Hey,
Will I be able to see you again?
At the end of this long journey?/7second/
See You Again milik x mengalun begitu saja dari sudut-sudut kafe menghipnotis para pengunjungnya. Air bekas hujan yang masih menetes di kaca besar depan kafe itu yang samar menampakkan orang-orang berlalu lalang di trotoar. Cuaca dingin sekali, tapi semua orang masih saja mementingkan urusan mereka daripada memanjakan tubuh didalam ruangan hangat bersama secangkir kopi yang masih mengepul. Tapi, segelas besar vanilla latte yang tentu saja hampir tandas di hadapan nya itu sudah dingin. Rasanya cukup sudah kafein untuk hari ini. Mungkin di kantor nanti ia harus menetralkan kafein ini dengan secangkir herbal mint.
Laptopnya masih menyala, namun si empunya malah betah memandang jalanan yang membasah sore itu. Genangan yang membuat kecipak saat seseorang berjalan melewatinya menjadi tontonan yang menarik dadakan. Sampai Converse abu-abu yang hampir rusak itu melewati trotoar depan kafe.
Mengapa dari sekian banyak sepasang Converse dengan pemiliknya, harus milik orang itu?
Matanya memicing seraya tangannya yang mengepal kuat. Tanpa sadar ia berdiri dari kursinya dan berlari keluar kafe. Suara lonceng di pintu kafe yang berdenting keras itu membuat membuat pengunjung kafe meliriknya. Ia berdiri tepat di trotoar, menatap punggung seseorang yang terus berjalan menjauh. Tanpa sadar, tiba-tiba saja mulutnya berteriak, "Radi!"
Ups..
Tak disangka, sosok yang dipanggil menoleh. Seketika pikirannya buyar. Ia meruntuki mulutnya yang ceroboh. Dengan bodohnya, setelah orang itu melihat wajahnya yang memias dan malu, ia malah menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia memberanikan mengintip dari celah jari-jari panjangnya itu. Demi apapun, sosok tadi benar-benar menghilang. Rupanya ia tak di pedulikan. Siapa pula orang yang mau menghiraukan orang berteriak di trotoar namun malah menutup wajahnya.
Dengan wajah malu bercampur kesal ia menggeram. Ia benar-benar menyesal telah merelakan egonya dengan mengucap nama orang itu. Namun yang dipanggil ternyata sama sekali tidak memedulikannya.
Raditya Adi Mahardika.
Lelaki jangkung tadi yang berjalan tanpa peduli converse rusaknya menginjak genangan air bekas hujan di trotoar. Telinga yang tersumpal earphone serta totebag kain hitam yang tergantung di bahu tegapnya.
"panggil gue Radi."
"kenapa? Bukannya lo dipanggil dika?"
"lo nggak boleh. Lo bukan siapa-siapa gue."
Kesal nggak sih, lo? Kenapa ini orang belagu banget sih. Dasar sok ganteng!
"oh. Okey. Gue juga nggak berminat jadi siapa-siapa lo." ucap gue ketus.
Ah, kesal banget. Kenapa tiba-tiba teringat kejadian waktu itu. Kenapa pula ia tadi melakukan hal memalukan. Seketika ia jijik dengan dirinya sendiri. Moodnya hancur. Ia menghentakkan kakinya ke dalam kafe. Menutup laptopnya mengambil ransel dan mengemas barang lainnya. Dengan langkah cepat ia keluar dari kafe itu. Hawa yang dingin rasanya sudah mental karena tubuhnya yang panas dan wajah yang memerah. Ia terus berjalan, menyebrangi zebracross seenaknya, tidak peduli dengan kendaraan yang terpaksa mengerem mendadak dan klakson yang berbunyi nyaring bersahutan untuknya.
Bus tiba lima menit setelah ia sampai di halte terdekat dari kafe. Sial, busnya ramai. Ia mendongak, melihat monitor keberangkatan bus selanjutnya. Dua puluh lima menit lagi. No. Terpaksa ia memasuki bus yang sesak. Ia berdiri berhimpitan dengan sekelompok anak perempuan yang berisik. Mereka terus mengoceh, padahal sudah beberapa kali ia menghembuskan napas kuat, mendengus serta menyindir mereka supaya diam. Ia terlalu malas untuk berceramah pada bocah-bocah ini.
Keadaan bus yang semakin membuatnya kesal itu membuat pikirannya melalang buana kemana saja. Ingatan-ingatan itu semakin liar setelah dipancing dengan kehadiran subjeknya. Kenapa masa lalu nggak bisa dihapus? Kesal nggak sih kalau yang kepikiran disaat seperti ini malah sesuatu yang sebenarnya nggak pernah mau lagi kita pikirin. Kenapa ia nggak bisa mikirin hal-hal yang menyenangkan saja? Seperti minggu kemarin yang ia baru saja menghabiskan waktu seharian di pantai bersama rekan sekantornya. Bahkan beberapa menit lalu ia masih bersenandung sambil menyeruput vanilla latte di suasana hangatnya kafe. Tapi orang itu bisa mendominasi cepat pikirannya seperti sekarang. Dasar. Jangan-jangan ia diguna-guna. Hih, seram banget.
Pintu bus terbuka otomatis saat sampai ke halte tujuannya. Saat bus melaju meninggal halte, seketika terlihat bangunan besar yang menjulang hingga lima lantai di hadapannya. Ya. Kantornya berada tepat di seberang halte. Jangan. Jangan tanya mengapa ia ke kantor sore-sore. Jangan h heran juga dengan budaya kantor yang punya shift siang dan malam untuk pegawainya. Jadi bukan hanya security yang terjaga di malam di gedung ini.
Perusahaan ini berdiri lima belas tahun yang lalu. Berkembang pesat dan tumbuh menjadi perusahaan besar namun tetap sederhana. Ia bergabung di tahun ke-tujuh. Kalau dihitung-hitung, ia sudah delapan tahun menjadi bagian dari kelelawar-kelelawar kantor. Hebat. Kantung matanya pun sudah bertambah hampir 6cm.
Kelelawar-kelelawar itu belum datang. Sebenarnya ini memang belum jam masuk kantor. Tapi karena insiden tadi, ia jadi terburu-buru pergi ke kantor.
Di ruangannya, ia menyalakan komputer. Mengecek e-mail ternyata belum ada. Bosan, ia membuka twitter web. Men-scroll nya malas. Tweet-tweet receh pun tidak berhasil membuatnya tertawa. Ia seperti orang yang kesambet. Sampai tiba-tiba, "woy, muka lecek amat. Ngopi dulu sana."
Mas Feri, seniornya. Ia memakai outfit daily nya. Penampilan Mas Feri nggak pernah ngebosenin walau cuma pakai celana bahan warna abu-abu sama baju nya yang cuma beda warna setiap harinya. Mas Feri juga tetap keren walau cuma pakai kaus hitam polos.
"apa sih mas, aku udah ngopi tadi,"
Mas Feri mengangkat alisnya, "masa? Muka lo udah kaya abis liat mantan, sih kelihatannya."
"ah, sial. Udah napa sih mas, nggak usah di bahas lagi!" ujarnya tiba-tiba jadi kesal. Kasihan Mas Feri, nggak tahu apapun, kena semprot.
"ih PMS ya, lo? Sensi amat." cebik Mas Feri, "lagi pula kapan gue pernah bahas ginian sama lo? Hih, sana cuci muka, muka lo sepet banget."
Mas Feri pergi meninggalkan nya gitu aja. Ia mengambil kaca kecil di mejanya. Melihat wajahnya yang ternyata memang terlihat lecek. Padahal, sebelum ke kafe tadi, ia sudah memakai make up tipis. Sekarang ia malah terlihat pucat. Ia memutuskan untuk menelungkupkan kepalanya hingga jatuh di atas lipatan tangan. Tanpa sadar ia terlelap begitu saja di depan komputernya yang masih menyala. Yang tiba-tiba saja memunculkan notifikasi.
Twitter update
@MahardikaRA : udah lama bgt ya setelah hari itu, gue kangen sampe halusinasi di panggil sama lo tadi di jalanan wkwk
/7second/
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Second [1/7]
Short StoryHanya tujuh detik, semua terjadi begitu saja. [On going - Short story]