"Makasih ya, Le."
Aku menoleh. Senyumnya terkembang. Manis.
"Makasih buat apa?" tanyaku.
Wikan sedang menyetir. Kami baru saja mengantar Khanza pulang. Menyerahkannya kembali pada sang induk, Hana.
Hana sempat menampakkan wajah redupnya menyambut kami. Menurutnya, kami terlalu cepat mengembalikan anaknya. Sepertinya dia lebih senang jika ada yang berlama-lama membawa anaknya. Dasar, Hana!
"Makasihnya sama Hana aja, kan dia yang udah minjemin anaknya ke kita," lanjutku.
"Gunting kuku kali ah, dipinjem-pinjemin." Wikan terkekeh.
"Kamu geh yang pertama pake istilah itu."
"Trus apa dong harusnya? Rental?"
Seketika, tawa kami pecah. Seirama.
Dalam suasana seperti ini, aku selalu berharap Tuhan bersedia melambatkan laju waktu. Aku selalu ingin berlama-lama menikmati tawa dengan Wikan. Mengisi waktu penuh canda riang tanpa beban. Ah, apa-apan sih aku?
Sepanjang jalan, obrolan-obrolan receh pun bersahutan ringan. Aku kembali menemukan Wikan yang sempat hilang. Sempat asing. Sempat tak ku kenali. Sempat ingin ku hindari.
Di sudut terdalam hatiku, pernah terbit rasa kuatir bahwa aku akan benar-benar kehilangan Wikan. Entah mengapa, rasanya menakutkan. Aku takut. Teramat takut kehilangannya.
Aku tidak tahu, mengapa kehilangannya terasa begitu menakutkan. Bukankah aku tidak pernah menggenggamnya? Lalu, mengapa ada takut untuk melepasnya? Tak seharusnya takut itu ada.
"Le .... "
Suara Wikan membuyarkan lamunku. Aku segera menoleh ke arahnya. Mengangkat sebelah alis.
"Kamu seneng gak hari ini?"
Ah, pertanyaan macam apa ini? Bagaimana dia bisa mengajukan pertanyaan jebakan begini? Menjawab pertanyaannya dengan anggukan, aku malu. Menjawabnya dengan gelengan, tentu saja itu dusta. Ah!
Otakku rasanya beku. Tidak mampu berpikir. Kesulitan mencari jawaban. Haruskah aku jujur saja? Tapi, kenapa rasanya malu sekali?
"Beberapa pertanyaan memang tidak perlu dijawab dengan penjabaran kata-kata yang gamblang. Tidak melulu harus diutarakan lewat gerakan bibir. Kadang, sudah terbaca dari warna pipi." Wikan tersenyum menang.
SKAT MAT. Aku kalah telak. Menyebalkan sekali bisa kecolongan begini. Aku pasti semakin terlihat bodoh saat ini. Dengan pipi yang memerah dan tanpa sepatah kata tercurah.
Wikan masih melebarkan senyumnya. Aku melempar pandang ke sisi kiri jalan.
Sebuah lagu mengalun merdu, tiba-tiba. Wikan yang menghidupkan musik. Mengiringi laju mobil dan debar di dada. Debar yang bukannya tersamar oleh alunan musik, malah semakin tak beraturan karena musik dan liriknya adalah favoritku. Lagu salah satu Band Indonesia yang lagunya tidak tergerus perkembangan zaman.
Datanglah sayang, Dan Biarkan Aku Berbaring
Di Pelukanmu,walaupun 'tuk Sejenak
Usaplah Dahiku Dan Kan Kukatakan Semua
Bilaku Lelah Tetaplah Di Sini
Jangan Tinggalkan Aku Sendiri
Bilaku Marah Biarkan Ku Bersandar
Jangan Kau Pergi Untuk Menghindar
Rasakan Resahku Dan Buat Aku Tersenyum
Dengan Canda Tawamu,walaupun Tuk Sekejap
Kar'na Hanya Engkaulah Yang Sangggup Redakan Aku
Kar'na Engkaulah Satu-satunya Untukku
Dan Pastikan Kita Selalu Bersama
Kar'na Dirimulah Yang Sanggup Mengerti Aku
Dalam Susah Maupun Senang
Dapatkah Engkau Selalu Menjagaku
Dan Mampukah Engkau Mempertahankanku ...
Lagu Sheila on 7. Lagu yang sering kuputar. Lagu favoritku. Favorit Wikan. Favorit kami.
