Veronica

21 1 0
                                    

PINGGIRAN ROTI TAWAR DAN GULA PASIR
#PRTDGP

(Kisah Nyata)

1995

Sore itu tampak anak-anak sedang bermain di lapangan luas depan pemakaman umum. Tidak jauh dari lapangan tersebut, terdapat pabrik roti dan kerupuk. Selepas bermain, biasanya anak-anak akan langsung menyerbu pabrik roti. Bukan untuk membeli roti utuh, melainkan menunggu pinggiran roti tawar yang berwarna coklat agak gosong untuk dibagikan kepada mereka.

Ini sudah lumrah terjadi, karena memang si pengusaha pabrik roti tersebut tak ingin membuang pinggiran roti yang akan dibuang. Karena yang dijual mereka adalah roti kupas. Hanya bagian putihnya saja yang akan dijual. Jadi daripada mubazir, roti itu diberikan kepada anak-anak yang pulang bermain dari lapangan.

Aku, bocah berusia 6 tahun, yang tidak mengenyam bangku sekolah TK, karena terkendala oleh biaya sekolah. Namun, aku sudah bisa membaca dan menulis. Itu ku peroleh dari kerja keras mamaku, yang selalu mengajari kami di pagi hari. Mamaku memiliki 3 orang anak waktu itu. Aku kelahiran 1989, adikku yang kedua lahir tahun 1992 dan yang terakhir (saat itu) kelahiran 1994.

Oh ya, namaku Veronica, putri sulung dari seorang pengamen sekaligus tukang semir sepatu. Mamaku berniaga di rumah, berjualan jajanan seoerti warung lainnya. Hanya kebutuhan sehari-hari dan jajanan anak-anak. Maklum, disini jarang ada warung, dan lagipula untuk ke warung mesti ke jalan besar. Banyak mobil disana, itulah yang membuat mama tergerak untuk membuka warung tersebut.

Kembali lagi ke pabrik roti, aku dan teman-teman lainnnya tidak pernah merasa malu untuk ikut mengantri mendapatkan pinggiran roti. Bukan tidak pernah kami makan roti kupas, bisa saja sih, tapi sebulan sekali. Karena ekonomi orangtua kami yang pas-pasan. Adikku, Mayang, akan sangat senang kalau kami hendak ke pabrik roti.

"Kak, ayo kita duluan kesana. Nanti Kak Helen dan Evi duluan kesana. Kita dapat dikit, deh."

"Sabar ya, Dek. Kan masih jam 3 sore. Nanti mereka bagi roti jam 4. Kamu main dulu sana."

"Nggak mau ah, mau nungguin aja."

"Ya udah, kakak cuci piring dulu, ya?"

"Iya, Kak."

Kami sudah biasa terlatih untuk membantu mama mengerjakan pekerjaan rumah, aku mencuci piring, memasak nasi juga menyapu dan mengepel rumah. Sedangkan Mayang, hanya ditugaskan membereskan mainan serta menjaga adik bontot kami, Anggun, yang saat itu berusia 1tahun. Sedangkan mama repot mengurus warung dan memasak untuk makanan kami.

Giliran sore pun tiba, tampak teman-teman sudah memanggil kami.

"Vero, ayo! Gak ikutan ambil roti?"

"Iya, ikut. Tunggu ya? Aku lagi menimba air satu ember lagi." Dulu kami mengambil air dari sumur, harus ditimba dulu, apa ya istilahnya menimba? Intinya menarik air dari dalam sumur menggunakan tali tambang yang diikat kencang ke ember yang sudah mendapat air dari dalam sumur.

"Oke, kita di depan nungguin kamu. Mayang, ayo keluar?" Ajak Kak Susan.

"Iya, Kakak. Mau bilang mama dulu, ya?"

"Oke."

Setelah selesai dengan mengisi penuh air tempayan, aku dan teman-teman segera bergegas menuju pabrik roti.

"Permisi...." Kami kompak bersorak mengharapkan ada yang menjawab salam kami.

"Iya, tunggu sebentar ya, adik-adik." Ucap si Pak Tommy, si pemilik pabrik tersebut. Saking hapalnya jam kami datang, pasti si Pak Tommy sudah mengisi plastik bungkusan putih dengan isi pinggiran roti, kadang dicampur dengan sedikit kerupuk yang sudah hancur.

"Iya, Pak." Jawabku sembari mengomandoi teman-teman yang lain untuk duduk.

Tak lama kemudian si bapak datang dan memberikan kami satu persatu bungkusan plastik.

"Ini untuk kalian, ya? Bagi rata. Ada 6 orang, ya?"

"Iya, Pak." Jawab Kak Susan.

"Pak, ini kerupuknya juga buat kita?" Mayang adikku paling suka dengan kerupuk, makanya terlihat antusias saat melihat bungkusan itu.

"Iya, Nak. Bagi-bagi ya? Maaf cuma hancurannya aja."

"Gak apa-apa kok, Pak. Ini kan bisa dimakan sama nasi nanti dirumah." Jawab Elsa teman ku.

"Ya sudah, kalian hati-hati pulangnya, ya? Ini ada roti rasa coklat 3 potong, kalian bagi rata ya?"

"Makasih, Pak." Jawabku sembari mengambil roti itu. Akhirnya kamipun memutuskan untuk pulang ke rumah. Di perjalanan kami menikmati roti coklat dengan ukuran kecil, karena dibagi untuk 6 orang.

"Nih, buat kamu. Yang ini kamu bagi berdua, ya?" Aku menyerahkan untuk Elsa dan Kak Susan, begitu juga dengan yang lain.

Kami sangat menikmati kebersamaan itu, dimana belum ada ke anggihan teknologi yang merusak otak hingga candu. Kami hanya bermain petak umpat, main gedebong pohon pisang saat hujan, main lompat tali, bola kasti dan kelereng, kadang juga bermain boneka, itu pun boneka yang sudah jelek dan rusak. Pernah kami memungut boneka berbi yang dibuang di tempat sampah komplek perumahan dekat lokasi kami tinggal. Bonekanya masih layak untuk dijadikan mainan kami.

Sesampainya dirumah, orangtua kami juga suka berkumpul bersama di sore hari. Khususnya para ibu-ibu, kadang ngerujak buah mangga dan bengkoang, kadang mereka menemani kami memakan pinggiran roti yang kami dapat dari pabrik roti itu.

"Mama, ini pinggiran rotinya." Aku menyerahkan bungkusan itu ke tangan mama dan segera bergegas mandi bersama adikku, Mayang. Selesai mandi barulah kami berkumpul ngobrol sejenak sambil menikmati pinggiran roti dengan gula pasir yang disediakan mama.

"Kalian sudah pada mandi, Nak?" Tanya mama saat melihat kami sudah celemotan dengan bedak. Maklum, mama mengajarkan kami setelah mandi memakai bedak di muka, meskipun sembarangan alias cemong. Lalu menyisir tapi rambutku dan Mayang. Adikku Anggun masih kecil, jadi hanya mama yang bisa mengurusnya.

"Udah dong, Ma." Jawab Mayang antusias.

"Sini, kita makan roti, ya? Mama sudah siapkan gula pasirnya. Ayo duduk." Sebenarnya saat mama mengucapkan kalimat itu, ada raut sedih disana. Sedih karena belum bisa memberikan kami roti sungguhan dengan aneka rasa seperti coklat, stroberi, keju dan kelapa. Tapi kami bersyukur dan menikmati pinggiran roti itu dengan sukacita.

"Asyik." Mayang terlihat membuat bola-bola pinggiran roti itu lalu menempelkan kepada gula pasir, agar menempel dan menghasilkan rasa manis yang nikmat juga enak. Begitu juga denganku, kami menikmati kebersamaan tersebut.

"Sisain buat bapak kalian, ya, Nak?"

"Iya, Mama." Aku menjawab kompak dengan adikku, Mayang.

Begitulah kisah masa kecil yang aku alami dulu, kini setiap aku membeli roti tawar yang ada pinggirannya, aku pasti mengingat masa-masa itu. Masa dimana aku hanya mampu menikmati pinggiran roti secara gratis tanpa membelinya. Sekarang, jangankan roti tawar, selainya saja aku mampu membelinya.

Aku bersyukur dengan pengalaman di masa kecilku. Pengalaman berharga yang bisa ku ajarkan untuk anak-anak ku nanti.

Kini umurku sudah 30tahun, artinya 25 tahun lalu, aku pernah makan pinggiran roti dan gula pasir.


Cibarusah, 26 Januari 2020

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PINGGIRAN ROTI DAN GULA PASIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang