8. Ajakan Hamish

2.5K 258 19
                                    

Matahari menyinari lembut perkampungan. Cahayanya menyapu jalanan, atap-atap rumah, dan juga rimbun pepohonan. Sisa gerimis tadi malam berjejak pada embun pagi yang bergelayut manja di ujung pucuk dedaunan. Sebagian jalan masih basah dengan cerukan air di berbagai tempat membentuk genangan.

Tubuh Zul menggeliat, menguap pelan. Dia tidur lagi selepas Subuh. Jendela kamar kubiarkan terbuka. Udara segar pegunungan menyeruak memenuhi kamar. Dari jendela itu bisa terlihat jelas gunung dihiasi arakan tipis kabut yang mengambang.

Kabar keberadaan Hamish yang dibilang Zul sedikit menganggu pikiran. Mencoba menerka apa yang dia inginkan saat ini. Lelaki itu selalu datang dan pergi sesuka hati. Selalu sama. Dia akan menghilang saat keberadaannya mulai kusadari memiliki arti.

Aku sudah belajar banyak tentang itu. Sejak meninggalkan Jakarta, aku tak mau berharap lagi pada lelaki itu. Bukankah akan sangat menyakitkan mengharapkan seseorang yang bahkan kita pun tak pernah tahu apa yang dia mau?

"Hamish akan menemuimu, Flo. Percayalah padaku," kata Zul yang terduduk di atas ranjang, seakan mengerti apa yang kuresahkan.

Aku menatap Zul sangsi. Kembali kubalikkan badan menatap jauh pegunungan di atas sana dari bingkai jendela kamar.

"Menurutmu apa yang dia inginkan?"

"Mungkin dia ingin minta maaf. Atau mungkin dia juga sangat kangen sama kamu. Kamu, kan, masih calon istrinya. Who knows, Honey?" sahut Zul dengan berbagai kemungkinan di kepalanya.

Aku membalikkan badan. Mengendikkan bahu tanda meragukan ucapannya. "Atau mungkin dia juga ingin mengakhiri semuanya! Memperjelas hubungan kami, bahwa ucapannya menjadikan aku calon istri itu hanya akting di masa lalu."

Zul terbahak sambil menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Kamu terlalu berpikir jauh, Flo. Kita lihat nanti. Oke?"

Aku tak menyahut lagi. Lebih memilih membantu Ibu menyiapkan sarapan untuk kami bertiga. Ibu sangat menyukai Zul. Dalam sekejap mereka terlihat akrab. Dia bermanja-manja melebih aku anaknya sendiri. Anak itu memang tak banyak merasakan kasih sayang seorang Ibu. Orang tuanya bercerai, dan Zul diurus oleh Neneknya saat Ibunya memilih menikah lagi dan tidak membawa serta dirinya di keluarga baru suaminya.

Siang hari, saat matahari mulai beranjak naik dan mulai menghapus jejak embun dedaunan, sebuah sedan Ferrari berwarna merah cabai berhenti di halaman rumah. Menghentikan sejenak obrolan seru kami di ruang tamu. Zul terperanjat, menatapku sekilas, lalu menyibak tirai tipis jendela.

"Itu dia Hamish datang, Flo!" teriak Zul dengan wajah Girang.

Aku dan Ibu saling berpandangan. Ibu menyusul Zul, mengintip dari balik gorden. Entah Ibu masih mengingat Hamish atau tidak. Dulu, lelaki itu sering datang ke rumah ini.

Dengan cekatan, Zul membuka pintu sebelum diketuk. Melambai ke arah Hamish yang baru membuka pintu mobil, lalu menghambur ke luar menyambut lelaki itu seakan dia sendiri adalah tuan rumah di tempat ini.

"Flo ... Ibu ... lihat ada tamu penting yang ingin bertemu kalian!" berisik Zul dari halaman rumah.

"Temanmu, Flo?" tanya Ibu penasaran

"Ibu masih ingat Hamish temanku waktu SMA?" Aku bertanya sebagai jawaban. Ingin tahu apakah Ibu masih mengingat lelaki itu.

Ibu tampak berusaha mengingat sesuatu. Dahi tuanya mengerut, untuk sejenak kemudian wajahnya berubah cerah. Kepalanya lalu mengangguk beberapa kali tanda mengingat sesuatu.

Tentu saja Ibu akan mudah mengingat Hamish! Teman SMA-ku yang paling kece dan baik hati. Kedatangannya selalu disambut semringah, karena berarti sayurannya akan segera habis terjual dalam sekejap.

Untuk Sebuah Nama (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang