7. Dalam Satu Malam

3 0 0
                                    

Tidak ada yang bicara. Mereka semua mengambil posisi terbaik untuk istirahat. Kebanyakan orang-orang bersandar pada pohon besar sambil makan dan minum dengan pandangan kosong.

Malam itu Cyane tidur dengan sambil mendekap lengan Zack. Walaupun terdengar samar namun Zack tahu kalau wanita itu belum tidur. Cyane menangis cukup lama sampai akhirnya tertidur.

***

"Apa kita sudah boleh beranjak dari sini?"

"Mereka bilang malam ini jangan keluar, jadi mungkin sekarang sudah boleh. Ini sudah pagi kan?"

Langit baru terlihat sedikit bercahaya. Tidak semua orang bisa tidur malam itu apalagi setelah melihat begitu banyak darah. Walaupun mereka sedikit penasaran dengan adanya suara pergerakan halus di area terbuka di luar sana tapi tidak ada yang berani melihat sedikit pun.

"Bagaimana kalau kau coba keluar dulu?"

"Bagaimana kalau kau yang duluan? Kau yang bilang kan kita sudah boleh keluar sekarang?"

"Dia bilang mungkin, bodoh."

Tidak ada yang bergerak sampai Kikuchi berdiri kemudian melangkahkan kakinya ke luar.

"Hei, hei tunggu," kata Sage yang cepat-cepat berdiri menyusul wanita itu.

Perlahan-lahan semua orang bangun dan berjalan mengikut di belakang Kikuchi dan Sage.

"Ap...apaan ini?"

Beberapa puluh meter di depan mereka terlihat kumpulan bangunan-bangunan putih yang terdiri dari satu sampai dua lantai dan sedikit jauh di belakang sana terdapat sebuah menara setinggi puluhan meter. Dalam semalam ruang kosong terbuka disulap menjadi sebuah komplek kecil. Bukan. Bukan dalam semalaman. Kecuali menara tinggi itu. Zack ingat menara tinggi yang pertama kali dia lihat saat  tiba di pulau ini.

"Apa ini sebenarnya reality show?"

"Ada negara yang bisa membangun rumah sakit dalam 10 hari ,pernah dengar? Jadi ini bukan hal yang aneh."

"Ya, dan orang berkerudung itu membangun tanpa suara. Hebat sekali..."

"Gila. Mungkin aku sudah gila," kata seseorang pria sambil tertawa terbahak-bahak. Dia kemudian berlari memasuki komplek melewati beberapa rumah dan berteriak memanggil-manggil siapa pun yang mungkin ada di dalam sana.

Hening. Tempat itu kosong bagaikan komplek mati. Tidak perlu waktu lama bagi mereka semua untuk menjelajah seluruh komplek kecil berisikan puluhan rumah itu. Dan pada akhirnya sebagian besar berkumpul di sebuah lapangan yang luas terbuka  dikelilingi rumah-rumah. Di tengah lapangan  berdiri sebuah menara dan sebuah layar besar yang berputar bertuliskan angka 84 dalam tiga dimensi.

"84?"

"Itu jumlah orang yang tersisa di sini." 

"Mungkin kita bisa tahu berapa orang yang masih bertahan hidup nanti."

"Menurutmu itu lucu?"

"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Masuk ke rumah dan beristirahat?Memangnya apa yang bisa kita lakukan? "

"Rumah-rumah di sini kelihatan nyaman.  Memangnya buat apa mereka susah membangun tempat ini kalau bukan untuk ditinggali?"

"Semoga ada kamar mandi di dalam sana," kata seorang wanita  yang menggandeng seorang pria memasuki salah satu rumah berlantai satu.

"Namaku Claude," kata si pria feminim sambil tersenyum pada kelompok Rex. "Tolong diingat." Dia berjalan sendirian menuju rumah yang lain.

Zack  tetap menjaga jarak dengan Kikuchi. Dia melihat wanita itu bersama tiga orang lainnya memasuki rumah dua lantai di sebelah kiri lapangan.

Dan orang-orang lain lain mulai menuju rumah pilihan mereka masing-masing sendiri atau dengan kelompok mereka.

Vincent berjalan di paling depan, melewati rumah kelompok Kikuchi,memasuki jalan yang cukup lebar antara masing-masing rumah dan  memperhatikan sampai ke belakang dengan seksama. Semua bentuk rumah sangat sederhana. Hanya berbentuk kotak antara satu atau dua lantai dengan satu pintu masuk dan tidak ada jendela sama sekali.

Begitu masuk ke dalam rumah bisa dipastikan mereka tidak akan bisa memantau keadaan di luar. Vincent hanya menghela nafas dan memilih untuk masuk ke dalam rumah di belakang rumah kelompok Kikuchi.

"Dengan rumah-rumah sebanyak itu    untuk apa kalian mengikutiku?"

"Dan kau memilih rumah dua lantai hanya untuk dirimu sendiri?" Sindir Zack kemudian melewati Vincent dan duduk di sofa ruang tamu.

"Sebaiknya kita tetap bersama kan? Orang-orang di luar sana sedikit menyeramkan," kata Jesse yang ikut masuk sambil menundukkan kepala.

"Ini bahkan lebih bagus dari rumahku," kata Henry tidak memperdulikan perkataan Vincent. Dia sudah pergi ke ruang makan tak bersekat di sebelah ruang tamu  sambil membuka-buka kabinet dapur. Dia tersenyum lebar begitu menemukan banyak beberapa makanan kaleng di sana.

Cyane terduduk lemas di sofa hadapan Zack. Meja berbentuk persegi berwarna putih polos ada di tengah mereka. Seingat Zack, Cyane tidak mengeluarkan suara sedikit pun semenjak mereka tiba di titik perkumpulan di mana orang-orang berkerudung aneh tiba-tiba menampakkan diri mereka di tengah-tengah semua orang.

"Cyane, apa kau baik-baik saja?" Tanya Zack.

Cyane menggeleng. Dia menarik nafas dan akhirnya bicara." Harusnya aku memilih 'Tidak'," kata Cyane dengan mata berkaca-kaca. "Untuk apa aku memilih 'Ya'. Shion tidak ada di sana. Dari awal aku berharap selain kami mungkin ada orang lain yang selamat di luar sana. Sejak melihatmu harapanku muncul," kata Cyane sambil menatap Zack.

"Tapi kemarin aku sudah memperhatikan semua orang . Aku mencari-mencari tapi tidak melihatnya sama sekali... Sampai sekarang pun tidak.. " Cyane menunduk mengatupkan wajahnya dengan kedua telapak tangannya kemudian terisak. Jesse duduk di sebelah Cyane kemudian memeluknya.

Zack tidak tahu harus bicara apa. Dia hanya bisa diam sambil melihat Jesse yang sekarang mengelus-elus punggung Cyane dengan lembut. Henry duduk di meja makan sambil menyantap makanan kaleng dan melihat Cyane dengan wajah sedih.
"Aku juga kehilangan semua temanku..."

Zack bangkit dari sofa kemudian naik ke lantai atas. Di sana ada empat kamar tidur. Semua ruangan bertembok putih seperti di lantai bawah. Semua perabotan minimalis dan terkesan kaku karena berbetuk persegi.

Semua ruangan terlihat terang padahal tidak ada lampu atau benda apa pun yang terlihat seperti lampu. Langit-langit ruangan yang polos terlihat terang dengan sendirinya dan menerangi semua ruangan.  Tidak ada saklar listrik sama sekali. Semua hal yang tidak familiar ini membuat Zack tidak merasa nyaman berada di tempat ini.

Zack merasa egois karena dia bersyukur menjalani trip ini seorang diri. Setidaknya dia tidak kehilangan siapa pun yang dia kenal seperti yang lain.

"Apa maksudnya selain kami mungkin ada orang di luar sana?"

Zack terkejut mendengar suara dari belakangnya. Di menengok ke belakang dan Vincent berdiri di sana membelakangi tangga.

Zack mengangkat bahunya. "Entahlah..."

"Kau terlihat tegang," kata Vincent yang bersandar di tembok sambil melipat kedua tangannya.

"Tidak semua orang seperti kau yang bisa dengan tenang melihat semua kegilaan ini," kata Zack melewati Vincent kemudian turun meninggalkannya. Kalau bukan karena terlalu beresiko untuk tinggal sendirian, Zack tidak akan pernah mau tinggal satu atap dengan pria itu. Zack merasa orang itu selalu mengawasinya. Mungkin itu hanya perasaannya saja atau mungkin juga tidak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DNA GAMESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang