Lelaki Angka Satu

14 2 0
                                    

Untuk ukuran seseorang yang tidak pandai bicara, jatuh cinta adalah masalah besar buatku. Apalagi jatuhnya ke kamu.

Kali pertama perasaan itu datang mengetuk pintu hatiku, penyangkalan adalah hal yang mengakusisi saraf-saraf egoku.
Masa iya sih gua naksir adik kelas, cuma gara-gara dicengcengin pula, yang bener aja?
Kurang lebih begitulah pemikiranku, siapa yang tidak tahu kalau aku adalah seseorang dengan ego setinggi Himalaya? Padahal apa yang salah dengan jatuh cinta pada seseorang yang lebih muda?

Satu tahun berlalu begitu saja, dan aku masih menggenggam pendirian bodohku itu. Lagipula di tahun ajaran berikutnya aku mengira kalau aku jatuh hati dengan pemuda super dingin dari jurusan sebelah.
Tetapi disaat yang sama, saat itu untuk pertama kalinya kita berkomunikasi, lewat fitur pesan pribadi di jejaring sosial, bukan tentang sesuatu yang istimewa sih tetapi itu berkesan buatku.
Ah aku baru sadar, kita jarang sekali berinteraksi. Memandangmu diam-diam dari kejauhan, hanya itu yang sanggup aku lakukan. Dasar pengecut!

Mendadak aku ingat suatu momen paling menyenangkan tentangmu, hari itu seperti biasanya kantin penuh sesak oleh siswa yang hendak mengganjal lapar, aku sendiri sedang menunggu temanku yang berjuang demi mendapatkan beberapa cup air mineral. Saat itu kau sedang mengantre untuk membeli mie instan dan aku berdiri tepat di sebelah kedai tersebut. Sebenarnya tanpa perlu diberitahu teman-temanku sekalipun, aku sudah tahu kalau kau tengah menatapku dengan senyum simpul paling hangat di jagat raya. Jika kau mengizinkan aku untuk berpendapat, itu adalah tatapan paling lembut yang pernah aku dapatkan.
Aku memilih membuang muka, takut ketahuan salah tingkah dan juga sibuk menerka sesuatu. Kenapa kau menatapku seperti itu? Padahal hubungan kita bahkan lebih buruk dari sekadar canggung. Benakku sibuk menerka isi kepalamu, sementara teman-temanku heboh melihat fenomena ini. Lihat! Orang lain saja tahu kalau ini sebuah anomali.

Sekarang, saat semua itu hanyalah sebatas memori yang tidak akan pernah terulang lagi, aku baru menyesal. Kenapa dulu aku tidak balas menatapmu? Barangkali kita dapat berbincang satu-dua hal atau sekadar mengakui rasa dan mengucapkan selamat tinggal. Karena ternyata itu adalah terakhir kalinya aku bersamamu.

Memasuki semester akhir di masa putih-abuku, aku pikir kebingungan ini akan aku akhiri di hari kelulusanku, aku berencana berswafoto denganmu sebagai kenangan sebelum aku pergi meninggalkan fase ini dan melanjutkan hidupku ke fase selanjutnya. Tetapi ternyata semesta berkehendak lain.

Hari itu, Minggu, 11 Februari 2018 sekitar pukul 6 pagi, kabar paling mengejutkan datang mendorongku telak ke dalam jurang nestapa. Pagi itu aku mendapatkan puluhan pesan dari teman-temanku, menyuguhkanku duka yang tak pernah kuduga akan menjadi bagian dalam cerita hidupku. Kata mereka, kau baru saja menghembuskan napas terakhirmu dini hari tadi. Kecelakaan tunggal di depan RSGM. Dirujuk ke tiga rumah sakit. Dan aku tidak dapat mencerna informasi apapun lebih dari itu. Pagi itu langitku tak lagi utuh.

Sepanjang 17 tahun eksistensiku di muka bumi, aku tak pernah mengira akan patah hati dengan cara seperti ini. Aku kacau. Termasuk rencanaku untuk berswafoto di hari kelulusanku nanti. Amarah dan penyesalan menemani dukaku hari itu. Terutama penyangkalan. Siapa pula yang dengan mudahnya menerima kabar bahwa Sang Terkasih kini telah tiada?
Pikirku, dari miliaran manusia yang menghuni bumi, kenapa harus kau yang dipilih semesta untuk diajak pergi? Kenapa?

Keesokan harinya, tepatnya saat aku dan teman-teman sekelasku berada di ruang transit untuk bersiap mengikuti ujian praktik olahraga, video tentang kecelakaan itu menyebar di seluruh penjuru sekolah. Aku yang saat itu sedang kacau sayup-sayup mendengar salah satu temanku berkata untuk tidak menunjukkan video tersebut padaku. Demi mendengar hal itu, aku mendekati salah satu temanku yang lain, ia nampak sangat kalut, masih dengan ponsel yang menyala dalam genggamannya. Aku berbisik memintanya untuk menunjukkan sesuatu di ponselnya, yang aku dapatkan adalah sebuah rekaman video amatir. Aku dapat melihat dengan jelas kau tergeletak di tanah, tampak setengah sadar, sedikit erangan kesakitan, dan kepalamu bercucuran darah. Semuanya terekam jelas dalam ingatan, berputar-putar dengan acak, seperti rekaman kaset rusak.

Rekaman video itu menjadi mimpi buruk yang selalu hadir setiap dini hari.

Bahkan hingga hari ini. Hari ini, tepat 2 tahun kepergianmu. Selama itu pula Bumi Satria memelukmu erat. Selama itu pula parade senja tak seindah hari-hari lalu, karena jingganya mengabu seiring dengan kepergianmu. Selama itu pula aku hidup dalam bayang-bayang penyesalan. Karena hari ketika bumi mengajakmu pergi, aku sadar akan perasaanku bahwa selama ini aku telah jatuh hati padamu.

Tapi semuanya terlambat, karena kepergianmu kali itu adalah untuk selamanya.
Tidak mudah untuk menerima ini semua, tapi apa yang bisa kuperbuat selain mengikhlaskan kepergianmu. Mungkin seperti inilah cara semesta mengajarkanku bentuk lain dari keikhlasan, dengan merelakanmu pergi.
Kini aku telah sepenuhnya merelakanmu pergi dari hidupku, tapi aku tetap menahanmu tinggal di hatiku bersama segenggam kenangan yang tersisa. Jangan pergi dari sana. Kau hanya akan menciptakan lakuna jika melakukannya.

Perihal hidup, tenang saja. Nanti setelah lukanya sembuh, akan aku persilakan seseorang mengisi kompartemen hatiku yang kosong. Sebenarnya aku tidak ingin orang lain yang seperti kamu, aku maunya kamu. Tapi itu jelas mustahil. Biar bagaimanapun hidupku harus tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Sampai jumpa di lain waktu, di lain tempat! Semoga Tuhan berkenan mempertemukan.

Bumi Satria, tolong jaga dia, ya. Beritahu dia, disini ada anak manusia yang sangat merindukannya.

Penuh rindu,
Rasi yang kehilangan bintangnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 02, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Drown In MindWhere stories live. Discover now