Part 5

28 2 0
                                    

"Apakah kamu akan menolak sebuah permintaan dari orang yang kamu sayangi?"
-Riana-

Seperti weekend biasanya, Riana pasti akan pergi bersama teman-temannya, bukan Vania atau teman sekelasnya. Dia pasti akan pergi untuk refreshing , bukan ke Club' malam atau tempat-tempat yang lebih berbau negatif. Riana hanya kumpul bersama teman-temannya untuk berkumpul, bercerita, dan lain sebagainya pada siang hari.

"Yana kamu mau pergi?" Tanya Abah Rahmat

"Iya abah, Yana mau pergi kayak biasanya" Jawab Riana yang sudah siap untuk pergi

"Ganti baju kamu, jangan pakai baju kayak gitu" Perintah Abah

"Abah.. ini nggak terlalu seksi kok, ini kan cuma rok yang setinggi lutut nggak diatas lutut terus lengannya juga nggak kependekan kok"

"Udah lah sana kamu pergi aja Na" Ucap Rini yang membendung agar tidak terjadi sebuah perdebatan yang hebat.

Riana pun segera keluar rumah, entah sampai kapan dia terus mengabaikan nasehat dan permintaan dari orang tuanya. Teman-temannya sudah menjemputnya. Dia keluar dengan cukup kesal hingga salah satu temannya bernama Jesicca bertanya kepada Riana.

"Lo kenapa Na? Kesel gitu mukanya"

"Gue nggak kenapa-kenapa kok" Jawab Riana dengan cukup cuek.

∆∆∆

Beberapa menit kemudian, Telah sampailah di rumahnya Jesicca, di sana sudah ada Tiyo, Sonia, Karina, Adit, dan Yoga. Rutinitas itu sudah seperti ajang berpacaran, kecuali Riana yang tidak punya pacar dari diantara mereka. Obrolan terus berlanjut dengan bercanda, tertawa, dan lain sebagainya. Disitu Riana seperti seorang pendamping yang melihat para teman-temannya berpacaran, saling bermesraan dengan pasangannya masing-masing. Dia sebenarnya merasa bosan ketika berada diantara mereka ketika berpacaran tidak jelas.

Ponsel Riana berdering, namun ia mengabaikan ponselnya yang terus berdering tanpa henti.

"Ponsel Lo bunyi tuh" Ucap Karina yang memberi tahu Riana, walaupun sudah tahu ponselnya berbunyi

"Biarin palingan dari Teh Rini" Jawab Riana yang terus mengabaikan bunyi ponselnya

"Siapa tahu penting Na, Lo nggak akan pernah tahu kan kalau Lo nggak Nerima teleponnya?" Ucap Yoga pacarnya Sonia

"Udahlah nggak penting, palingan gue disuruh pulang supaya nggak kemalaman pulangnya, Teh Rini itu masih menganggap gue kaya bayi, padahal Abah sama Ibu gue aja nggak se-Protektif dia" Ujar Riana dengan sedikit meringis dan tidak memperdulikan teman-temannya yang mencoba menasehatinya.

∆∆∆

Malam telah tiba, sekitar pukul 19.30, Riana pulang ke rumah dengan diantarkan pulang oleh Sonia, Karina, Adit, Yoga, dan Tiyo dengan menggunakan mobil. Saat ia tepat berdiri didepan rumahnya, Riana melihat suasana yang begitu ramai karena banyaknya orang-orang yang sedang berada di rumah orang tuanya, adanya tenda yang berdiri, serta adanya bendera kuning yang tertancap di samping gerbang. Ia terus bertanya-tanya dengan berjalan pelan, ia melihat-lihat orang di sekitarnya yang merasa sedih dan terharu, Dia pun telah masuk ke dalam rumah, Rini yang sedang menangis dan memeluk Ibu Maryam, melihat kedatangan Riana dan Rini pun langsung menggeret Riana ke dapur dengan menggandeng tangan Riana cukup keras. Dan Rini menampar Riana dengan cukup keras hingga Riana menghadapkan wajahnya ke sebelah kiri dan memegang pipinya yang terasa cukup sakit dan perih.

"Kenapa kamu pulang? Seharusnya kamu jangan pulang, kamu pikir apa hah? Kamu pikir aku nelpon kamu untuk menyuruh kamu pulang tanpa ada kejadian apapun?" Ucap Rini yang marah dengan Riana.

"Ya, Aku memang menyuruh kamu untuk pulang, tapi kali ini beda Na, Karena Abah udah nggak ada untuk selama-lamanya, dan abah udah dikuburkan, Kamu nggak akan pernah bisa melihat Abah sedikit pun" Lanjut Rini yang terus marah kepada Riana. Riana hanya terdiam dengan wajah yang seperti kosong pikirannya, matanya yang berkaca-kaca, dia tidak tahu harus berkata apa, dia berdiri lemas serasa ingin pingsan atau menjatuhkan badannya ke lantai.

"Dengar ya kamu, Kamu akan menyesal ketika terus mengabaikan ucapan orang yang lebih tua dari kamu" Rini yang terus mengomel dengan menunjuk Riana dengan jari telunjuk hingga membuat Riana menatap Rini dengan wajah yang menahan rasa kesal.

"Rini, sudah Rin, ini bukan momen yang tepat untuk berdebat seperti ini" Ucap Ibu Maryam yang menghampiri  Rini dan Riana di dapur dan mencoba menenangkan Rini yang marah-marah kepada Riana.

Rini pun pergi dengan menggandeng Ibu Maryam meninggalkan Riana yang masih berdiri. Riana menjatuhkan badannya karena lemas hingga ia terduduk di lantai. Dia memegang kepalanya dan menangis, merasa sangat sedih karena ia tidak akan bisa bertemu dengan ayahnya lagi. Ia menyesali, seharusnya dia berada disamping abahnya ketika abahnya menghembuskan nafas terakhirnya dan menerima telepon dari Rini yang sebenarnya mengabari bahwa abahnya telah tiada.

∆∆∆

Pada malam harinya, suasana di rumah setelah meninggalnya Abah Rahmat dan perdebatan yang terjadi antara Rini dan Riana, menjadi cukup tegang. Riana yang terus berada di dalam kamarnya yang terus merenungkan hal yang sangat menyedihkan di dalam hidupnya saat ini.

"Laila, tolong antarkan makanan ke kamarnya Yana ya" Suruh Ibu Maryam karena ia tahu kalau Riana belum makan.

"Baik Bu" Jawab Laila dengan menyiapkan makanan ke nampan dan segera memberikan ke Riana.

Riana mengabaikan suara pintu kamarnya yang diketuk oleh Laila asisten rumah tangga di rumah itu. Riana seperti tidak merasa lapar, walaupun perutnya terus berbunyi atau biasa orang banyak menyebutnya dengan cacing berdemo karena kelaparan. Laila pun kembali ke dapur dan memberitahu ke Ibu Maryam.

"Bu, Neng Yana nggak mau buka pintu kamarnya" Ucap Laila. Ibu Maryam hanya terdiam mendengar ucapan Laila, dan pergi menuju ke kamarnya. Ibu Maryam merasakan kesedihan dua kali lipat, pertama, ia kehilangan suami, kedua dia sangat merasa sedih ketika saudara kandung, yaitu Rini dan Riana tidak akur karena hal ini. Beliau tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengembalikan kedamaian di dalam rumah ini.

*vote, follow, comment, and share

Lebih Baik (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang