01 || sadness

303 76 279
                                    

 "Let your tears come, let them water your soul"

 🌹🌹🌹

Ctarr! Ctarr! 

Huaa!Huaaa!

Bunyi petir sekaligus diiringi tangisan seorang anak perempuan yang ditinggalkan dari sebuah rumah kepemilikan Tuan dan Nyonya Dillian di Kota Philadelphia, benar benar memekikkan telinga sang kakak yang tengah sibuk bermain dengan handphone pintar nya  sedari pagi. Axel dan adiknya, Cloe benar benar tidak beruntung di musim salju tahun ini. Kedua orang tuanya sudah beberapa bulan ini bertugas untuk pergi ke German, untuk perjalanan bisnis perusahaan yang akan berkolaborasi dengan pihak di sana. Mengasuh sang adik yang besok genap berumur tiga tahun bukan perkara sulit untuk Axel. Dari kecil juga, orang tuanya pernah beberapa kali melakukan hal serupa. Axel paham betul itu semua dilakukan demi memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan adik kecilnya ini. Lagi juga, masih ada Bibi Liye yang setia memenuhi kebutuhan hidupnya selama orangtua nya sibuk berkutat dalam pekerjaan.

" Shutt! Cloe adik kakak yang paliiing cantik! udahan dong nangisnya! Nanti kakak kalah main,huaa," seru Axel, masih menatap lurus ke arah plasma pintar yang ia mainkan sejak tadi, agak terusik dengan suara  Cloe yang masih saja menangis. Posisi Cloe berada pada pangkuan sang kakak, namun terasa betul betul diabaikan. 

" Axel Addison Dilian! Sudahlah main game nya! bergegaslah untuk segera mandi! Kau belum mandi dari tadi pagi kan? Cloe bisa tertular bau badanmu nanti, " Ah, itu suara Bibi Liye, orang yang telah mengasuh Axel sejak kecil dan bisa dibilang, Axel jauh lebih dekat dengan sang Bibi yang menurutnya, tidak ada hubungan darah dengannya, dibandingkan dengan Ibu kandungnya sendiri. Tentu saja, rasa cinta dan sayangnya terhadap kedua orang tua tidak pernah hilang.

" Tanggung, bi! Tinggal satu putaran lagi! " 

" Tidak ada satu putaran! cepat mandi, Axel," titah terakhir dari Bibi Liye tidak dapat disanggah lagi. Ia sudah berada di depan Axel sekarang. Dengan memasang kedua tangan berada di pinggul pun aksen muka yang kelewat tegas. Sedikit mata yang memicing itu pun adalah kelemahan terakhir Axel. 

" Biar Cloe bibi yang gendong, " ucap Bibi Liye sambil mengambil alih gendongan tangan dari Axel dan membawa Cloe ke ruang makan, tentu saja menyuapi gadis kecil itu untuk makan sore hari ini. " Segera mandi, ingat ? " tegasnya sekali lagi. 

" Iyaaa, bi, " ujar Axel dengan pasrahnya sambil melangkahkan kaki malas menuju kamar mandi di dalam kamar tidurnya. 

" Aduh, ngantuk! mungkin tidur lima menit cukup lah, ya?" gumam Axel pada dirinya sendiri, setelah sampai di kamar dan melimbungkan badan di kasur pribadinya yang empuk dan nyaman. Saking empuknya, ia sampai terlelap lebih dari lima menit dari waktu rencana dan terbuai dalam indahnya mimpi. 

=====

Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Segala macam masakan yang dimasak oleh Bibi Liye sendiri sudah dihidangkan dengan apik di meja makan. Bibi Liye sengaja masak banyak khusus hari ini, karena Orang tua Axel dan Cloe akan kembali dari perjalanan bisnisnya yang cukup lama. Hampir tiga minggu menuju satu bulan. Hampir pula musim salju berakhir. 

Supir pribadi keluarga Dilian, Paman Dion sudah bergegas menuju bandara sejak sepuluh menit yang lalu. Menurut kabar terakhir saat Tuan dan Nyonya Dilian di German , empat puluh lima menit dari sekarang, mereka akan mendarat dan tiba di Amerika. Tentunya, Axel maupun Cloe tidak diberitahu, ingin buat kejutan katanya. 

Bibi Liye sudah merapikan alat makan sesuai dengan kursi makan masing masing, namun sebuah pikiran terlintas dalam benaknya. Dimana Axel? biasanya sehabis mandi langsung turun ke bawah dan bermain dengan Cloe? batinnya. Apa dia sedang belajar di kamar? mungkin aku harus ke kamarnya dan memastikan.

where's hope? [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang