2. Who's He?

166 11 0
                                    

"Kau baru datang?"

Abby menutup lokernya setelah memasukkan beberapa buku tebal ke dalamnya. Ia menatap Ana yang bersandar di loker sebelahnya. "Memangnya kenapa?"

"Harusnya kau datang lebih pagi karena para anak baru itu datang pagi sekali. Dan kau tahu? Rata-rata dari mereka itu lelaki tampan! Oh my God! Hanya ada beberapa perempuan dan sialnya mereka lebih cantik daripada aku," pekik Ana menahan kesal di akhir kalimat. Namun, dia tiba-tiba tersenyum tidak jelas saat mengingat apa yang dilihatnya pagi tadi.

Abby mengangkat alis, memandang sahabatnya itu aneh. "Tumben sekali kau mengakui ada yang lebih cantik darimu?" Biasanya memang Anastasya Gabriella paling anti mengakui perempuan yang lebih cantik dari dirinya. Baginya ia yang paling cantik setelah ibunya yang mewariskan rambut coklat dan mata hazel indah itu padanya.

Ana berdecak. "Karena mereka memang lebih cantik dariku," gerutunya. Abby hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan sahabatnya itu.

"Abby! Ana!" Grace terlihat berlari ke arah mereka. Namun, tanpa sengaja ia menabrak seseorang hingga membuatnya jatuh cukup keras dengan posisi terduduk. Anehnya orang yang ditabrak tidak bergeser sedikit pun dari posisinya. "Aw!" pekik gadis berambut pirang itu.

"Ah, maaf. Aku tidak melihatmu," ujar orang yang ditabrak tadi penuh penyesalan. Ternyata dia adalah salah satu murid baru yang dilihatnya pagi tadi bersama Ana, seorang lelaki dengan onyx yang indah dan menenangkan sekaligus tajam dan mengintimidasi. Lelaki itu berjongkok di depannya. "Apakah sakit? Perlu kubantu ke ruang kesehatan?"

Grace yang sempat terpesona seketika tersentak. "Ah, tidak apa, ini bukan masalah besar," balasnya disertai senyum manis.

Lelaki itu bangkit lalu mengulurkan tangannya. "Baiklah, mari kubantu," tawarnya lembut. Jangan lupakan senyumnya yang begitu manis membuat otak Grace seketika blank. "Miss?" Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya karena hanya diabaikan.

"Ah, te-terima kasih." Grace menerima uluran tangan itu dan berdiri.

"Grace!" Abby dan Ana berlari menghampirinya. "Kau tak apa?" tanya Abby.

"Aku yakin dia bahkan sangat-sangat baik," celetuk Ana ketika ia melihat tangan Grace masih berada di genggaman lelaki tadi. Menyadari itu, keduanya segera menarik genggaman mereka, lalu lelaki itu meminta maaf karena telah lancang. "Tidak masalah, mungkin kita bisa menjadi teman. Aku Anastasya Gabriella, panggil saja Ana," ujarnya ceria sambil mengulurkan tangan. Grace yang melihatnya merotasikan bola matanya sebal.

"Alexander Stanley, kau bisa memanggilku sesukamu," balasnya ramah, tak lupa dengan senyuman dan uluran tangannya yang menyambut tangan mungil Ana.

Ana nampak berpikir sejenak. "Bagaimana jika aku memanggilmu Xander?"

Xander terkekeh. "Semua orang memanggilku begitu."

"Ah, aku kira aku akan menjadi yang spesial," desahnya kecewa.

"Ekhem." Grace berdeham keras. "Kita ke kafetaria saja, Abby. Aku haus." Ia lalu mengapit lengan Abby dan membalikkan badan. Abby hanya pasrah saja mengikutinya.

"Miss!" panggil Xander membuat keduanya menoleh. "Siapa namamu?"

"Siapa? Aku atau dia?"

ARGENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang