2. Awal baru

300 71 7
                                    

Flash sale pdf
Spesial untuk hari miladku. Tersedia hingga tanggal 11 Juni.
Diskon besar dan gratis pdf)* untuk pembelian pdf-pdf ku.
Pembelian bisa langsung chat ke wa
083863261149

Happy reading 😊😊

*Livee (Dendam 1)
*When i need you (D2)
*Jangan sebut aku pedofil (D3)

*The beautiful destiny
*Gabriel Kebelet Nikah
*A Love for Raka
*That's My Girl
*Cintai Aku
*Ayunda
*Because You're My 'Baby'
*To Save You-To Love You

***
Bab.2
Awal baru

Bebas dan ... sakit!

Itu yang dia rasakan kini. Menghirup udara segar yang terasa merasuk hingga ke seluruh pembuluh darahnya.

Dia merasa kebingungan dengan dirinya sendiri.

Perceraiannya sudah selesai dan kini dia resmi menjadi seorang janda. Setidaknya itu yang coba dia percayai.

Meskipun setiap dia hanya
seorang diri, dia akan merasakan sakit itu. Pikirannya kacau, suasana hatinya buruk karena bayang-bayang menyakitkan itu masih terus mengikuti. Dia ingin tenang namun sepertinya tidak bisa.

"Kila ...."

Panggilan dari ayahnya membuat dia menoleh. Dia kembali ke Desa asalnya untuk menyembuhkan hati. Tapi apa yang dia dapatkan? Kesedihan sang ayah. Ya, dia membuat ayahnya bersedih karena sering melamun dan menangis.

"Pak ...."

"Jangan dipikirkan lagi. Ikhlaskan."

"Prakteknya sulit, Pak. Sakila tak bisa. Kami ... kami ...." Sakila kembali terisak. Bahunya terguncang dengan suara tangis yang membuat lelaki paruh baya itu ikut trenyuh. Anaknya satu-satunya. Keluarganya satu-satunya kini tengah terluka. Andai saja istrinya masih hidup, pasti wanita itu bisa menghibur anak mereka yang kini terluka.

"Sabar, Nduk. Sabar ...."

"Sakila salah apa, Pak? Kenapa Mas Kevin jahat?" Di hatinya kini tumbuh benci dan dendam pada sosok itu.

Pak Surya tak tahu apa yang harus dia katakan. Dia hanya bertemu Kevin beberapa kali. Saat Sakila membawanya untuk mengenalkan mereka, saat lamaran dan saat anaknya menikah. Karena jauhnya desa mereka dari ibukota, Pak Surya memang hanya beberapa kali bertemu Kevin dan beberapa kali saling berkirim kabar lewat telepon. Dia tidak tahu betul, seperti apa lelaki yang pernah meminta anak satu-satunya ini untuk menjadi istrinya itu. Pun, saat bercerai laki-laki itu bahkan tidak memiliki iktikad baik dengan mengembalikan anaknya secara baik-baik. Pak Surya menyesal sudah mempercayakan anaknya pada laki-laki tidak bertanggung jawab itu. Andai saja dia tahu lebih awal, mungkin lebih baik menikahkan anaknya dengan anak tetangganya saja. Meskipun tidak sekaya orang-orang kota, tapi tentu saja berkecukupan dan juga dekat dengan rumahnya karena masih satu desa. 

"Ada kalanya kita tidak tahu hikmah apa yang terkandung di dalam setiap musibah dan kesulitan, Nduk. Mungkin saja untuk penebus dosa-dosa kita agar meringankan kelak di akhirat." Surya hanya mampu menenangkan anaknya.

Sakila membenamkan wajahnya ke pangkuan sang ayah. Menumpahkan semua sesak di dadanya. Sekarang dia hanya memiliki ayahnya, dia sadar jika dia harus lebih tegar dan tidak membuat lelaki ini khawatir, namun apa daya hatinya masih terasa linu dan patah.

"Akh ... Pak." Tiba-tiba sakila merasakan sakit yang menghantam perutnya. Begitu sakit hingga Sakila serasa ingin pingsan tapi tak bisa.

"Kila ... kamu kenapa, Nduk?" Pak Surya panik melihat bagaimana anaknya nampak sangat kesakitan. Dia berusaha menegakkan tubuh untuk memapah Sakila perlahan.

"Pak ... sakit!"

Pak Surya semakin ketakutan dan panik. Dia berusaha mendudukkan Sakila di kursi agar dia bisa meminta bantuan tetangga untuk melihat apa yang terjadi pada anaknya.

"Sik, sebentar ... sebentar ... coba tarik nafas."

"Sak-kit ...."

Mata Pak Surya terbelalak melihat daster yang dikenakan anaknya basah. Begitu dia membalik telapak tangannya yang terasa basah, dia semakin tak bisa berkata-kata. Tangannya telah berlumur darah.

"Kila ...."

Pak Surya berlari keluar dan berteriak-teriak meminta bantuan tetangga. Untung saja sore hari para warga sudah ada di rumah dan bisa bergegas membantu. Beberapa ibu-ibu yang datang tak kalah panik karena ketika mereka sampai, Sakila sudah tidak sadarkan diri dengan darah yang terus merembes keluar. Membasahi daster serta kursi yang didudukinya. Bahkan ada yang menetes-netes ke lantai keramik. Sangat kontras dengan warna keramik yang putih bersih.

"Astagfirullah ... RUMAH SAKIT, Pak RT. RUMAH SAKIT! CEPAT!!" Teriakan panik ibu-ibu dan keributan sore itu membuat mental Pak Surya turun dia tak bisa sekedar melangkah. Harus ada dua orang bapak-bapak yang memapahnya untuk memasuki mobil Pak Sugeng, yang akan digunakan untuk membawa Sakila ke rumah sakit.

Sore yang tadi nampak tenang, kini riuh oleh suara-suara panik dan khawatir para ibu-ibu tetangga.

***

Kevin tengah melamun di sisi meja bartender. Dia tidak merasa senang ataupun sedih. Entahlah.

Selepas perceraiannya dia merasa ada yang kosong. Hidupnya tak lagi menarik dan pekerjaannya sehari-hari lebih banyak melamun dan melamun. Apakah dia mulai gila?

Sakila.

Rasa cinta dan sayangnya pada wanita itu seakan membunuhnya. Kenapa harus berselingkuh? Apa yang kurang dari dirinya ini? Berkali-kali tanya itu hinggap namun ....

Kevin benar-benar tidak tahu jawabannya.

Dengan kesal dia menegak minumannya yang masih seperempat gelas. Huh. Rasa ini ... rasa minuman yang mulai dia nikmati akhir-akhir ini. Mulanya dia tidak mau percaya jika wanita itu menduakannya, tapi bukti-bukti dan juga apa yang dia lihat siang itu membuatnya tak bisa lagi menahan amarah.

Wanita itu benar-benar sialan.

Untuk membalas semua sakitnya dia akhirnya mencari berbagai pelarian. Tapi kenapa hingga kini dia tak juga bisa melupakan wanita itu?!

***

Pak Surya mondar-mandir di lorong rumah sakit. Di dalam sana, dia tidak tahu bagaimana kabar anaknya itu. Apakah baik-baik saja. Kenapa tadi darahnya banyak sekali?

"Sur, duduk dulu. Tenang, berdo'a Kila baik-baik saja." Pak Andika, tetangga sebelah rumah sekaligus kakak iparnya, yang ikut mengantar mencoba menenangkan Pak Surya.

Dengan berat hati Pak Surya mendudukkan dirinya di salah satu kursi yang tersedia. Bibirnya terus bergerak membaca do'a-do'a berharap anak dan cucunya baik-baik saja.

Sejatinya, tidak pernah terpikirkan oleh Surya jika suatu hari nanti harus mengantar sang anak pergi. Jika pun bisa berharap, dia berharap dirinya yang terlebih dahulu pergi, diantar oleh anak dan cucunya.

Para warga yang ikut mengantar sudah terlebih dahulu pulang. Meninggalkan Surya dan dengan dua orang yang menemani. Bu Rosnia, kakak perempuan Pak Surya dan juga Pak Andika, suami dari Bu Rosnia.

"Sur, itu dokternya keluar." Rosnia menepuk pundak adiknya yang masih khusuk berdo'a. Mendengar hal itu, Surya segera bangkit, menyongsong sang Dokter.

"Pak Dokter, bagaimana anak saya, Pak?" Surya bertanya penuh harap.

Dokter itu menatap Pak Surya dan juga Andika serta Rosnia. Kemudian sebuah gelengan kecil dari dokter itu meruntuhkan hati mereka semua.

"Kila ...." Pak Surya tak sanggup berkata-kata.

***

Hiatus!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang