Chapter 17

1.6K 150 9
                                    

Sejatinya, mencintai itu membicarakan sebuah perkembangan, dari ketertarikan yang hanya sebesar zarah hingga menjadi perasaan sakral yang menakjubkan. Tapi, agaknya Seokjin berbeda. Bukan karena rasa itu tak ingin berkembang. Hanya saja ketika Tuhan mendebarkan jantungnya malam itu rasa yang ia miliki sudah cukup besar. Atau-------mungkin saja Seokjin hanya tak paham bagaimana perasaan itu sebenarnya bekerja.

Entahlah, sebab ini hanya perkiraanku.

Daripada itu, Seokjin jelas paham ketika Tuhan memutuskan manusia untuk jatuh cinta ribuan kali. Ketika kehendak-Nya membiarkan satu hati berubah haluan, Seokjin bukan lagi perkiraan-----ia benar-benar mengerti. Tuhan ingin kita belajar dari hal-hal menyakitkan yang bahkan Dia beri secara cuma-cuma. Tapi sekali lagi, Seokjin berbeda------ia tak ingin perubahan, semenyakitkan apapun nanti Seokjin hanya ingin jatuh cinta sekali.

Perjodohan atau segala tektek bengek memuakan takkan merubah keputusan. Joohyun ada sejak awal------maka sampai akhirpun akan selalu dia.

Satu yang memberatkan----tempat kedua kakinya berpijak, tempat dimana segala sesuatunya terlihat indah. Seokjin tak berdaya, sebab di sana mimpi serta cintanya saling beradu, tumpang tindih mencuri ego diri.

Sementara Joohyun masih sebatas rahasia.

Seokjin tak menyangkal ketika pikiran piciknya berujar demikian. Ada yang lebih mengganjal dari itu, pikirnya. Seokjin diingatkan kembali pada kejadian beberapa saat lalu ketika dengan terpaksanya ia beranjak. Lagi-lagi meninggalkan sang kekasih sendirian di dalam kamar apartemen.

Joohyun masih tersenyum bahkan ketika itu menjadi pertemuan pertama setelah satu bulan. Netra elok itu masih saja berbinar ketika keningnya dikecup lembut tanda perpisahan atau ketika tungkai Seokjin mencapai pintu keluar, tangannya masih sempat melambai.

"Jangan pulang terlalu larut, aku menunggumu." begitu katanya.

Sementara pertemuan mereka hanya bisa dihitung permenitnya, keduapuluh jarimu bahkan masih tersisa ketika Seokjin mencapai daun pintu. Sangat singkat. Sementara kini, di depannya ada senyuman manis menyapa. Ada beberapa pasang mata menatapnya kagum pun dengan bisik-bisik memuja ketika lengan kirinya diapit oleh pemilik tangan mungil kesayangan kakek.

"Bisakah kita tak usah berlebihan?" Choi Ara, gadis itu tampak mengernyit heran ketika suara rendah menyapa pendengaran, "Kita tak sedekat itu untuk bergandengan tangan seperti ini." Sedikit kasar sebab untuk beberapa detik lalu tautan itu tak terlepas, Seokjin bahkan tak peduli ketika sang kakek menatapnya dari kejauhan. Juga tak habis pikir, ketika pesta meriah nan mewah ini diadakan hanya untuk makan malam antar keluarga dan rekan bisnis.

Tolong! di bagian bumi sana ada beberapa hal yang harus Seokjin urus ketimbang tersenyum sok ramah menyapa kolega yang bahkan baru pertama kalinya ia temui. Dan lagi ia bosan ketika harus bertatap muka dengan calon tunanga------hah!

"Kau sepertinya sedang tak sibuk-----"

"Aku terpaksa datang." Ibu dan Ayah tak pernah sekalipun mengajarkan hal-hal seperti itu------memotong perkataan seseorang baru pertama kalinya Seokjin lakukan. Betapa dirinya muak pada keadaan, beberapa kesempatan seolah mengharuskannya untuk menjadi anak penurut-----menjadi boneka yang kapan saja bisa dilabeli oleh sang kakek. Pertunangan atau segala hal kini menjadi satu-satunya pembahasan yang ia dengar. Sementara Choi Ara, gadis asing yang terus menerus mengikutinya kemanapun tampak begitu bodoh di mata Seokjin.

"Apa kau tak merasa jika ini hanya permainan?" wajah itu Seokjin tak menyukainya. Cantik tapi membosankan. Cerdas namun naif. "Apa maksudmu?"

"Pertunangan kita."

Sepertinya asumsi Seokjin itu benar adanya, wanita dengan atasan hitamnya kini tengah tersenyum lugu. Sangat naif ketika wajah cantik itu berbinar manja menatapnya, "Aku senang dengan rencana itu."

Cih, "omong kosong." setelah menyesap minuman jeruk di tangannya, Seokjin lekas beranjak meninggalkan tanya dalam raut sendu di sana. "Kau mau kemana?"

"Menemui kekasihku."

***

"Kenapa belum tidur?" gadis dalam peluk tanpa aba-aba itu terperanjat ketika menjumpai hembus nafas menerpa kulit lehernya. Si pemuda tengah terpejam bahkan ketika tubuh ringan dalam dekap itu berbalik arah, menatap penuh pada eksistensinya. Tak ada jawaban sebab Joohyun bertanya tak kalah cepat, "Kenapa sudah pulang?"

"Bang PD menyuruh kami beristirahat, jadi meeting dilanjutkan besok."

Menakjubkan! Berbohong kini menjadi salah satu passion. Pakaian serta aksesoris sebelumnya telah ia tanggalkan beberapa menit lalu. Semuanya terkendali, Seokjin benar-benar seperti sedang bermain di belakang. Tapi sungguh, ia lakukan hanya agar Joohyunnya tak berpikir macam-macam. Setidaknya untuk sekarang, biarkan hanya si pemuda yang mencari jalan keluar.

"Sudah makan?" gelengan kini Seokjin tampilkan sementara kedua pipi tirusnya tengah dielus lembut. "Aku lelah, ingin tidur saja."

"Kau juga harus tidur, besok kau ada pemotretan." Seokjin berbisik ketika lengan mungil itu memberikan rengkuhan kenyamanan, kembali membuat keduanya menjadi satu tanpa sekat.

"Maaf, bahkan hari ini terlalu singkat." kecup lembut juga tatapan hangat itu Joohyun dapatkan, ketika netranya terbuka yang ia temui hanya lelakinya tengah tersenyum manis. Ada perasaan bersalah di sana, si gadis paham betapa mereka saling menyimpan rindu bahkan ketika keadaan seringkali tak berpihak padanya.

"Kau kan sudah di sini, jadi tak apa."

Sungguh, Seokjin tak menemukan raut kekesalan atau perasaan menuntut di sana. Binar matanya menenangkan seperti biasa. Kecup kedua ia layangkan pada bibir kemerahan itu, tak bergerak hanya ingin melampiaskan kekhawatiran. Sebab setelah ini Seokjin harus siap jika mendadak keadaan sedikit berubah. Entahlah, ia sangat paham bagaimana cara kerja sang kakek.

"Tetap seperti ini." lirihnya. []

Practice Makes Perfect ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang