chapter 3

18 2 0
                                    

Malam ini tidak seperti hari hari sebelumnya, Kara hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar. Biasanya sehabis makan malam Kara selalu bercengkrama bersama bunda atau ayahnya, untuk sekedar bercerita. Tapi malam ini moodnya sedang tidak baik, seharian Arik tak memberinya kabar. Kara sangat kesal karena sedari tadi ia sudah mencoba menghubungi cowok itu, tapi ponselnya tidak aktif.

“Giliran aku yang gitu, marahnya subhanallah, dasar nggak sadar diri.”

Kemudian Bunda Kara masuk ke dalam kamar anak gadisnya itu untuk memastikan kondisinya, karena tidak biasanya Kara seperti ini.

“Kamu kenapa sih, Dek? kok mendumel mulu.” Tanya bunda kara seraya duduk disamping Kara yang masih asik memainkan ponselnya.

“Nggak papa, Bun, lagi mager aja”. Jawab Kara setengah jujur.

“Iya deh kalau kamu nggak mau cerita. Tapi kok seharian bunda nggak liat Arik ya?” Tanya bunda lagi, yang sekarang ia beralih mengusap usap kepala anaknya dengan sayang.

“Mana aku tau, Bun, Bunda tanya aja ke orang nya, kok malah nanya aku.” Mendengar nama Arik disebut, Kara kembali merasa sensi.

“Hoo sekarang bunda tau, kamu bad mood gini karena Arik ya, emang kamu udah nyoba hubungin?” Tanya bunda kara lagi, betah mengganggu anak gadisnya itu. Ia tak menyangka sebesar itu pengaruh keberadaan Arik bagi putrinya.

Sebenarnya dulu Bunda Kara lah yang mempertemukan mereka berdua. Saat itu Arik yang masih berusia enam tahun bermain sepeda sampai ke komplek rumah Kara, karena tidak tau jalan pulang Arik pun menangis dan kebetulan bertemu dengan Bunda Kara. Jadi karena itu mereka saling mengenal hingga seperti sekarang.

“Udah, Bun, tapi ponselnya gak aktif. Kemaren kemaren waktu aku nggak ngehubungin dia gara gara ponsel ku lowbat dia malah marah marah, sekarang dia juga gitu, Bun, gimana nggak sebel.” Ucap Kara berapi api mengingat waktu ia di marahi Arik saat menjemputnya di halte sehabis nonton dengan Sella kemaren.

“Iya iyaaa, kali aja Arik lagi ada urusan penting yang bikin dia nggak sempwt cek hp. Kamu nggak boleh gitu lah dek.”

“Iiihh kok bunda malah belain dia bukan aku, yang anak Bunda tu aku ya bun, jangan sampe lupa!”

Mendengar penuturan putrinya tersebut bunda hanya bisa terkikik geli sambil menoyor kepala putrinya tersebut.

“Kamu ini ada ada aja, udah deh bunda bagusan ke ayah aja.” Ucap bunda mengakhiri percakapannya denagn Kara

“Iya, terserah bunda.”

*

Tak lama selepas bunda nya pergi Kara merasa kasur disamping nya ditiduri seseorang. Tanpa menoleh pun Kara tau jika sosok tersebut adalah orang yang membuatnya kesal seharian tadi.

Karena sudah lumayan lama terjadi keheningan akhirnya Kara mengalah dan angkat bicara.

“Kamu ngapain kesini? Aku udah mau tidur.” Ucap Kara mencoba untuk ketus.

Mendengar hal tersebut, Arik beralih duduk dan menatap Kara, tapi kali ini tampilan arik sangatlah berbeda dari biasanya, mata yang biasanya tajam tersebut, kini hanya menyorot lesu ke arah kara, bisa dibilang tampilan Arik kali ini sangat kacau?.

Melihat hal tersebut Kara akhirnya mengurungkan niatnya untuk memarahi Arik. Kara tau, Arik sekarang pasti sedang memiliki masalah.

“Lo mau ikut gue ke fotkop nggak?” Akhirnya sedari tadi hanya itu kalimat yang sanggup Arik ucapkan.

“Aku ganti baju dulu, kamu tunggu aja dibawah.” Kara menyanggupi ajakan Arik tersebut. Karena ia tau jika Arik sudah mengajak kesana, pasti ada yang ingin ia ceritakan.

*

Sekarang mereka berdua sudah berada di fotkop. Fotkop yang dimaksud Arik adalah sebuah  ruko yang disewakan papa arik sebagai gedung photocopy sehingga Arik dan Kara bebas menggunakan bagian atap dari ruko tersebut.

Mereka menyulap bagian atap yang tidak terpakai menjadi tempat yang nyaman untuk bercerita. Bangunan tersebut terdiri dari tiga tingkat sehingga dari atas mereka bisa menikmati angin malam yang menenangkan.

Arik memilih menyandarkan tubuh nya pada sandaran sofa. Kara masih setia menunggu cowok itu bercerita, sesekali memperhatikan wajah lelah lelaki yang ada di sampingnya itu.

“Papa masuk rumah sakit, Ra” ucap Arik membuka percakapan mereka.

Kara sangat terkejut mendengar perihal tersebut. Jadi ini alasan Arik tidak mengabarinya seharian ini, Kara sangat merasa bersalah karena tadi ia sempat marah dan berniat mengabaikan cowok tersebut.

Pasti hal ini sangat berat bagi Arik karena Om Heru – Papa Arik – adalah satu satunya keluarga yang dimiliki Arik setelah ibunya meninggal.

Arik sangat menyayangi papanya meskipun beliau jarang ada dirumah. Papa Arik lebih sering berada di kantor sejak kepergian sang istri, tapi meski begitu ia bukan tipe orang tua yang meelantarkan anak hanya demi pekerjaan, hanya saja ia tak sesering dulu untuk bertemu dengan Arik.

“Trus sekarang kamu gimana?” Kara bertanya seperti itu bukan karena ia tidak peduli pada papanya Arik, melainkan Arik lebih mengkhawatirkan pada saat ini.

Pi Cowok itu tak punya siapa pun disamping nya sedangkan papanya yang memiliki kekuaaaan sudah pasti akan mendapatkan perawatan terbaik di rumah sakit.

“Gue nggak tau, Ra, gue takut, gue takut papa ninggalin gue, gue nggak siap.”

Baru kali ini Kara melihat mata Arik berkaca kaca seperti itu. Orang yang biasanya menjadi pelindung bagi Kara sekarang terlihat sangat rapuh, jelas sekali menggambarkan betapa pentingnya sosok tersebut bagi Arik.

“Nggak, Rik, Om Heru nggak bakal ninggalin kamu, kamu harus percaya sama aku, dan kamu nggak jangan mikirin hal yang kayak begitu lagi.” Jelas Kara mencoba menguat sahabatnya itu.

“Ra, gue takut sendiri, gue takut banget kalo papa nggak ada, Ra”

“Rik, kamu anggap aku ini apa?, kenapa kamu nggak ngabarin aku di saat kayak gini, Rik? Kamu tu nggak sendirian, masih ada aku dan papa kamu yang besok pasti bakalan sembuh” Tanya Kara, ia merasa Arik terlalu egois karena tidak mengabarinya disaat seperti ini.

“Gue bukannya nggak mau ngabarin lo, Ra, Cuma gue nggak mau lo ribet dengan masalah yang gue punya.”

“Sejak kapan kamu mikir aku nggak mau ribet sama masalah kamu? Kamu tu penting bagi aku, Rik, nggak mungkin aku biarin kamu jika kamu lagi sulit kayak gini.” Jelas Kara yang kali ini tak sanggup lagi membendung air matanya.

Arik yang tak sanggup melihat Kara menangis langsung mendekap gadis itu kepelukannya. Pelukan yang menenangkan bagi keduanya.

“Maafin gue, gue nggak bakal gitu lagi, gue emang butuh lo, Ra, gue butuh pelukan ini, gue butuh lo ada di samping gue.”

Mendengar hal tersebut kara semakin terisak dan semakin membenamkan wajahnya kedalam pelukan Arik.
Mereka masih tetap berada di posisi tersebut selama beberapa saat, sampai akhirnya Arik mengurai pelukan tersebut karena Kara sudah terlihat tenang dan napasnya sudah mulai teratur. Tapi betapa terkejut nya Arik ternyata sedari tadi kara sudah tertidur dipelukannya, pantas saja gadis itu diam saja saat Arik mengajaknya untuk pulang.

Lo emang beda, Ra

To be continued...

Gimana gimana?? 
Voment please 😘

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ELSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang