“Assalamualaikum, Flo. Eh, tidak. Maksudku … my beautiful Flory.”
My beautiful Flory? Pipiku rasanya menghangat mendengar panggilan seromantis itu.
Hamish membuka pintu kamar dengan senyum sedikit kikuk. Aku baru saja selesai mandi, membersihkan badan dan wajah penuh make up sisa riasan pengantin tadi siang.
Ya, kami sudah menikah. Hamish sudah resmi menjadi suamiku. Setelah perenungan panjang, kuputuskan untuk menerima ajakan nekad Hamish. Laki-laki itu telah mengisi sebagian besar memori otakku. Aku ingin mempercayainya. Membangun pernikahan dengan penuh cinta bersamanya.
Pernikahan itu dilakukan secara sederhana saja. Dilaksanakan di Masjid Pesantren milik Abi atau pamanku yang juga menjadi wali pernikahan. Hamish bilang, resepsi suatu saat akan diadakan di Jakarta. Setelah semua keluarga menerima pernikahan kami.
“Kemarilah!” Hamish duduk di sisi ranjang, menatap lembut ke arahku yang masih terduduk kaku di depan meja rias.
Aku menghampiri Hamish, duduk di sisi kirinya. Wajah Hamish berbaur dengan pendaran cahaya lampu kamar yang terlihat terang. Jantungku berdegup kencang saat pandangan kami bertemu.
“Kamu tahu kapan aku jatuh cinta sama kamu, Flo? Saat pertama kali kita bertemu. Waktu kamu terlihat cuek dan menggemaskan dengan seragam putih abu. Mengenalmu setahun itu adalah masa terbaik yang aku punya.”
Aku kembali mengingat masa-masa itu. Saat Hamish selalu menjadi teman terbaikku.”Tapi, kenapa waktu itu kamu tiba-tiba menjauh dan pergi?”
“Karena aku menyesal tak bisa menahan lebih lama tentang perasaanku. Aku tahu tak tepat untuk mengatakannya waktu itu. Selain itu, Ayahku di Jakarta sakit keras. Dia memintaku pulang. Aku kuliah di Jakarta lalu melanjutkan studi di Inggris. Aku menyibukkan diri dengan belajar, termasuk belajar kembali tentang agama kita. Saat itulah, aku bisa sedikit melupakanmu. Dan aku berjanji, kalau suatu saat menemukanmu, aku akan menawarkan cinta yang suci dalam ikatan halal bernama pernikahan.”
Hamish meraih kedua tanganku, menggenggamnya erat. “Bagaimana denganmu?”
“Aku tak pernah menyadari perasaan ini sebelum akhirnya kamu benar-benar menghilang. Dan aku tahu bahwa rasa kehilangan itu bukan hanya karena kamu adalah seorang teman, tapi juga karena ….”
“Cinta?” Hamish menyelesaikan kalimatku yang menggantung di udara.
“Apa mencintai seseorang sebelum menikah itu dosa?” tanyaku kepada Hamish.
“Kalau cinta itu dosa, tak mungkin perasaan itu diciptakan oleh Allah untuk manusia. Yang dosa itu bukan cinta, tapi jalan yang dipilih atas nama cinta. Kamu tahu kisah Ali dan Fatimah? Para sahabat banyak yang datang kepada Rasulullah, menawarkan diri untuk memperistri Fatimah. Termasuk Ummar. Tapi Rasulullah menolak. Beliau tahu bagaimana sifat dan tabiat putrinya. Yang ia tunggu adalah sosok lain yang sepadan dengan putrinya.
Sampai akhirnya, ketika semua sahabat mundur, Ali datang memberanikan diri. Ali adalah sosok yang dianggap paling pantas bersanding dengan Fatimah. Dan pada malam pengantin, Ali dan Fatimah saling terbuka tentang perasaannya. Bahwa sebelum menikah, mereka telah memendam rasa. Tapi dipendamnya rasa itu sampai akhirnya mereka dipertemukan oleh-Nya dalam ikatan pernikahan. Indah, bukan?”
Ali dan Fatimah. Kisah yang juga pernah kudengar dari kajian Ummi di Pesantren. Dua sosok agung yang kisahnya abadi. Cinta mereka menjadi panutan, walaupun kisah rumah tangga mereka tidak dihiasi limpahan kemewahan. Ali adalah salah satu sahabat dari 10 orang yang dijamin masuk surga dengan profil paling sederhana. Dia bukanlah seorang pengusaha seperti Abu Bakar atau pun Ustman. Ali hanya seorang pemuda miskin yang cerdas dan pemberani. Ahli strategi perang dan terpelihara keimanannya sejak usia masih belia. Rasulullah sendiri yang menjadi guru utamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Sebuah Nama (Lengkap)
RomanceFlo dipertemukan kembali dengan Hamish pada saat karier keartisannya tengah terpuruk. Lelaki yang pernah menjadi teman SMA-nya itu sangat berbeda dengan yanga ia kenal dahulu. Namun, siapa sangka pertemuan itu justru membawanya kepada jalan baru yan...