***
Wikan selalu pulang sebelum aku tidur. Semakin rajin mengajakku berwisata malam untuk memenuhi kebutuhan perut.
Tidak ada makan malam romantis dalam sejarah kebersamaan kami. Tidak ada candle light dinner. Tidak ada waiter-waitress yang melayani kami di restoran mewah. Tidak ada.
Yang ada hanya abang-abang tukang nasi goreng di pinggir jalan. Dengan gerobak ala kadarnya. Dengan wajan lebar di atas api yang menyala-nyala. Dengan keramah-tamahannya menyapa, lalu Wikan akan mengajaknya mengobrol ini-itu. Panjang sekali. Banyak sekali yang dibahas. Kemudian, mereka tertawa. Aku pun turut serta.
Atau, kami ke warung tenda, menikmati pecel lele, pecel ayam, bebek goreng, yang Bapaknya selalu membuatkanku dua gelas es teh bahkan sebelum aku memintanya. Dengan Wikan, beliau akan bertanya minuman yang diinginkannya. Kadang, Wikan cukup dengan segelas air putih. Kadang es jeruk. Kadang jeruk hangat. Kadang es teh-ku yang diminumnya setengah gelas. Wikan tidak pernah konsisten perihal minuman. Berbeda denganku, yang lemah tanpa es teh.
Kadang, kami hanya menikmati jagung bakar sembari mendengarkan cerita si Bapak penjualnya. Mendengarkan kisah-kisah haru yang dituturkan dengan begitu indah tanpa keluhan. Si Bapak yang karena kecelakaan kehilangan kaki kirinya, kehilangan pekerjaannya, lalu ditinggalkan istrinya, jatuh, bangun, jungkir-balik menghadapi skenario Tuhan atas hidupnya, tak pernah sekalipun beliau mengeluhkan nasibnya. Bibirnya selalu tersenyum. Tatapannya selalu teduh. Bersyukur. Bersyukur. Bersyukur. Tak jarang, aku dan Wikan ternganga lalu berkaca-kaca setiap mendengarnya bercerita. Lalu, bersyukur sudah dipertemukan dengan orang baik seperti beliau. Wikan selalu membayar jagung bakar dengan uang lebih, menolak kembalian. Beliau pun menolak menerima. Namun, perdebatan perihal uang kembalian, selalu dimenangkan Wikan. Baginya, pelajaran yang kami dapatkan dari cerita si Bapak, jauh lebih mahal.
"Allah itu ngasih kita cukup. Kalo menurut Allah, Bapak cukup dengan satu kaki ini, ya sudah, cukup."
Ah, aku sering tertampar mendengar kata-kata si Bapak. Aku makhluk banyak dosa, tapi selalu minta sesuatu yang berlebihan. Malu sekali rasanya.
"Jangan tinggalkan Qobliyah Subuh ya, itu lebih baik daripada dunia dan seisinya." Begitu si Bapak sering membisiki Wikan saat berpamitan.
Dan, begitulah makan malamku. Di pinggir jalan. Di atas hamparan tikar. Di bangku kayu panjang tanpa sandaran. Di balik kain putih spanduk. Di bawah tenda ala kadarnya. Di samping Wikan.
Sesekali, kami pun bertempur di dapur bersama. Meski lebih seringnya, dia menarik paksa agar aku bersedia ke dapur dengannya.
Dia amat hapal, betapa aku yang hobi makan tapi tetap kurus ini, tidak tertarik dengan dapur. Aku menyukai semua yang sudah diolah, matang dan terhidang di piring. Bukan yang masih harus dikupas, dipotong, diiris, dihaluskan, diaduk, digoreng, ditiriskan, dan lain-lainnya. Sungguh, aku tidak tertarik. Dan sekali lagi, itu bertolak belakang lagi dengan Wikan.
Mungkin memang ada hubungannya dengan momen ketika kami akan dilahirkan. Ibunya sedang berkutat di dapur saat tiba-tiba perutnya melilit hebat. Bahkan, saking dahsyatnya gejolak di dalam perut, Ibu tak kuasa menahan untuk dibawa ke klinik bersalin. Alhasil, Wikan lahir di dapur. Membayangkannya saja, mataku pedih. Teringat irisan bawang merah. Ah!
Sementara, aku dikandung oleh perempuan yang selama sembilan bulan, hobi berkicau pada suaminya jika sehari saja tak bertemu cemilan. Karena kecintaannya pada makanan itulah, di usia kandungan yang sudah sembilan bulan, Bunda tetap kekeuh mengajak Ayah ke pasar malam. Di antara deretan penjual makanan. Di antara lalu lalang para pengunjung pasar malam itulah Bunda tiba-tiba kontraksi. Beruntungnya, Bunda sempat dibawa ke klinik. Jadi, aku tidak lahir di tengah kerumunan orang di pasar malam. Alhamdulillah.
Selain urusan dapur dan makanan, Wikan menyempatkan banyak waktu untuk duduk di sampingku menonton drama korea. Dan karena itu, konsentrasi ku dalam menonton buyar. Wikan banyak sekali bertanya. Apa-apa dia tanyakan. Dia juga payah sekali dalam hal mengingat nama pemain. Sebentar-sebentar bertanya. Sebentar-sebentar protes. Baginya, semua pemain sama.
"Aku nonton di kamar aja deh," kataku saat mulai kesal. Aku benar-benar kehilangan rasa dalam menonton.
Wikan langsung menarik tanganku. Mencengkeramnya kuat. Menahanku agar tidak kemana-mana. Karena ditahan olehnya, kadang aku sampai terlelap dengan sendirinya. Tertidur di sofa. Lalu, pagi hari terbangun, sudah berselimut di atas kasur.
Saat Wikan tidak di rumah, Ibu sering menelepon. Menanyakan kabar. Menanyakan Wikan. Menanyakan isi perut. Makanan? Ah, bukan. Ibu bahkan belum bosan menanyakan perihal kehamilan. Meski dulu pernah terucap tidak akan membahas itu lagi. Nyatanya, orang tua pun sering lalai dengan janjinya sendiri.
"Jadi, kapan terakhir kamu haid?" tanya Ibu dengan nada candanya. Iya, pertanyaan Ibu memang tidak seperti dulu yang terang-terangan menyebut kata hamil dan cucu, tapi aku jelas tahu ke mana arah pertanyaannya.
"Ibu cuma nanya aja, kok. Kalo masih lancar haid-nya ya gak apa-apa, artinya kamu sehat."
Ah, sungguh, selera humor Ibu semakin kacau saja.
"Kamu sehat-sehat ya, jaga pola makan. Pokoknya Ibu di sini selalu doain kamu sama Wikan." Begitu kalimat andalan Ibu sebelum mengakhiri obrolan via telepon.
"Semoga kamu dan Wikan ..., cepet dikasih momongan," lanjut Ibu dengan tawa lirihnya.
***
"Han, bagi resep seblak ala lo, dong!"
"Lo nelpon gue cuma nanya resep seblak? Tanya dulu kek kabar gue, anak gue, laki gue. Eh, laki gue gak usah ditanya deh. Gak penting dia."
Sudah dua minggu, setelah membawa Khanza jalan-jalan di taman dengan Wikan, aku memang belum bertemu lagi dengan Hana. Dia diajak oleh suami yang katanya tidak dicintainya itu, liburan ke Bandung. Aku sengaja tidak menghubunginya selama itu. Dia juga sering mematikan ponselnya saat bersama dengan suaminya. Dan, aku cukup maklum untuk hal itu.
Kali ini, aku meneleponnya karena pagi-pagi sekali dia mengirimiku pesan, bahwa dia sudah pulang.
"Ke rumah aja gue masakin," ujar Hana.
"Gue pengen masak sendiri. Hasil karya gue sendiri. Lo cukup mengarahkan."
"Dih, tumben amat. Kesambet setan dapur lo?"
"Hiis!"
Hana ngakak.
"Atau, lo mau masakin Wikan? Spesial buat Wikan? Hahahaha."
Deg. Jantungku rasanya melorot ke lambung seketika. Kenapa dia selalu bisa menebak dengan tepat seperti ini? Ah, sebenarnya tidak spesial juga. Aku hanya ingin masak seblak karena semalam tiba-tiba Wikan bilang ingin makan seblak. Dan konyolnya, aku terpikir untuk memasakkannya untuknya.
"Gue pengen nyoba bikin sendiri aja, Harno!"
"Ya udah, video call aja."
"Oke siap!" Aku sumringah sekali.
Meski sambil bersungut-sungut karena gregetan, Hana mengajariku membuat seblak. Penuh perdebatan dan bentakan-bentakan serta teriakan yang selalu berujung tawa. Kami sudah biasa begini. Ribut-ribut yang tidak pernah melibatkan ego.
Meski membuat dapur cukup berantakan, tutorial seblak ala Hana berhasil kutakhlukkan. Tepat ketika seblakku matang, bel rumah berbunyi. Tentu saja itu bukan Wikan. Dia tidak perlu memencet bel saat masuk rumah. Dia juga membawa kuncinya. Lalu siapa?
Aku bergegas ke ruangan depan untuk membuka pintu. Lalu, cukup terkejut begitu pintu terbuka. Teramat terkejut. Erika.
"Hai," sapanya dengan senyum yang ingin kukatakan senyum palsu. Ah, entahlah. Isi pikiranku tentangnya selalu buruk.
Aku pun membalas senyumnya. Tipis. Ragu-ragu.
"Sorry nih, masih berantakan. Ada apa ya?" Aku bertanya dalam intonasi ramah seramah-ramahnya. Sungguh, aku tidak pandai bersandiwara. Hanya berusaha tetap bersikap baik di depan manusia bermuka dua.
"Boleh masuk?"
Aku mengangguk. Cukup terpaksa.
Dia melewatiku yang masih berdiri sembari mengendalikan diri. Dia tak lantas duduk. Matanya sibuk beredar ke segala penjuru ruang.
"Duduk gih," ucapku mencoba lebih sopan. Walau bagaimanapun, dia tamu. Dia menolak. Tetap berdiri.
"Wikan mana?" tanyanya.
"Belum pulang," jawabku singkat.
"Kak, suka ya tinggal di rumah ini?" Suara ringan Erika mencipta gemuruh dalam dada.
"Maksudnya?" tanyaku.
"Kak Ale, kayaknya betah banget di sini. Betah sama rumahnya atau sama Wikan?"
Sekali lagi, ringan tanpa saringan, tapi langsung memantik api di hati.
"Sebenernya, maksud kedatangan kamu apa ya?" tanyaku sembari teringat tangan yang pernah melayang di pipinya. Apa dia minta lagi? Atau ingin membalas padaku?
"Aku cuma mau ngingetin satu hal, aku dan Wikan itu saling mencintai. Tolong jangan jadi penghalang di antara kami."
Ya Tuhan, drama apa lagi ini? Wikan sendiri yang mengatakan mereka sudah putus. Tidak lagi berhubungan.
"Apa aku berdiri seperti penghalang? Aku bahkan memberi kalian jalan buat bersama." Aku menyeringai.
"Jangan sok pahlawan, aku tau kamu suka sama Wikan!" Dia tampak begitu marah.
"Lalu, masalahnya di mana?" Aku berusaha tetap tenang. Ini bukan masalah memperebutkan Wikan. Ini perihal harga diri yang tak sudi direndahkan.
"Belakangan ini, Wikan selalu menghindar. Padahal, aku tau banget, Wikan itu cinta mati sama aku. Kamu pasti udah mempengaruhi dia. Kamu yang bikin sikap Wikan ke aku berubah!" Suara Erika semakin meninggi. Sarat emosi.
"Kamu terlalu GR." Aku tersenyum. Sedikit licik. Memandangnya dengan tatapan lucu.
"Faktanya seperti itu."
"Seyakin itu kamu kalo Wikan masih mencintai kamu sedalam dulu?" Kali ini aku bisa tersenyum lebar. Entahlah, aku hanya tidak pandai membentak. Lebih senang bermain-main dengan emosinya seperti ini.
"Tentu aja, kamu pikir buat apa Wikan ngajak kamu ke taman sama anak kecil kalo bukan demi aku? Demi bisa deket sama anakku. Itu bukti Wikan masih memperjuangkan cintanya buat aku."
Seketika pertahananku roboh. Batinku terguncang hebat. Benarkah itu? Kenapa rasanya sakit sekali mendengar itu? Ada ribuan bahkan jutaan jarum yang tiba-tiba menyerbu jantungku. Hatiku. Menusuk-nusuk tanpa ampun.
Namun, di depan Erika, senyumku masih tersungging rapi. Tubuhku masih kokoh berdiri. Tidak, aku tidak boleh tumbang di hadapannya. Kamu kuat, Le!
---continue---
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Penyuka Es Teh
RomantizmBagaimana aku bisa memenuhi rengekan ibu mertua tentang cucu sementara pernikahanku dan Wikan hanya sebatas status di Kartu Keluarga? Aku masih menggenggam erat cinta masa lalu. Wikan masih terhujam kisah yang lalu. Kami sama-sama tak lagi percaya p...