AWAL #1

3 0 0
                                    

Aku menatapnya lekat-lekat, memandanginya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia tak berubah sama sekali, masih sama seperti dahulu. Wajahnya yang tampan, kulitnya yang putih, matanya yang indah, dan senyumannya yang manis. Bahkan perilakunya pun masih sama. Pandanganku tak ingin lepas darinya. Apa aku jatuh cinta lagi dengannya? Oh Tuhan, aku harap tidak. Aku sudah berusaha untuk menjauhinya, dan menenggelamkan perasaanku.

Tapi mengapa hati ini terasa bergetar lagi ya.

Aku terhanyut dalam lamunanku sampai tidak sadar kalau temanku memanggil.

"Mizu! Mizu! Woi Mizu!" panggil seseorang dari kejauhan. Tapi aku tidak mendengarnya, karena aku masih menikmati pemandanganku yang sudah lama tak kupandangi. Tanpa sadar ternyata ada seseorang yang berteriak di belakang telingaku, dan membuatku sedikit terkejut.

"Ara!" geramku dengan raut yang masih terkejut.

"Budek lu!, Daritadi gue panggil-panggilin tapi lu gak ngerespon. Makanya punya kuping tuh dipakai," omelnya seraya mencubit salah satu telingaku.

"Maaf, gue gak denger."

"Yaampun gue udah kenceng kali teriaknya masa gak denger. Kayaknya beneran budek deh lu," Periksa sana ke THT

"Sorry, sorry, tadi gue lagi ngelamun," jelasku.

"Ngelamunin apa sih emang?" tanya Ara yang sedikit kepo.

"Bukan apa-apa," jawabku yang tak ingin Ara tahu jika sejak tadi aku sedang memperhatikan seseorang.

Karena instingnya Ara kuat, dia tidak percaya begitu saja dengan jawabanku. Ia langsung melihat kearah depan yang dimana itu tempat seseorang yang sedang kupandangi tadi berada. Ara melihat satu sosok yang membuat ia langsung menyengir seakan ia mengerti sesuatu.

"Ooh jadi itu toh yang sejak tadi buat lo ngelamun," Ujar Ara seraya meledekku. "Kangen lo ya sama dia? Cieee bilang aja kalau kangen," ledeknya lagi hingga membuatku sedikit malu.

"Apasih, Ra. Enggak! Siapa yang kangen, orang enggak," bantahku.

Aku tidak tahu apakah aku benar-benar merindukannya.

"Gapapa kalau misalkan kangen juga mah. Lagian ada apa sih dengan kalian? Kok tiba-tiba lo udah jarang main sama kita, terus gue juga udah gak pernah liat kalian jarang berdua lagi deh. Kalian lagi berantem ya?," Ara mencoba menginterogasiku. Aku bingung mau jawab apa. Karena memang aku gak pernah kasih tahu Ara tentang hubunganku dengan lelaki itu yang sedang tidak baik sejak beberapa bulan yang lalu.

Hmm aku berpikir sejenak, mencari alasan yang tepat untuk Ara, agar ia tidak penasaran lagi.

"Jangan-jangan lo ditolak lagi ya?" tebak Ara membuatku terbelalak kaget. "Tuh kan bener, kayaknya ditolak lagi, simpul Ara dengan mudahnya, padahal aku belum bilang apa-apa . Wah, kurang ajar nih si Dafan, sok kecakepan banget jadi orang".

"Emang dia cakep kan, Ra," Celetukku.

"Iya sih emang. Udah lo tenang aja, nanti gue yang ngomong sama dia. Gue omelin dia. Masih aja dia munafik sama perasaan sendiri," Ucap Ara yang sedikit rada kesal.

"Gak usah, Ra," cegahku berharap Ara mengurungkan niatnya itu.

"Selow, Zu. Udah yuk kita masuk aja," ucap Ara yang pergi begitu saja dengan santai dari hadapanku.

Ia berjalan masuk ke dalam kamar kosan grup kami yang bernama Abudhabi. Sedangkan aku yang sejak tadi menahan perasaan degdegan, dan ditambah degdegan pula saat Ara bilang ia ingin berbicara dengan Dafan soal hubungan kami. Aku hanya bisa menepuk-nepuk dadaku sembari menghela nafas yang panjang, berharap degdegan ini menghilang.

-oo-

Hari ini pertama kalinya aku akan ikut makrab kelas bersama teman-teman lamaku yang berada di tingkat satu. Karena sebelumnya itu aku gak pernah ikutan, dan sekarang aku coba untuk bergabung bersama mereka sebelum kami lulus. Saat ini aku berada di tingkat empat semester tujuh, dan tahun depan aku akan lulus kuliah, semoga saja aku lulus. Jadi, aku menganggap ini bentuk party goodbye dengan mereka. Kami akan menginap di salah satu villa daerah puncak, dan akan melakukan beberapa aktivitas yang pastinya akan seru.

Aku berdiri di depan pintu kamar kosan tetangga sembari menunggu abang grabcar datang. Kami kesananya memakai kendaraan online, tapi sebagian yang lain terutama anak laki-laki naik motor. Saat aku sedang menunggu sembari memainkan ponselku, ada seorang laki-laki yang menghampiri dan berdiri disampingku. Aku sadar akan kehadirannya, lalu aku sedikit mendongak kearahnya untuk mencari tahu siapa orang tersebut. Ternyata laki-laki itu adalah dia.

Dia seseorang yang seharusnya aku hindari, dia yang seharusnya tak boleh ada disampingku, tapi kini dia malah tersenyum dihadapanku tanpa ada canggung sedikit pun. Aku tidak tahu harus merespon seperti apa, karena kini tubuhku seperti membeku dan tidak dapat berbicara bahkan tersenyum. Karena senyumannya itu sungguh membuatku ingin berkata aku merindukanmu. Tapi, aku tak bisa berkata seperti itu, jadi aku hanya berkata dalam hati saja. Untuk menghentikan pikiran liarku, aku langsung mengalihkan pandanganku kearah yang lain.

"Gue senang akhirnya lo bisa ikut," ucapnya yang memulai pembicaraan. Aku menahan diriku semaksimal mungkin agar tidak merespon ataupun tersenyum. "Makasih ya lo udah mau ikut, gue jadi bisa ketemu lo lagi deh," ucapnya lagi seraya tersenyum, dan itu benar-benar membuat hatiku yang beku menjadi luluh. Kini aku tidak bisa menahan senyumanku lagi, aku tersenyum seperti orang bodoh.

Mobil yang akan kami tumpangi sudah datang, dan Dafan pun pergi menghampiri mobil tersebut. Sedangkan aku masih tersenyum sembari melihat langkah kakinya yang semakin jauh dari tempatku berdiri.

Tapi, aku sedikit tidak paham apa maksud dari perkataan Dafan tadi.

Apa dia merindukanku?

B.E.S.T.I.ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang