Lydya POV
Embun yang menempel pada pintu dan jendela kaca kafe masih juga tak mau pergi. Sisa dari hujan deras sejak pukul 3 tadi membuat suasana pagi masih terasa beku. Beberapa orang yang lalu-lalang melewati jalanan di depan kafe masih setia dengan jaket tebal dan payung mereka.
"Harusnya aku buka kafenya sedikit lebih siang" gumamku sambil mengusap-usap meja dengan kain lap.
"Pagi Lydya" ujar seorang pria muda dengan rambut yang dikuncir sedikit ke belakang.
"Kenapa baru datang mas?" tanyaku sedikit kesal. Bagaimana tidak? aku yang seorang pemilik kafe, justru datang jauh lebih awal daripada pegawaiku sendiri.
"Hehe, kan rumah mas jauh dari sini" ujarnya sambil lalu.
"Untung saja makanan buatannya enak!" gerutuku pelan untuk mas Doni.
Seorang pria dan wanita masuk ke dalam kafe. Dari gaya berjalannya yang anggun dan berkelas, jelas tampak bahwa wanita itu bos dari si pria. Apalagi dengan gaya sang pria yang tampak menggerutu pada wanita cantik itu sambil menunjuk-nunjuk halaman sebuah buku. Entah apa isi bukunya aku tak terlalu bisa melihatnya dengan jelas.
Harusnya aku memperbaiki kacamataku.
Lamunanku yang ku rasa terlalu lama yang tanpa sadar terus menatap ke arah dua orang itu, nampaknya membuat mereka sadar. Aku menangkap senyuman yang dilemparkan oleh wanita itu.
Ia mengangkat tangan kanannya, lagi-lagi dengan sangat elegan. "Permisi" katanya.
"Mau pesan apa kak?" tanyaku sedikit terbata-bata, saat akhirnya sampai ke meja tempat mereka duduk.
Jujur, pipiku masih memerah hangat karena malu setelah tertangkap basah memperhatikan mereka berdua. Si laki-laki, yang dari awal ku duga sebagai asisten wanita itu, kini yang gantian menatapku dari ujung ubun-ubun sampai ke ujung kuku kaki.
"Bisa pesan paket sarapan saja kak, untuk dua orang" ujarnya.
"Oh baiklah, mohon ditunggu" ujarku sambil bergegas kembali ke ruang dapur untuk memberitahukan pesanan pada mas Doni, si koki.
Sudah sepatutnya aku harus pergi dari tempat yang secanggung itu secepat mungkin. Sebelum aku jungkir balik salah tingkah karena malu.
Tapi mataku masih sempat menatap sekilas pada buku yang dari tadi dipegang oleh si asisten.
Potongan kain? Pria ini sedang ingin membuat baju untuk bosnya?
***
"Nah ini, jauh lebih parah daripada mas Doni tadi!" ucapku kesal pada Bayu yang bahkan telat 2 jam dari jam buka kafe. Ia hanya tersenyum sejenak lalu bergegas naik ke lantai dua, kantor konsultasi psikologinya.
Aku mengejarnya ke atas, hanya untuk memastikan bahwa pria yang ku kenal itu tidak tersinggung dengan ucapanku barusan.
TOK-TOK-TOK
Karena tak juga ada sahutan dari dalam, aku langsung masuk ke dalam ruangannya. Pria itu berbaring memeluk meja.
"Kenapa Mas?" tanyaku penasaran.
Ia mengangkat tubuhnya tiba-tiba. Seolah-olah suaraku barusan benar-benar membuatnya terkejut. Tapi dari ekspresinya, jelas saat ini dia sedang punya masalah. Bagaimana tidak? ia bahkan tak mendengarku membuka pintu dan berjalan hingga di hadapannya.
"Oh, Lydya" ucapnya singkat sambil tersenyum.
Alisku terangkat sebelah, tanda aku masih menunggu jawaban dari pertanyaanku tadi. "Kau kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE STITCHES (Sibling 2nd season)
Mystery / Thriller"Kau tetap yang teristimewa, kepalamu tetap jadi koleksiku yang ke 100. Mari kita mengulang semuanya kembali dari awal" Senja Bayu, setelah akhirnya berhasil menyelamatkan dirinya dan pasiennya dari seorang psikopat yang ingin mengoleksi kepalanya...