Farhan sudah berangkat satu jam lalu. Namun, entah kenapa Niken merasa tidak tenang. Ada perasaan mengganjal dalam hatinya.
“Lindungi suamiku, Tuhan....”
“Ma! Itu wajannya nanti kebakar!” tegur Naura dengan suara yang sedikit keras.
Refleks, sang mama langsung mematikan kompor. Ia memang berniat untuk memasak sarapan untuk kedua anaknya, tetapi entah kenapa tiba-tiba ia teringat pada suaminya.
“Mama mikirion apa, sih, Ma?” tanya Naura yang sudah berada di sebelah Niken.
“Mama kepikiran ayah kamu.”
“Udah, Ma ... kan Ayah cuma pergi buat reuni.”
“Iya ... tapi kan kamu tahu sendiri, Mama nggak pernah pisah sama Ayah.”
“Ya, udah ... sana Mama duduk aja, biar Naura yang masak.”
“Baiklah. Dira udah bangun?”
“Putra Mama kapan, sih, libur-libur bangun pagi.”
Niken tersenyum. Benar juga. Bungsunya memang pelor, apalagi jika hari libur.
Hingga malam, Niken mencoba menghubungi Farhan. Sayang, tidak aktif. Ia menyesal, kenapa tidak menyimpan nomor teman Farhan satu pun. Sebagai istri, Niken memang bukanlah orang yang penuh kecurigaan. Jadi, ia memberikan ruang privasi penuh untuk suaminya. Terutama dalam hal ponsel. Tidak pernah sekalipun ia menyentuh ponsel Farhan. Sekarang, dirinyalah yang akhirnya merasa kalau menyimpan nomor teman sang suami itu sangat penting.
***
Sabtu pagi di tempat berbeda, Farhan sampai di rumah Nadia bersama kedua temannya. Ia datang menggunakan taksi, karena pria itu memang mengatakan pada Niken jika dirinya akan menumpang mobil temannya. Dan Niken pun percaya saja.
Di rumah Nadia sudah ada ketua RT setempat dan beberapa warga. Tampak juga seorang yang menggunakan baju koko lengkap dengan sarung dan pecinya. Dia adalah pemuka agama tempat Nadia tinggal.
Farhan masuk ke rumah. Disalaminya semua orang yang ada. Nadia juga sudah ada di tengah mereka dengan baju gamis berwarna putih.
“Bagaimana Pak Farhan, sudah siap?” tanya Pak RT. Farhan memang sudah menemuinya beberapa hari yang lalu.
“Sudah, Pak.”
“Untuk dua saksinya?”
“Mereka, Pak.” Farhan menunjuk kedua temannya.
“Silakan, Pak Kyai,” ucap ketua RT pada bapak pemuka agama.
“Apa Mbak Nadia ini benar sudah tidak memiliki wali?” tanya pemuka agama itu.
“Iya, Pak Kyai.”
“Baiklah. Saya akan menikahkan kalian.”
Acara ijab kabul dimulai. Dengan satu tarikan napas, Farhan lancar mengucapkannya. Tidak sampai sepuluh menit, Farhan dan Nadia sudah sah menjadi suami-istri di mata agama. Semua mendoakan yang terbaik untuk mereka.
Farhan memang memutuskan untuk menikahi sahabat istrinya itu. Ia tidak mau terus-menerus melakukan dosa dengan wanita yang belum resmi menjadi istrinya. Nadia pun tidak mempermasalahkan sekalipun statusnya hanya istri siri. Dia juga berjanji, tidak akan meminta Farhan untuk meninggalkan istri dan anak-anaknya. Kepada Niken, ia akan mengatakannya, tetapi tunggu waktu yang tepat.
***
Usai salat dzuhur, Farhan dan Niken pergi ke luar negeri untuk berbulan madu. Bukan Farhan yang mau, tetapi Nadia-lah yang menginginkan itu. Biaya pun, Nadia yang mengeluarkan. Ia tidak mau dicap sebagai wanita yang hanya menginginkan harta Farhan. Bukan itu yang dia cari.
Untuk Nadia, ia sudah beberapa kali ke luar negeri. Karena mantan suaminya bukan orang sembarangan. Dia bos besar yang ketika masih pacaran pun, sudah mengajak Nadia ke beberapa negara. Hanya saja, ketika bercerai, Nadia tidak mau sepeser pun menerima uang pemberian mantan suaminya. Karena itulah, ia hanya memiliki rumah sederhana dan sepeda motor yang ia beli dengan tabungannya. Sedangkan Farhan, ia baru pertama kali. Sejak lajang dan sesudah menikah dengan Niken, ia hanya mengunjungi tempat-tempat di Indonesia.
Menjadi pengantin baru untuk yang kedua kalinya bagi mereka, membuat mereka tidak merasa canggung ataupun gugup. Selama di pesawat, Nadia tidak pernah menjauh dari tubuh Farhan sedikit pun. Farhan juga terus memeluk tubuh istri keduanya itu.
***
“Mas ... kenapa ponsel Mas tidak aktif? Apa sama sekali tidak ada sinyal?”
Sepanjang malam Niken tidak bisa memejamkan mata sedetik pun. Ia terus mencemaskan keadaan sang suami. Tidak ada satu pesan apalagi panggilan masuk ke nomornya.“Tuhan ... jagalah suamiku. Berikanlah petunjuk untukku agar aku merasa tenang.”
Ingin membuang kecemasan dalam dirinya, Niken keluar dari kamar putrinya. Ia memang memutuskan untuk tidur bersama sang putri, sesuai pesan Farhan.
Rumahnya begitu sunyi, wanita itu merasa sangat kesepian. Sampai akhirnya, karena lelah ia tertidur dalam posisi duduk di sofa ruang keluarga.
***
Hari keempat Farhan pergi. Niken belum juga mendapat kabar. Sejak suaminya pergi, tidak sesuap nasi pun ia makan.
“Makan, Ma ... sedikit aja. Naura nggak mau Mama sakit,” bujuk Naura.
“Mama nggak bisa makan, Sayang.”
“Paksa, Ma. Kalau Mama sakit, gimana?”
“Kan Mama masih minum, Nak.”
“Minum beda sama makan. Tuh, liat! Mama nggak nyadar mata Mama udah cekung gitu?” Kurang makan dan kurang tidur memang membuat berat badan Niken menurun. Wajahnya juga menjadi sedikit tirus.
“Mama mencemaskan Ayah, Ra.”
“Ma, percaya samaNaura. Ayah baik-baik aja, Ma.”
“Perasaan Mama nggak enak, Ra.”
“Itu hanya perasaan Mama karena terkalu mencemaskan Ayah. Dan rasa cemas Mama itu, terlalu berlebihan, Ma....”
Niken tetap tidak mau makan. Sampai akhirnya di hari kelima, ia harus dilarikan ke rumah sakit.
***
Farhan sampai di rumah pukul lima sore. Rumah sepi. Pintu juga dalam keadaan terkunci.“Ke mana mereka?”
Farhan ingat, selama pergi, ponselnya ia matikan. Ia berencana akan mengatakan pada Niken kalau tidak ada sinyal. Begitu diaktifkan, muncul ratusan pesan dari Niken. Namun, ia fokus pada pesan terakhir yang dikirim oleh Naura.
[Yah, Mama masuk rumah sakit]
Tanpa membalas, Farhan kembali meninggalkan rumah menggunakan taksi. Tidak Naura beri tahu pun, ia sudah tahu di rumah sakit mana Niken berada.
Tbc.
24.01.20
Repost, 20.03.24
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Hati (Lost)-Poligami Series 5
RomanceCerita ini udah tersedia di Google Play Book. Yang kutahu, cinta itu tidak melukai. Yang kutahu, cinta itu tidak mengkhianati. Yang kutahu, cinta itu selalu mengasihi. Saat aku tidak lagi menjadi alasanmu untuk membuka mata setiap pagi, untuk apa la...