Solo, 2018
Hujan kembali turun pagi ini—lebih lebat dari hari-hari sebelumnya—meski awan terlihat cerah, suara gemuruh Guntur saling bersahutan. Ku eratkan jaket tebal yang membungkus tubuhku, akhir-akhir ini suhu udara menurun drastis. Hampir saja daya tahan tubuhku menurun jika ibu tidak selalu mengingatkan untuk selalu banyak minum air mineral.
Ku lirik jam yang tertera pada layar ponsel, 06.15. Lima belas menit sudah aku hanya berdiri di teras rumah yang tak kunjung reda. Mobil ayah sedang berada di bengkel, "kenapa tidak naik taksi online saja?" Berulang kali pertanyaan yang sama dilontarkan oleh ayah dan ibu. Bukan aku tak mau, hanya saja jarak gerbang masuk dengan gedung sekolah sangat jauh. Apa aku harus membawa payung? Ah itu sangat merepotkan.
Ponselku bergetar, terlihat nama Fatih yang muncul di layar kunci. Teringat beberapa hari yang lalu aku melakukan hal nekat kepada Fatih. Sampai sekarang, aku masih merasa sangat malu dengan apa yang kulakukan itu.
Fatih :
Bolos aja yuk?Aku membulatkan mataku ketika membuka pesan dari Fatih. Ku masukkan kembali ponselku kedalam saku jaket. Kembali menunggu hujan dan memikirkan bagaimana caranya bisa sampai ke sekolah tepat waktu. Beruntung hari ini adalah hari Jumat, jam pelajaran akan mulai pukul tujuh pagi.
"Loh Lana belum berangkat juga?" Ucap ibu dengan payung di tangannya. "Udah naik taksi online aja deh udah ibu udah pesen lima menit lagi sampai kok. Atau jangan-jangan kamu pengen dijemput sama cowok yang tinggi itu?"
Aku mematung terdiam apakah yang ibu maksud, "Fatih?"
Ibu menganggukkan kepala antusias, "enggak lah! Lagian dia rumahnya nggak searah sama jalan ke sekolah...."
"Kamu aja yang gengsi, kan ?" Tuduh ibu dengan wajah mengintimidasi. "Sebenarnya kamu juga mau kan? Hayo ngaku!"
"Ah ibu apaan sih, enggak Lana ga berharap gitu kok," sergahku menolak pernyataan ibu.
Tin Tin!
"Nah kan udah Dateng," ujar ibu dengan semangat. "Nih payungnya, hati hati ya!"
Ibu memberikan payung dan melambaikan tangan ke arah mobil hitam yang terparkir di depan gerbang. Dengan segera ibu menarik tanganku untuk segera menuju mobil, "saya titip anak-anak saya ya... Saya sudah bayar pakai non tunai."
Sopir taksi tersebut mengangguk membalas ucapan ibu. Tunggu, sebelumnya ibu bilang, "Anak-anak?"
"Iya, udah buruan kamu masuk. Nanti kamu terlambat masuk sekolah!" Titah ibu membukakan pintu mobil bagian penumpang.
Aku menghela nafas pelan, hanya berangkat ke sekolah seperti akan tertinggal jadwal penerbangan pesawat. Aku bersalaman kepada ibu dan segera masuk. Hujan ini bertambah lebat, bersyukur ibu memesankan aku taksi online.
"Sesuai maps ya kak." Aku membulatkan mataku terkejut, "Loh Fatih?!"
***
Aku kesal bukan main kenapa harus Fatih yang selalu datang ketika hujan turun. Dia datang dengan segala cara yang tak pernah ku sangka. Seperti pagi ini misalnya.
"Alana kamu beneran datang dengan Fatih?" Ujar Mala dengan segala keingintahuannya.
"Iya mau gimana lagi?" Balasku. "Lagian mepet juga waktunya, kalau bukan ibu yang maksa mungkin aku lebih memilih bolos sekolah."
Mala menggelengkan kepalanya takjub. Bahkan kami menjadi perbincangan satu sekolah dan menjadi gosip terhangat pagi ini. Seluruh mata mengarah kepadaku yang berjalan beriringan dengan Fatih.
Aku menghela nafas pelan, "sebenarnya aku sudah terbiasa dengan hadirnya Fatih."
Mala bergumam, mencerna kata-kata yang baru saja ku lontarkan. "Maksudnya kamu mulai nyaman berada di sekitar Fatih?"
"Bagaimanapun Fatih membawa jawaban yang aku butuhkan selama ini."
"Juna?"Mungkin aku terlalu jahat jika memanfaatkan Fatih sebagai jembatan untukku meraih jawaban Juna. Aku terikat janji dengan Fatih bahwa aku tidak akan menuntut jawaban darinya. Tapi dia juga berjanji akan memberiku jawaban bukan?
Fatih tiba dan duduk di bangku depanku, "Lana jawaban selanjutnya ada pada tempat yang akan kita kunjungi nanti. Jadi, mau tak mau kau harus ikut denganku."
Bagaimanapun aku tidak membawa sepedaku hari ini. Dan ibu juga sudah berpesan bahwa Fatih akan mengantarku pulang sore ini. Aku tak memiliki alasan untuk menolaknya. Sedangkan aku juga sangat menginginkan jawaban itu. "Ya ya... Sesuka hatimu."
Fatih menyunggingkan senyum kemenangan.
***
"Kita ngapain sih disini?"
Tepat sepulang sekolah kami berjalan—bukan ke arah jalan pulang—menuju taman kota. Dan disinilah kami berada di bangku taman yang sudah tidak layak digunakan.
"Kamu nggak ingat tempat ini?"
"Taman kota."
"Balita juga tau ini taman kota."Aku melihat Fatih sekilas. Tentu saja aku tau tempat apa ini. Disinilah aku dan Juna bertemu, saling beradu pandangan ketika dia bermain bola di lapangan.
Tapi lapangan itu sudah beralih dan dipindahkan di stadion kota. Kini taman kota ini memiliki air mancur yang cantik di tengahnya. Semuanya tampak berbeda. Lebih banyak bunga hias yang cantik disini.
"Jadi ada apa disini?"
"Kursi itu cuma satu, berada di antara pohon besar yang tidak di rubuhkan."Fatih berjalan menyusuri kursi reyot yang berkarat. Aku melihatnya dari jauh, memilih melihat arah lain yang kembali mengingatkanku pada Juna.
"Lana ayo kemari!"
Aku berjalan mengikuti perintah Fatih dengan malas. Apa indahnya kursi reyot itu selain Juna yang pernah duduk disana?
"Juna dulu sering duduk disini bukan? Bersama buku-bukunya?"
Aku menganggukkan kepalaku, membenarkan apa yang Fatih ucapkan. Setiap akhir pekan aku kemari dan selalu mendapati Juna duduk dengan buku miliknya.
"Bukan setiap akhir pekan ia kemari, tapi setiap sore."
Aku termangu mendengarkan perkataan Fatih. Untuk apa Juna kemari setiap hari? Bukankah ia bilang hanya datang ketika akhir pekan? Dan itupun akan mengabariku terlebih dahulu.
"Juna menyimpan segala kejutan yang tak dimiliki orang lain. Ia menyimpannya sendiri, bahkan terlalu banyak kejutan hingga ia bingung kejutan mana yang akan ia tunjukkan.
"Kamu tidak akan sadar bukan jika Juna menyimpan sesuatu disekitar sini?"
Aku masih berdiri di sebelah Fatih yang dengan tenang duduk di bangku taman tersebut. Memikirkan jawaban apa yang berusaha Fatih berikan?
"Lama sekali kau berfikir, tunggulah disini aku ingin membeli minum!"
Ah sungguh aku merasa sulit sekali berfikir. Jawaban apa yang berusaha Juna berikan? Atau kisah apa lagi yang Juna berikan namun belum tersampaikan.
Aku duduk di tempat Fatih sebelumnya, kembali memutar waktu ketika aku dan Juna menikmati golden hours. Tepat saat matahari hampir tenggelam separuhnya aku merasakan ada sebuah gulungan sampah plastik yang terdapat di rongga kursi taman.
Tunggu, gulungan ini bukan sampah. Aku berusaha mengambil gulungan plastik yang sudah sedikit koyak berada dalam rongga besi di bangku tersebut.
Tanpa sadar aku mengingat perkataan Juna sehari sebelum kami berangkat ke Jogja.
"Apapun yang kau mau akan kau temukan di tempat yang sama. Karena hanya disana aku meninggalkan sebuah jawaban."
***
TBC :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku [ H I A T U S ]
Novela Juvenil[PENGUMUMAN!] Akan berubah alur namun dengan tokoh yang sama !! 'Aku Tentang diriku yang tak mudah beralih, Dirimu yang Jauh melukis jarak, Dan Dirinya yang berjuang mengikis waktu tuk terus bercerita. Karena jarak memiliki arti yang berbeda, entah...