31.
Banyak hobi Wendy yang hanya berjalan singkat, Chanyeol tidak mengira bahwa perempuan itu juga bisa cepat bosan untuk hal-hal tertentu.
Hobinya mengumpulkan bunga segar, menyatukan berbagai warna dan jenis dalam satu pot, ia kira hanya bakal bertahan sebentar.
Namun Chanyeol salah. Tiga minggu setelah tidak bertemu, gara-gara tur keliling Asia dan sedikit bagian Eropa, Chanyeol menemukan Wendy masih menggeluti hobi yang sama. Ketika Chanyeol pulang, mengendap-endap memasuki dapur dan meninggalkan tiga kopernya di ruang tengah, ia mendapati Wendy sedang mencuci bunga-bunga segar yang ia potong-potong tangkainya.
Chanyeol menciumnya langsung di depan bak cuci, tiga minggu bukan waktu yang sebentar.
Wendy beraroma mawar, sedikit jasmin, dan Chanyeol merasakan jari yang ditutupi plester luka, yang menjamah pipinya. Barangkali karena duri mawar, atau pisau, atau mungkin gara-gara gunting.
"Welcome home, Darling."
32.
Jalan ini akan berakhir di pelabuhan, begitu yang dikatakan peta di ponsel mereka. Sayang sekali, hari sudah gelap, dan mereka terlalu terlambat untuk menyaksikan matahari terbenam. Wendy bilang dia ingat adegan-adegan dan setting di salah satu buku milik Haruki Murakami. Sebuah tempat yang jauh dari kota, sebuah pelabuhan, yang bagi Wendy setelah membacanya membuatnya mendapatkan kesan seperti kedamaian di tengah gejolak. Katanya lagi, seperti berada di dalam perahu, dengan nyaman menikmati hidup dengan makanan yang cukup, tetapi ombak sedang mengombang-ambingkan perahu tersebut.
"Pelan-pelan saja, Sayang."
"Jalannya licin. Iya, tahu," jawab Chanyeol ringan.
"Bukan itu."
Chanyeol melirik. Jarum penunjuk kecepatan menurun pelan-pelan.
"Seperti dalam perahu. Bersantailah. Pelabuhannya akan tetap berada di sana. Kita sudah terlalu terlambat untuk matahari terbenam ... jadi lebih baik kita nikmati malam saja di sana."
33.
"Dulu, waktu kecil, aku percaya, setiap pagi ada seorang peri yang membangunkan semua bunga matahari."
Chanyeol menyunggingkan senyum kecil. "Saat masih gelap, mereka bangun duluan, lalu berbisik pada bunga matahari, begitu?"
"Kurang lebih." Wendy menyusuri jalan di antara bunga-bunga. "Aku percaya peri sampai usiaku sembilan tahun."
Chanyeol berusaha mengimbangi langkahnya. "Setelahnya?"
"Kadang-kadang aku mengingat banyak fantasi masa kecilku sambil menganggapnya konyol."
Lelaki itu tertawa.
"Tapi tanpa fantasi-fantasi seperti itu, kurasa kita tidak bisa jadi orang dewasa yang kreatif. Yang seperti itu adalah jembatan."
"Hmmmm." Chanyeol meraih tangan Wendy. Mereka pun berjalan bergandengan. "Kau berhenti percaya pada peri-peri sampai umur sembilan tahun, ya."
"Iya. Kau pernah percaya dengan hal-hal begitu? Kakakmu mungkin sering bicara hal-hal seperti itu di depanmu?"
Chanyeol diam sebentar. "Kalau kubilang aku masih percaya hal-hal seperti itu sampai sekarang, bagaimana?"
"Oh, itu hakmu. Tidak ada larangan bagi orang-orang dewasa untuk memiliki fantasi anak kecil. Hal-hal seperti itu adalah penyeimbang untuk dunia kita yang sudah rumit sekali." Wendy mengangguk-angguk, dia mengayun-ayunkan tangan mereka berdua yang bertaut. "Peri seperti apa yang kau percayai?"
KAMU SEDANG MEMBACA
dear, embrace
FanfictionSenyuman Chanyeol terkembang. "Sayang, aku mau bilang sesuatu." "Oh, ya, silakan." "Aku pulang." (Chanyeol tersenyum tipis. Memberi kejutan pada Wendy sekarang seolah-olah sudah menjadi sebuah kebiasaan.)