak itu bergerak semakin kencang dan tiba-tiba ....
“Aaa …!” jerit kedua gadis itu bersamaan saat sesosok tubuh melompat dari semak belukar itu dan melintas di depan mereka dengan cepat.
Namun, mereka segera mengembuskan napas lega saat menyadari bahwa yang baru saja melintas hanyalah seekor musang yang juga ketakutan.
“Itu … hanya musang,” seru Nadin.
“Y-ya …,” balas Wulan sambil mengangguk samar. Lega, ternyata firasat yang datang padanya tadi tidak terjadi.
“Ayo, kita lanjutkan perjalanan!”
Mereka pun melanjutkan langkah menyusuri jalan aspal yang tak rata di beberapa tempat. Sesekali terdiam karena harus memasang telinga saat sayup-sayup mendengar suara aneh.
“Ngomong-ngomong, kamu dari mana tadi?” Nadin kembali mengajak bercerita untuk memecah kesunyian.
“Aku dari desa sana.” Wulan menunjuk ke arah belakang tubuhnya. ”Sekitar sepuluh kilometer dari sini.”
“Untuk apa kamu sendirian pergi ke desa seberang sampai malam seperti ini?”
“Ke pemakaman ibu dan adikku.”
“Ah, maaf. Aku tidak tahu.”
“Tak apa.”
“Memangnya, di desamu tak ada pemakaman umum? Sampai harus dibawa ke desa seberang?”
“Sudah penuh, karena saat itu yang meninggal bukan hanya ibu dan adikku, tapi juga hampir 40 warga lainnya.”
“Sebanyak itu?” tanya Nadin terkejut. “Maaf, apa ada sebuah kecelakaan besar?”
Wulan bergeming lalu mengembuskan napas panjang. “Bisa dibilang seperti itu.”
Nadin mengangguk-angguk tanda mengerti. “Kamu hendak ke desa kecamatan juga?”
Wulan menggeleng. “Desaku melewati desa kecamatan.”
“Apa jaraknya jauh dari desa kecamatan?” tanya Nadin sambil mengelus lengan berlapis jaket.
“Tidak. Cuma 3 kilometer.”
“Itu jauh. Aku biasanya naik taksi atau ojek untuk menempuh jarak itu.”
“Kami orang kampung terbiasa berjalan jauh. Malah aku dan teman-teman, dulu setiap hari berjalan kaki pergi ke sekolah. Beberapa tahun terakhir ini, bus sudah banyak melewati desa saat pagi dan sore hari. Lalu, sudah banyak warga desa yang memiliki sepeda motor.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Pembaca Kematian (Sudah Terbit)
Mistério / SuspenseSejak kecil, Wulan sering bermimpi yang mengisyaratkan kematian. Termasuk tentang kecelakaan bianglala yang menewaskan ibu dan adiknya. Firasat kematian yang awalnya masih samar, perlahan kian jelas saat Wulan beranjak dewasa. Ia sangat ketakutan ka...