Penampakan Arwah

2.4K 163 1
                                    

Dua minggu setelah kecelakaan itu, Wulan kembali beraktifitas seperti semula. Membantu sang bibi di pasar desa kecamatan untuk mengelola toko sembako–peninggalan ibunya Wulan.

Di usianya yang sekarang, seharusnya Wulan duduk manis menimba ilmu di bangku kuliah, tapi ia enggan meninggalkan bibinya. Wanita yang sudah merawatnya itu, akan hidup seorang diri jika ia kuliah. Karena di desa kecamatan tidak ada universitas, jadi harus pergi dan tinggal di kota untuk bisa mendapat gelar sarjana. Lagipula, Wulan tak ingin membebani bibinya dengan biaya kuliah yang tak sedikit.

Suami Laras meninggal 5 tahun yang lalu karena kecelakaan, membuat wanita paruh baya itu harus berkerja semakin keras dalam mengelola toko sembako, untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan biaya pendidikan sewaktu Wulan masih bersekolah.

Seperti biasa, pasar terlihat ramai di akhir pekan. Meskipun waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi, para pedagang sudah sibuk melayani pembeli yang beragam karakter. Begitu pula dengan Laras dan Wulan. Gadis muda itu lebih banyak bergerak daripada Laras yang sering mengeluh sakit pinggang karena termakan usia.

Saat Wulan melayani pembeli, tiba-tiba ia dikagetkan dengan suara gaduh dari ujung pasar.

“Ada mayat! Ada mayat! Bu Sekar tewas!” Teriakan seseorang membuat keadaan pasar yang ramai menjadi semakin gaduh.

Penemuan mayat wanita di salah satu kios pasar yang masih tertutup, membuat orang berbondong-bondong untuk melihat.

“Bulek, aku mau lihat dulu,” pamit Wulan, yang langsung bergegas pergi tanpa menunggu jawaban dari Laras.

Dalam sekejap, terlihat warga sudah berkerumun di lokasi kejadian. Tempat itu adalah kios yang juga menjual sembako, sama seperti kios Wulan, tapi lebih besar dan lengkap barang dagangannya. Kios itu masih tertutup. Hanya saja kini, salah satu pintu susunnya sudah dibuka dengan paksa.

Jerit tangis terdengar dari pria paruh baya berkaus merah, yang tak lain adalah suami Bu Sekar. Mereka sama seperti Laras, sudah lama menikah tapi belum dikaruniai anak.

“Bangun, Bu. Bangun ... jangan tinggalin bapak,” ucapnya pilu, membuat siapa pun yang mendengar ikut merasa sedih. Lelaki paruh baya itu berdiri di dekat pintu masuk, sedangkan beberapa polisi tampak sibuk mengamati jenazah Bu Sekar. Dua orang polisi lainnya memasang garis polisi.  Ada pula yang hanya mondar-madir mengawasi TKP.

“Wulan!” Panggilan dari arah belakang membuat gadis berkaus hitam itu menoleh.

Wulan membalas dengan lambaian tangan, memberi kode agar gadis yang memanggilnya, mendekat. “Nisa, sini!”

Nisa bersusah payah mendekat, menerobos kerumunan orang-orang. Hingga akhirnya, tubuh mereka berhasil bersisian.

“Duh, nggak nyangka, ya. Bu Sekar tewas mengenaskan gitu,” ucap Nisa.

“Mengenaskan?” tanya Wulan bingung. “Emang kamu tahu dia tewas kenapa?”

“Dengar cerita, Bu Sekar berangkat ke pasar setelah Subuh. Kemungkinan sewaktu mau membuka kios, beliau diserang pembunuh. Buktinya, kios beliau masih tertutup. Pedagang lain nggak nyangka kalau ada Bu Sekar di dalam. Kemudian, sewaktu suaminya datang, baru ketahuan.”

Mata Wulan terbelalak mendengar itu. “Serius?”

“Duarius! Katanua Bu Sekar dicekik pakai tali. Duh, kasihan banget pokoknya,” balas Nisa.

Belum sempat Wulan membalas omongan Nisa, tiba-tiba suara sirine ambulan datang memasuki pasar. Membuat warga yang asyik menonton, menyingkir memberi jalan pada mobil putih itu, untuk mendekat dan membawa mayat Bu Sekar.

Suami Bu Sekar tak diperbolehkan ikut dan mulai ditanyai pihak penyidik. Beberapa pertanyaan dijawabnya dengan jelas sehingga penyidik mengangguk puas. Sedangkan garis polisi yang dibentangkan, menutup akses masuk ke dalam kios luas milik Bu Sekar.

Gadis Pembaca Kematian (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang