"Bu, Bapak sebenarnya ada di mana?" Putraku tiba-tiba bertanya, napasnya masih engap-engapan sehabis berlari di jalan setapak di sebelah rumah kami.
Aku mematung, bingung, linglung, tak ada angin tak ada hujan, putraku mendadak ingin mengetahui tentang bapaknya. Sebenarnya sudah kukatakan kepadanya bahwa lelaki itu telah merantau ke ujung Sumatera, lalu dikabarkan hilang tiada kabar sewaktu terjadi bencana di wilayah itu. Konon, pria itu sudah wafat, lalu dikuburkan masal bersama para korban-korban tsunami yang malang. Pada saat itu anak semata wayangku percaya dengan ucapanku, tetapi kenapa sekarang dia bertanya kembali tentang bapaknya?
"Kata teman-temanku, Bapak tidak mati, tapi Dia setan!" Aman berteriak histeris kepadaku. Aku terkejut mendapati perubahannya. Cepat sekali putraku itu tumbuh. Sembilan tahun yang lalu dia cuma bayi mungil yang masih dalam gendonganku. Sekarang dia sudah mampu meneriakiku.
"Kau putra Ibu. Tidak peduli siapa pun ayahmu, kau anak kesayangan Ibu," aku memberinya pengertian. Tatapannya begitu penasaran. Sisi putih yang melingkari bola hitam di wajah itu memerah. Aku yakin, putraku pasti tengah sakit hati menghadapi tuduhan anak-anak kampung ini.
"Tapi aku ingin tahu siapa Bapak, Bu? Apakah dia setan atau manusia? Apakah dia masih hidup atau sudah mati? Jika ia sudah mati, bawalah aku ke makamnya," tanya putraku sekali lagi. Dia mengusap matanya.
Kali ini aku tersentak mendapatkan pertanyaan bertubi-tubi darinya. Bagaimana caranya aku menceritakan semua kebenaran kepada anak ini? Tentang bapaknya adalah lelaki bejat yang sangat mengerikan. Hampir aku tidak ingin mengenang sedetik saja wajah makhluk menjijikkan dan kotor itu.
Bagaimanapun aku belum lupa. Pada suatu tengah malam aku memaksakan diri berjalan sendirian dengan membawa obor di tangan, menyusuri jalan-jalan kampung nan gelap dan sepi. Kala di tengah perjalanan, aku kehilangan keseimbangan dan rubuh tepat di bawah pohon sukun.
Andai kamu tahu, Nak. Malam itu ibumu ini basah kuyup dan duduk bersandar di pohon itu, tanpa ada bantuan berkas cahaya sedikit pun. Aku nyaris putus asa. Aku bahkan meraung-raung ingin mati saja ketika perutku terasa sangat nyeri. Darah merembes dari pangkal pahaku. Dingin. Kepalaku pening, aku putus asa dan tak tahu harus melakukan sesuatu.
Sebelum mataku melemah dan akhirnya benar-benar menutup, aku sekilas melihat sesosok perempuan tua berambut putih datang menghampiriku. Aku tidak ingat jelas wajahnya. Namun, aku masih mendengar suara beratnya berbicara kepadaku.
"Aku akan menolongmu." Itulah kata-kata terakhir yang aku dengar dari si nenek misterius itu. Esoknya, aku terbangun di pagi buta dengan seorang bayi tengah tertidur nyenyak di pangkuanku. Dan aku baru sadar kalau aku melahirkan di atas pusara seseorang. Aku ingat, wajah orang-orang kampung begitu ngeri saat mereka menyadari tanah tempatku duduk adalah makam Nyai Jontro, seorang dukun beranak. Konon, wanita itu dahulu terkenal karena sering membantu persalinan para genderuwo.
Kini, sembilan tahun telah berlalu begitu cepat. Akan tetapi, orang-orang kampung kami masih memercayai bahwa aku kawin dengan genderuwo. Semua ini karena aku tak memiliki suami atau pria yang dekat denganku semasa aku masih gadis. Mereka barangkali berpikir, bagaimana caranya aku bisa bunting? Dan bodohnya, selama bertahun-tahun kubiarkan orang menuduhku. Lagi pula, bukankah lebih mengerikan lagi bila kukatakan pada mereka yang sebenarnya terjadi? Semua ini kulakukan demi keselamatanku dan putraku.
"Katakan siapa yang menyebutmu anak genderuwo itu?" tanyaku. Kulepaskan gagang sapu.
"Sunan, Bu. Dialah yang berkata begitu sehingga semua orang ikut-ikutan mengataiku. Katanya, ia mengetahui rahasia itu dari bapaknya."
Aku meneguk ludah. Sesak dadaku mendengar jawaban itu. Si bejat itu benar-benar tak tahu diri. Kurang ajar. Setelah menghancurkanku, kini ia menyasar putraku. Tak akan kubiarkan lagi dia sewenang-wenang kepadaku. Aku akan mengakhiri semua kebohongan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Genderuwo
HorrorSri, namaku Sri. Di pelosok jahanam ini banyak yang memanggilku wanita jejadian. Enam tahun lamanya aku disisihkan dari kehidupan orang-orang Kampung Tanjung. Dahulu Emak pernah bercerita kepadaku. Setelah kabar aku melahirkan di atas makam Nyai Jon...