YOHANGYUL - Meet You at the Altar

182 12 0
                                    

Beberapa hari ini Yohan kecil merasa diuntit tiap kali ia berada di dojang.

Yohan kecil tak ambil pusing. Hingga ketika anak bertubuh lebih gempal itu terjerembab saat mengekorinya. Tak ada luka, hanya gigi depan yang tanggal. Sukses membuat Yohan kecil panik mendatangi.

Alih-alih menangis, anak itu hanya tersenyum lebar. Menunjukkan gigi ompongnya.

"Hai, aku Hangyul. Ayo main!"

Yohan kecil tak suka bermain. Ia lebih tertarik mendalami taeguk agar segera naik ke sabuk biru. Tapi rasa bersalahnya pada Hangyul sebanding dengan ambisinya berganti sabuk.

"Aku tidak punya waktu, tapi kau bisa jadi lawan kyorugi-ku."

Hangyul kecil meringis. Jadi samsak pun ia rela.

Sejak hari itu mereka resmi menjadi sepasang teman sparring.

.

Dulu Yohan bilang ia tak punya waktu untuk bermain. Pun memang tak suka.

Tapi sejak insiden gigi tanggal hingga bangku kelas tujuh ini, ia selalu menghabiskan malam-malamnya bersepeda dengan Hangyul.

Hanya rute satu arah, dari dojang menuju rumah masing-masing. Terkadang berhenti lebih dulu untuk setusuk odeng, atau sekedar memberi makan kucing liar di taman.

Yohan tetap tak suka bermain. Tapi ia selalu menyisihkan waktu antara belajar, latihan, dan bertandingnya, sekedar balapan sepeda di tengah malam dengan Hangyul. Demi sebotol susu pisang gratis, atau boncengan untuk si pemenang dari dojang ke rumah keesokan hari.

Tak ada ikrar yang terucap. Sampai hari itu, gelar mereka bertambah. Teman bersepeda.

.

Hangyul remaja tak lagi bergelut dengan taekwondo. Kini masuk klub tari. Meski sesekali tetap berkunjung ke dojang. Memenuhi panggilan sang sabeum, atau sekedar menunggu Yohan selesai berlatih.

Yohan remaja mendapat sabuk hitamnya, sudah Dan 4. Masuk ke sekolah menengah olahraga, ia harus mendekam di asrama. Bersyukur masih dalam kawasan yang sama, sehingga tetap berlatih di dojang lama.

Yohan bukan pemilih. Tapi sungguh, makanan asrama tak cocok dengan seleranya. Maka di malam-malam antara dojang menuju asrama, Hangyul akan menunggunya. Sekedar mencari kudapan ringan, atau membersihkan kotak bekal yang dibawanya.

Pun kegiatan di akhir pekan tak jauh beda. Yohan akan pulang kerumah, kemudian keluar lagi. Terkadang menemani Hangyul mencoba toko roti baru di kota, atau menghabiskan 5 porsi daging untuk berdua.

Yohan remaja tak punya waktu luang. Terlalu sibuk untuk belajar, latihan, bertanding, dan makan dengan Hangyul.

.

Beranjak dewasa. Yohan yang konsisten menggeluti Taekwondo mendapat beasiswa universitas. Pun masih dalam daerah yang sama, sehingga ia kembali ke rumah.

Hangyul yang hengkang dari Taekwondo, pindah ke klub tari. Kemudian banting stir mengambil Ilmu Gizi di Universitas. Hasil perburuan makan selama ini, kilahnya.

Tak banyak yang berubah. Kecuali ayah Yohan yang diangkat menjadi Sabeum-Nim. Untuk kali pertama, Hangyul baru mengetahui Sabeumnya selama ini adalah ayah temannya. Diam-diam Hangyul ciut. Selama ini berarti sang Sabeum melihat interaksi Hangyul dan sang anak.

Pun yang lain tetap sama. Seperti ribuan malam-malam lalu, Yohan menghabiskan waktu selepas latihan melahap hidangan bergizi. Hasil praktek Hangyul di kampus, atau karya isengnya di rumah. Terkadang mengunjungi beberapa tempat makan, Hangyul sebut itu riset. Atau berkeliling supermarket 24 jam karena Hangyul lupa berbelanja untuk praktek esok hari.

Mulai beranjak dewasa. Yohan tak memiliki minat bermain. Sibuk saling bahu membahu dengan Hangyul menggapai mimpi.

.

Yohan sudah dewasa. Dua tahun lalu lulus dari Universitas dan kini menjadi pelatih termuda tim nasional. Ambisi dan perjuangannya tak sia-sia.

Tak jauh beda. Hangyul membuka toko kuenya di kota. Kecil dan nyaman. Beberapa pelanggan tetap berbicara dari mulut ke mulut. Kini tokonya tak pernah sepi.

Pun malam yang dihabiskan hampir sama. Yohan yang terlalu lelah akan bermalam di lantai dua toko kue itu, tempat Hangyul kini tinggal. Bertukar cerita, makan malam, atau sekedar berkeliling kota dini hari.

Tapi, hidup tak melulu sama.

Sabeum nim mereka- ayah Yohan mendapat serangan jantung. Hangyul yang kebetulan di dojang ikut mengantar ke rumah sakit. Tak lupa mengabari Yohan.

Kalut, Yohan segera menyusul. Selangkah lagi masuk ke ruang rawat, sayup mendengar percakapan ayah dan temannya.

"..."

"Iya, aku menyayanginya."

"Kalau begitu, titip anak ayah."

Yohan tak mendengar percakapan lagi. Sebagai ganti, mesin di samping tempat tidur berbunyi nyaring. Bersamaan datangnya dokter, Yohan yang ada di ambang pintu diseret keluar. Tak sempat melihat detik-detik terakhir sang ayah.

.

Yohan dan Hangyul adalah dua orang dewasa.

Kematian sang ayah setahun lalu tak membuatnya berkabung terlalu lama. Meski malam-malamnya kini lebih sering dihabiskan di rumah. Menemani keluarga.

Pun Hangyul juga begitu. Bisnisnya semakin lancar. Meski malam-malamnya sering dihabiskan merenung. Tentang percakapan terakhirnya dengan sabeum nim. Ayah Yohan.

.

Dua pria dewasa itu bersisian. Duduk didepan pintu rumah yang lebih tua. Dasi dileher sudah tanggal, selepas peringatan kematian ayah Yohan usai.

Malam ini tak jauh berbeda dengan yang dulu-dulu. Karena pada dasarnya, akan sama saja. Tetap diisi presensi satu sama lain.

"Han.."

Hangyul buka suara. Dirogohnya saku celana sembari mengeluarkan kotak beludru merah.

"Bagaimana menurutmu?"

.

Yohan tak punya waktu bermain. Pun tak suka.

Saat kenalan seusianya berkencan. Ia tak peduli. Tak ada waktu.

Saat kerabat seusianya sibuk memperkenalkan calon masa depan. Ia tak ikut-ikutan. Tak tertarik.

Hidupnya sudah cukup padat untuk belajar, latihan, bertanding, dan Hangyul.

Namun disinilah ia. Dengan tuksedo putihnya, berjalan melewati para undangan. Menatap Hangyul yang sialnya begitu tampan dalam balutan senada.

Layaknya film roman picisan, kilas balik kenangan mereka terputar. Yohan memantapkan hati tatkala hampir sampai di ujung altar. Tempat Hangyul menunggu dengan gagahnya.

Tak pernah terbayangkan oleh Yohan kecil, bocah ompong itu akan berhadapan dengannya seperti saat ini. Pun saat pria itu mengutarakan perasaan, yang rupanya hanya Yohan seorang tak tahu.

Manik keduanya berselisih, saat yang tua berhenti di puncak altar. Yohan bukan pria lemah. Pun tak menangis saat sang ayah tiada.

Kini sekuat tenaga ia menahan bulir sialan itu turun. Entah mengapa.

Bergetar. Tangannya meraih milik Hangyul yang terulur. Menyatukan dengan milik gadis sebelahnya.

"Titip adikku."

Pandora Books [X1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang