Seminggu di Portland bersama gadis yang bukan pacarku.
Sebuah premis yang mengundang pikiran buruk bukan? Ya, aku tahu. Tapi sebelum itu, mari kutegaskan satu hal. Dia yang bergelung nyaman dan menghabiskan napas serta tawanya denganku selama seminggu ini bukanlah kekasih orang-- aku tidak merebutnya dari siapa pun, okay?
Kami hanya lah dua orang yang saling mencintai.
Setidaknya itu lah yang kupikir tentang hubunganku dengannya. Aku selalu mengatakan "Aku mencintaimu" tiap aku menatap matanya, sejak dia hendak menutup mata hingga keesokan harinya saat ia membuka mata.
Aku mencintainya lebih dari apapun. Kupikir itu sudah jelas. Aku tak butuh pengakuan dari orang lain, menuliskannya di atas kertas atau menggandeng tangannya di keramaian lalu berteriak, "Kami adalah sepasang kekasih!"
Oh, tidak. Yeji bahkan tidak akan setuju kalau aku sampai nekat melakukan itu-meski aku akan dengan senang hati melakukannya.
Aku tahu dia mencintaiku, meski dia tak sesering aku mengucapkan kata cinta.
Matanya yang berbinar merefleksikan bintang-bintang dan senyum cantik itu seperti tatapan seorang perempuan yang jatuh cinta, kasmaran, merah muda, dan hangat. Aku tak perlu meragukan Yeji-ku.
Cinta kami bukan lah sesuatu yang perlu diucapkan dengan lisan-- melainkan tindakan.
"Engh.."
Dia melenguh risih sewaktu aku jahil mengusap perutnya dari dalam selimut.
Momen saat aku memeluknya di pagi hari begini adalah satu dari daftar-hal-hal-yang-ingin-kulakukan-dengan-perempuan-yang-kucintai. Bangun kesiangan, mengabaikan waktu, bergelung nyaman di dalam selimut dan tak pedulikan burung-burung yang berkicau-kicau di balik jendela.
"Selamat pagi, Love."
Aku mengecup pundaknya. Tiga empat kali pada pundak polosnya yang tidak terhalang tali bra. Aku suka menciumi tiap inci tubuh Yeji seperti itu adalah hobiku sejak lama. Biasanya ia akan melenguh geli tiap aku menghujaninya dengan ciuman, dia akan tertawa-tawa namun tidak pula menghentikanku untuk terus mendaratkan bibir.
"Pagi, Hyunjinie." dia mengedip-ngedipkan matanya pelan, bersuara dengan suara serak khas bangun tidurnya lantas berbalik badan untuk mendapat satu pelukan ekstra dariku. Aku menciumi ubun-ubunya agak lama. Menghirup aroma Yeji yang tidak bisa kutemukan di mana pun, entah di parfum atau pun shampo yang berjejer di kamar mandi. Hanya pada Yeji aroma khas itu ada. Dia punya aroma yang membuatku ketagihan selain aroma kopi buatannya.
"Aku jadi ingin kopi," kataku tiba-tiba.
Dia mendongak untuk menatapku dengan wajah yang polosnya tanpa riasan.
"Eum? Sekarang?"
Minum kopi yang dibuatkan olehnya juga termasuk hal-hal yang ingin kulakukan selain cuddling di pagi hari. Aku tahu kemampuan Yeji memasak jauh di bawah rata-rata dan aku tidak mempermasalahkan itu. Menemukan perempuan yang jago masak adalah anugerah, tapi Yeji yang apa adanya adalah berkah. Apa aku berlebihan? Ha-ha aku tahu. Kau tidak bisa protes atas apa yang keluar dari mulut pria yang sedang kasmaran.
Tapi meski begitu, aku bersyukur Yeji tahu caranya menakar gula yang pas untuk kopi pagi. Setidaknya ada satu hal yang bisa kuminta tanpa khawatir akan mendapatkan rasa yang keasinan atau kegosongan-seperti masakannya yang sudah sudah. Di kebanyakan waktu dia akan bersikukuh untuk membuatkanku sarapan, makan siang atau makan malam dan semuanya akan berakhir dengan kekacauan. Dia akan merengut dan menatap sedih pada pan di atas kompor yang menghitam arang, telur mata sapinya yang kuning dan putihnya berserakan, atau buburnya yang terasa hambar di lidah. Sejak saat itu, dia tidak mau lagi memaksakan dirinya untuk masak dan aku menurut saja pada keinginannya. Aku mau melakukan apa yang dia mau.
KAMU SEDANG MEMBACA
tattoos together - [hhj x hyj]
Fanfiction2Hwang | Oneshoot | PG 17 | Romance | Humor Ide membuat tato pasangan itu datang begitu saja setelah Hyunjin selesai memotongkan kuku Yeji. "If it's not forever, the at least we'll have tattoos together."