04 : "Aku tahu kita berdua tak punya peluang untuk (kembali) bersama."

1.8K 161 27
                                    

Lubna Diwanggani mengenal Rafaz Malik Kavindra sejak mereka duduk di bangku Sekolah Menengan Pertama. Lubna mengangumi Raf lebih dari siapa pun, tetapi tak pernah menunjukkannya sedikit pun. Bagi Lubna, perihal cinta bukahlah prioritas utama saat usianya masih muda. Ia memiliki cita-cita yang ingin diraih dan butuh perjuangan lebih. Kebersamaan mereka terjalin semakin lama saat keduanya menjejaki Sekolah Menengah Atas dengan berada di kelas yang sama.

Keduanya memang sudah sering berinteraksi sejak sama-sama berada dalam kepengurusan OSIS ketika di SMP. Saat itu, Raf menjabat sebagai ketua OSIS dan Lubna menjadi salah satu stafnya. Lubna mengenal Raf sebagai laki-laki yang baik, cerdas, dan berdedikasi tinggi. Sama seperti dirinya, Lubna tahu Raf memiliki mimpi yang besar—menjadi Habibie kedua yang menciptakan rumus dan berkontribusi dalam dunia penerbangan. Meskipun mimpi Raf itu bertolak belakang dengan mimpinya yang ingin mengenalkan budaya Indonesia di luar negeri lewat tari, tetapi Lubna merasa ada bagian yang bersinggungan antara dirinya dengan Raf. Perasaan itu membuat Lubna ingin selalu berada dalam domain Raf ... atau mengundang laki-laki itu berada dalam domainnya.

"Lubna," panggilan Raf membuyarkan pemikiran Lubna. Dari jauh, ia melihat Raf berjalan mendekat sambil melambaikan tangan ke arahnya. Lubna berjalan mendekati Raf. Mereka berdua berhenti di tengah-tengah lapangan sekolah yang saat ini sedang ramai oleh siswa dan para orang tua yang membawa buku rapor.

"Raf? Kenapa?"

Raf tersenyum kecil. Sebuah senyum yang sangat sulit diartikan oleh Lubna.

"Raf? Kenapa?" Lubna bertanya lagi. Ia juga ikut gugup. Meskipun sering mengobrol dengan Raf di kelas, baru kali ini Lubna merasa sangat dekat. Ia tidak bisa menafikkan fakta bahwa hatinya bergetar lantaran Raf berdiri di hadapannya, bertindak canggung, dan membawa suasana ini semakin serius.

Raf menarik napas pendek. "Teman-teman bilang kalau aku laki-laki pengecut karena nggak pernah berani mendekati perempuan. Mereka juga bilang kalau aku terlalu serius dan fokus belajar. Dan, ya ... itu memang benar. Kalau aku punya pacar, aku nggak akan mengajak pacarku jalan-jalan setiap pekan untuk menonton film, makan, atau mengunjungi tempat hiburan. Kalau ada waktu luang, aku akan mengajak pacarku ke toko buku dan belajar bersama. Aku juga lebih suka makan masakan rumah. Jadi, mungkin aku akan mengenalkan pacarku ke Ibu supaya Ibu mengajak dia memasak bersama di akhir pekan. Kalau sedang seleksi olimpiade atau lomba, sudah pasti aku akan mengutamakan hal itu karena berkaitan dengan masa depanku. Kalau Ibu meminta aku untuk menemaninya pergi saat aku sudah berjanji akan menemui pacarku, aku juga akan lebih memilih Ibu."

Lubna masih terdiam. Ia berusaha memproses semua kata-kata yang keluar dari mulut Raf. "Oke ... terus ... apa hubungannya sama aku?"

Lubna mendengar helaan napas ringan Raf disertai ekspresi wajah laki-laki itu yang terlihat sangat canggung. Wajahnya memerah perlahan. "Siapa pun perempuan yang jadi pacarku pasti akan bosan ... tapi sepertinya kamu enggak."

Satu kalimat itu membuat Lubna menahan napasnya sejenak. Ia merasakan gemuruh di dadanya memompa cepat. Perempuan itu memaksakan senyumnya kemudian tertawa kecil untuk menutupi suasana canggung yang tercipta.

"Menurut aku, kamu perempuan yang justru akan bangga saat pacarnya sibuk belajar untuk lomba. Aku juga tahu kamu akan mengutamakan mimpi-mimpi kamu untuk menari di luar negeri. Asal kamu tahu, aku juga sama sekali nggak masalah dengan itu. Aku pasti akan support kamu."

Lubna menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sudah merona. Ia sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini. Perempuan itu tersenyum kecil. "Oke ... terus?"

"Menurut kamu gimana?"

"Gimana apanya?"

"Menurut kamu, kita bisa saling mendukung sebagai ... pasangan? Aku dukung kamu menari, kamu dukung aku terus berprestasi. Mungkin ini terdengar terlalu serius, tapi aku punya komitmen tinggi, Na. Aku mencari dan memilih perempuan yang akan aku jadikan teman hidup. Meskipun masih jauh waktunya, aku bukan cuma mau menjadikan kamu seorang pacar."

Persinggahan Sementara [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang