Brakkk!!
Aku sedikit terkejut saat Gio, mantanku menggebrak meja dengan marah di hadapanku, tapi untungnya aku bisa mengendalikan diri dengan baik. Aku bisa menatapnya dengan tenang saat dia balik menatapku dengan nyalang.
"Jadi apa yang aku lakukan selama ini gak ada artinya buat kamu?" Gio menekan suaranya dengan nada rendah, aku tahu ada gelegar pahit dari suaranya. Aku mungkin sudah jadi gadis paling sadis sedunia, saat diluar sana banyak gadis lain yang berdoa supaya Gio jadi pacarnya, aku malah justru membuangnya.
"Kamu baik, Gio." Kataku yang langsung dibalas dengan tatapan miris.
"Jadi itu salah?" Aku menggeleng. Jujur, gak ada yang salah dari Gio. He is the best thing thats ever been mine. Tinggi, rupawan, berwibawa, sporty, dan kaya. Semua hal baik ada pada cowok ini, dia juga setia dan murah hati. Aku jadi kasihan, tapi mau bagaimana lagi, aku sudah bosan dengan Gio. Aku sudah memberinya waktu pacaran kami selama tiga bulan, dan itu sudah terlalu lama waktuku dengan Gio sudah habis.
"Lalu apa, Ra?" Meskipun berat, suara Gio terdengar memohon. Aku menatapnya dengan senyuman tipis, senyuman yang kata orang-orang menenangkan. "Ada cowok lain, ya?"
Aku tidak menjawab, tapi sepertinya dia sudah paham.
"Aku bosan Gio, hubungan kita cuma gini-gini aja."
"Terus kamu maunya gimana Ra? Aku bakal lakuin apa aja buat kamu asal kamu tetap sama aku. Kamu mau aku apel tiap malam minggu, oke. Aku bakal kurangin waktu main sama teman-temanku juga, oke. Kamu minta--,"
"Cukup, Gi!" Aku memotong ucapan Gio, sebelum dia menawarkan macam-macam yang menurutku juga bakal percuma. Ibaratnya dia mau kasih aku ginjal juga, aku gak tertarik. "Lupain aku, kita putus." Kataku dengan tegas. Gio diam.
Aku segera berdiri dan meninggalkan selembar uang limapuluh ribuan untuk minumanku. Aku tahu Gio biasanya tidak akan pelit mentraktirku, dia punya banyak uang. Tapi untuk kali ini, aku merasa tidak pantas lagi.
Aku meninggalkan Gio saat kudengar samar-samar memohon padaku agar tetap tinggal. Sad boy, melihat kapten basket yang biasanya garang di lapangan kini jadi terlihat lembek dan culun begini. Tapi itulah konsekuensi kalau mau pacaran denganku, Gio hanyalah satu dari sekian yang sudah banyak yang memohon agar tidak sampai putus denganku. Aku tahu Gio mencintaiku dengan tulus, bahkan mungkin lebih dari siapapun cowok yang pernah kukenal. Aku mencintai Gio, tapi cinta itu kini masanya sudah habis. Perjalananku masih panjang, masih banyak yang harus aku kejar.
Aku memakai helm dan menaiki motorku yang terparkir di depan Caffe, sebelum kunyalakan mesinnya ponselku bergetar. Aku bergegas memeriksanya saat kudapati satu pesan WhatsApp masuk.
Vera, aku dengar kamu putus sama Gio. Aku tahu kamu punya reputasi yang nggak baik. Orang-orang bilang kamu playgirl, tapi aku percaya kamu nggak gitu. Mereka belum kenal aja sama kamu, so bisa kan kita kenal lebih dekat? Biar aku buktikan bahwa semua yg dikatakan mereka salah.
Aku tersenyum membaca pesan manis itu dari Roger, kakak kelasku yang kulihat dia sering aktif main band sebagai drummer. Aku bergegas mengetik balasan.
Haha, terimakasih. Kakak manis banget. Bisa. Kita ketemu di Studio Empat skarang gmna? Katanya ada pameran alat-alat musik di sana.
Aku tak perlu menunggu, dalam sekedip mata, aku mendapat balasan oke. Baiklah, aku sudah biasa menjalani kehidupan seperti ini. Seperti kata pepatah; gugur satu, mekar seribu.
Hidup memang penuh kesenangan dan keajaiban. Jadi kularikan motorku ke tempat dimana aku bakal ketemu dengan Kak Roger. What a perfect day.
***
I'm so sorry. Its no edited
KAMU SEDANG MEMBACA
PLAYGIRL VERA
Teen FictionBukan salah Vera, punya wajah cantik, bodi semampai, segudang prestasi, dan populer. Bahkan puluhan ribu followers di instagramnya juga gak bikin Vera jadi lupa daratan. Vera adalah pribadi yang selalu rendah diri, ramah, dan memiliki banyak teman...