Aroma kayu cendana menguar di sebuah ruangan bernuansa putih bersih. Alis simetris itu bertaut membuat bentuk guratan di dahi yang dihiasi pita bermotif awan, membuat bulir peluh yang mengalir disana jatuh menetes menyentuh ujung hidung mancung itu yang kemudian hilang terserap ke dalam jubah berwarna putih mirip pakaian berkabung.
Orang berpakaian serba putih tersebut membuka matanya. Ia menatap guqin yang berada di depannya dengan ekspresi datar. Meski begitu, mata emas itu tidak dapat dibohongi, mata emas itu berkilat marah dan kecewa.
Ia sudah menunggu, menunggu dan menunggu guqin itu bersuara barang satu nada. Namun tetap saja hasilnya sama seperti malam-malam sebelumnya selama ratusan tahun ini.
Menghela nafas, orang itu menyimpan guqin miliknya ke dalam kantung qiankun lalu berdiri menghadap jendela kaca yang kini memantulkan dirinya sendiri seolah sedang berdiri diantara hamparan lautan kerlap-kerlip lampu kota dengan pakaian serba putih yang digunakan orang pada jaman dahulu, era China kuno mungkin.
Hampir setiap malam, orang itu melakukan hal tersebut di dalam ruangan bernuansa putih ini selama ratusan tahun. Memakai jubah khas sekte nya lengkap dengan pita dahi, memainkan guqin untuk bertanya pada roh demi mencari keberadaan dua orang yang sangat ia rindukan.
"Wei Ying...Kakak..."
Gumam lirih orang itu yang adalah Lan Wangji, kultivator abadi yang tidak pernah menyerah untuk selalu mencari keberadaan Wei Wuxian dan Lan Xichen.
Bahkan, Wangji rela melanggar aturan sekte demi melakukan inquiry setiap malam. Tidur di atas jam 9 malam merupakan sebuah pelanggaran, jika dihitung Wangji sudah melanggar aturan tersebut sejak puluhan atau hampir ratusan tahun. Ia akan memainkan guqin pada jam 2 pagi dimana orang-orang sudah terlelap di alam mimpi. Menurutnya, hening merupakan waktu yang tepat untuk melakukan inquiry.
Kendati melanggar peraturan, Wangji tidak akan menghukum dirinya sendiri. Menurutnya, ia sudah dihukum oleh langit dengan diberikan keabadian seperti ini. Dia memang abadi, tapi tidak pernah menemukan bahagia, Wangji ingin hidup bahagia bersama Wei Wuxian dan kakaknya, Lan Xichen. Bukan hidup abadi ratusan tahun dengan kehampaan.
Hatinya seperti luka yang bernanah dan terkubur dalam, sulit untuk dipecah agar nanah itu keluar sehingga nyeri yang dirasakannya selama ratusan tahun itu mereda, juga luka-luka itu dapat mengering. Rindu yang ia tahan sudah cukup lama, usaha yang ia lakukan juga sudah maksimal hingga ia mengerahkan seluruh kekuatannya, namun tetap saja hasilnya nihil.
Mata emas Wangji berubah sendu, wajah datar seputih batu giok itu kian melembut. Wangji berjalan menuju meja tempat dimana pedangnya yang bernama Bichen disimpan. Setelah menemukan pedangnya yang ia simpan bersama dengan pedang lainnya yang bernama Suibian, Wangji tersenyum. Ia mengusap pedang yang masih tersegel itu. Sekilas bayangan wajah Wei Wuxian melintas di pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The SWORD'S TEARS
RandomSejak Wei Wuxian sang pendiri Yiling Laozu, jatuh ke dalam kawah api, Lan Wangji terus berusaha keras untuk mencari keberadaan teman kepercayaannya itu dimanapun. Berbagai metode telah dilakukan. Sialnya, dari metode yang dilakukan Lan Wangji, ia ma...